Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bulu-Bulu Tegal

Garuda mendatangkan bulu mentok dari taiwan, hongkong dan swiss. produksinya telah di kenal dunia internasional. cock gajahmada menerima 1/2 jadi dari masyarakat. (eb)

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB industri shuttlecock di Indonesia kini tak jauh beda dengan nasib perbulutangkisan kita. Sama-sama prihatin. "Kami mulai kesulitan bahan baku, terutama bulu seriti (mentok)," kata gudiono, 57 tahun, Direktur PT The First Garuda Shuttlecock Industry yang berdomisili di Tegal, Jawa Tengah. Garuda mendatangkan bulu mentok itu dari Taiwan, Hongkong dan Swiss. "Bulu mentok lokal datang dari Jawa Timur, tapi mutunya rendah," tambah Budiono. "Cepat patah dan rontok, hanya dalam beberapa pukulan saja." Kesulitan bahan baku ini juga diakui perusahaan Gajahmada, yang memproduksi cock merk Gajahmada. Tapi, Gajahmada masih bisa mendatangkannya dari beberapa tengkulak bulu mentok dari Solo, Karanganyar dan sekitarnya. "Saya mulai kapok menerima bulu mentok dari luar negeri. Pernah kena tipu dari Taiwan," kata M. Busaeri, 52 tahun, yang sehari-hari memimpin perusahaan itu. Kebutuhan akan bulu mentok yang demikian banyak rupanya tidak ditunjang oleh pengadaan seperti membuat peternakan mentok sendiri. "Rugi kalau beternak mentok secara khusus untuk diambil bulunya," kata Busaeri. "Memeliharanya sulit, dan mentok yang bulunya dicabuti konon sulit bertelur." Karena itu, industri cock di kawasan Tegal, menerima bulu mentok dari tengkulak-tengkulak yang tidak tetap orangnya. Itulah juga yang menyebabkan harga bulu mentok cukup tinggi. Busaeri menyebut, terakhir harga setangkai bulu mentok berkisar antara Rp 9 sampai Rp 10. Satu shuttlecock memerlukan 16 lembar bulu mentok. Produksi Gajahmada per hari sekitar 750 lusin. Berapa jumlah karyawan yang mendukung produksi itu? "Kerja membuat cock seperti kerja di pabrik rokok, sistem borongan," tutur Busaeri yang sehari-hari juga Ketua Cabang Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Tegal. Jadi, "jatah produksi" itu tidak tergantung besar karyawan. Yang menjadi perintis dalam industri cock di Tegal boleh disebut Garuda. berdiri sejak tahun 1951, produksinya malah dikenal dunia internasional. Dwilomba bulutangkis antara Indonesia-RRC di Singapura baru-baru ini mempergunakan cock merk Garuda. Juga di Swedia dan Denmark, merk dari Tegal inilah yang dipergunakan secara resmi. Tanggapan pemain kaliber dunia itu, menurut Budiono baik-baik saja. Tidak ada yang mencela soal mutunya. Hanya, "beberapa pemain seperti Fleming Delfs menyebut belum terbiasa memakai Garuda dan butuh penyesuaian -- dan itu soal biasa," tulur Budiono. Garuda bisa menembus pasaran dunia rupanya berkat penampilan Budiono sendiri yang sangat dekat dengan dunia bulutangkis. Budiono adalah pemain yang punya nama di tahun 1940 sampai 1947 dengan puncaknya sebagai juara Jakarta pada 1947 Angkatan bermainnya adalah Ferry Sonneville. Ia kenal baik dengan semua tokoh perbulutangkisan Indonesia. Pada saat ia surut sebagai pemain itulah terpikir olehnya kenapa bulutangkis di Indonesia selalu tergantung pada cock produksi luar negeri? Cita-cita mendirikan industri cock diwujudkan tahun 1951 bersama ayah dan adiknya, GA Setioso, yang kini punya Gajahmada. Sebagai pengusaha, peminat dan pencandu bulutangkis, setiap kesempatan Budiono selalu memperkenalkan Garuda. Setiap pemain luar negeri yang datang ke Indonesia, pasti saya temui," katanya. "Malahan Morten Frost Hansen dari Denmark itu agen Garuda untuk Eropa." Budiono tak bersedia menjelaskan kenapa pemain tenar itu bisa dijadikan agen, karena "semua ini menyangkut rahasia perusahaan." Garuda dimulai dari perusahaan keluarga. Namun, Juni 1970, Setioso memisahkan diri dan mendirikan Gajahmada. Uniknya lagi, Gajahmada sebagai industri cock ternyata tenggelam di balik kebesaran Apotik Gajahmada di depannya. Kenapa tidak mendirikan pabrik raket juga? "Kita akan kalah bersaing di pasaran," begitu jawaban Busaeri, orang kepercayaan Setioso Busaeri, 52 tahun adalah pemain veteran Tegal yang juga menjabat Ketua PBSI setempat. Adalah Busaeri ini pula yang mentes setiap cock yang akan dipasarkan. "Setiap bola dites, dengan melihat larinya bola setelah dipukul pertama " kata Busaeri. Untuk melakukan hal itu, Gajahmada punya gedung tersendiri. Tak Punya Modal Gajahmada juga menerima cock yang 75% jadi dari masyarakat pengrajin Desa Lawatan -- suatu desa 5 km di luar Tegal yang hampir seluruh penduduknya pengrajin cock. Desa yang berpenduduk 3.180 jiwa (613 KK) ini sehari-hari memang hidup dari membuat cock. Tawin, 47 tahun, sudah membuat cock di desanya itu sejak 1960. Ia yang pertama kali mengembangkan kerajinan itu di Lawatan. Keahliannya ini diperolehnya di Jakarra dari tahun 1950 sampai tahun 1955. "Pabriknya dulu di Priok, sudah lama mati," kata Tawin yang punya 6 anak -- dua di antaranya sudah ikut membantu membuat cock. Dengan seorang istri, 2 anak dan seorang kemanakan, keluarga Tawin bisa membuat 8 lusin cock setengah jadi. Cock itu kemudian diserahkan ke Gajahmada, tinggal ditimbang, diikat dan dilem. Untuk pekerjaan itu, Tawin sekeluarga mendapat upah Rp 150 per lusin. "Masa sekarang ini tidak lagi masa jaya," katanya. Karena pada tahun 1975, Tawin sudah dibayar Rp 125 per lusin. "Waktu itu harga beras Rp 75 per kilo, sekarang kan tiga kali lipat," katanya. Tapi Tawin sebagaimana dengan pengrajin Desa Lawatan lainnya, tak perlu memikirkan bahan baku. Semua sudah disediakan pabrik. "Sebenarnya saya ingin mengerjakan dan menjualnya sendiri," kata Tawin. "Tapi modal saya tidak punya." Desa Lawatan dibelah kali kecil. Pemandangan sehari-hari adalah kerumunan orang mencuci bulu untuk cock, kemudian hamparan bulu yang dijemur. Masuk ke dalam rumah, ada bocah-bocah yang asyik menggunting-gunting bulu dan lelaki yang menancapkan bulu pada gabus cock. Tapi di desa ini tak terlihat ada lapangan bulu tangkis. Malah beberapa pemuda yang ditanya, hampir semuanya tak pernah bermain bulutangkis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus