SEKITAR 150 jenis komoditi industri akan mendapatkan panji nasional tahun ini. Standar Industri Indonesia (SII) untuk produk-produk itu dirumuskan dalam rapat konsensus selama enam hari, sejak 12 Januari, di Hotel Horison, Jakarta. "Tahun ini standardisasi merupakan tuntutan dan tantangan," kata Menteri Perindustrian Ir. Hartarto pada pembukaan rapat tadi, yang diikuti sekitar 1.600 wakil perusahaan, konsumen, ahli, dan pejabat pemerintahan. Menteri Muda Urusan Produksi Dalam Negeri, Ginanjar Kartasasmita, sejak tahun lalu giat menggalakkan pemakaian produk dalam negeri. Tetapi, dalam rapat konsensus itu, ia mengisyaratkan juga betapa pentingnya SII. Pemerintah, konsumen yang cukup potensial bagi banyak pengusaha, "hanya akan membeli produk dalam negeri yang sudah distandardisasikan," kata Ginanjar. Jika betul pemerintah tak akan melayani produk yang belum distandar-disasikan, jelas para produsen akan berbondong-bondong meminta SII. Usaha standardisasi produksi dalam negeri sebenarnya sudah dimulai sejak Pelita I. Sudah ada sekitar 1.100 rumusan SII mulai dari produksi kopra, kaus oblong, tempe, sampai detonator. Namun, sampai 1984 ini, baru sekitar 400 produk yang mendapatkan SII. Sementara itu, sejak awal Pelita III, berbagai departemen giat melaksanakan standardisasi. Misalnya, Departemen Kehutanan menetapkan standar untuk kayu lapis, Perdagangan untuk produk ekspor, Kesehatan untuk makanan dan obat. Hanya Departemen Perindustrian yang lebih dulu memopulerkan SII untuk standar produk dalam naungannya. "Kepada semua produsen diberikan sertifikat SII, setelah produknya menerapkan standar sesuai dengan ketetapan, dan teruji di balai-balai penelitian," kata R.B. Suhartono, kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perindustrian, yang juga koordinator standardisasi antar departemen. Ribuan komoditi telah diuji puluhan badan penelitian pemerintah, tapi ribuan pula yang baru dikategorikan sedang (nilai 50-74) dan cukup baik (nilai 75-90). Sedangkan yang mendapat nilai 91-]00, atau lulus SII, baru sekitar 400 komoditi, di antaranya 140 SII sukarela. Sisanya adalah komoditi yang diwajibkan ber-SII, terutama produk yang menyangkut kepentingan dan keamanan umum. Tahun ini ditargetkan penyusunan SII untuk 300 komoditi. Separuhnya (150) dirumuskan dalam rapat konsensus di Hotel Horison itu, meliputi antara lain 9 jenis makanan, 38 keperluan angkutan, 10 bahan baku tekstil, dan 15 bahan kimia dasar. Semuanya bersifat produk industri hulu dan industri antara. Ternyata, tidak mudah mendapatkan sertifikat SII. Dana Somantri, produsen sepatu merk PSC (Produksi Sepatu Cibaduyut) di Bandung, meminta SII sejak membuka kios di kompleks LIK (Lingkungan Industri Keell) di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, sejak 1982. Sepatunya yang dibuat sejak 1959 dan pernah terinjak-injak sepatu berlabel luar negeri, seperti Puma, Excellent, Adidas, dan Italy walaupun buatan lokal juga dimintanya diuji di LIK. Pengujian pertama di LIK memberinya nilai 76. Angka itu masih lebih baik dari empat merk lain, termasuk Canadian buatan Bandung, tetapi belum lulus SII. Setelah mengadakan perbaikan, sekali lagi Dana meminta SII untuk PSC-nya. Kali ini, sepatunya dites ketahanan Iem dan gesekan sol di Balai Penelitian Yogyakarta. Sementara itu, tim standardisasi dari Kantor Wilayah Perindustrian Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Industri Kecil beberapa kali datang memeriksa dan mengawasi cara perakitan PSC. Akhirnya, SII yang sudah diajukan sejak April 1983 itu mengelurkan juga sertifikatnya Januari 1984 ini. Dari sekitar 40 jenis produk yang minta SII tahun lalu di LIK Bandung, cuma sepatu PSC dan kompor Dua Saudara (DS) yang dinyatakan lulus. Tiap-tiap produk mempunyai tarif pengujian. Biasanya, kompor diuji di Balai Besar penelitian dan Pengembangan Industri Bahan dan Barang Teknik, Bandung. "Tarifnya Rp 15.000," kata Ir. Sutikno, kepala Kalibrasi di balai itu. Prakteknya? Seorang pengusaha mesin menuduh SII ini menjadi sumber rezeki bagi, sebagian pejabat. Perusahaannya, katanya, telah mengeluarkan biaya sekitar Rp 2 juta untuk pengujian selama empat bulan. Tapi hal itu dibantah Suhartono. "Tidak ada pengujian sampai Rp 2 juta - biaya pengujian sudah diperinci." Soal lain, walaupun SII sudah di tangan, belum tentu produsen bisa memasarkan produknya dengan mudah, khususnya untuk komponen mobil dan elektronik. Kawat listrik Ewindo, misalnya, perlu menempuh jalan panjang meminta Standar Industri Jepang (JIS) untuk bisa laku sebagai bahan baku pembuatan beberapa komponen listrik, seperti trafo, baik di Indonesia maupun Jepang (TEMPO, 24 Desember, 1983). Sebaliknya, seorang pejabat mengatakan, "SII bisa dipakai sebagai tameng untuk proteksionisme " Sama halnya seperti JIS di Jepang, SISIR di Singapura atau DIM di Jerman Barat. Arahnya memang ke sana. Target pemerintah dalam 25 tahun memberikan SII untuk 8.000 komoditi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini