NASIB industri shuttlecock di Indonesia kini tak jauh beda
dengan nasib perbulutangkisan kita. Sama-sama prihatin. "Kami
mulai kesulitan bahan baku, terutama bulu seriti (mentok)," kata
gudiono, 57 tahun, Direktur PT The First Garuda Shuttlecock
Industry yang berdomisili di Tegal, Jawa Tengah. Garuda
mendatangkan bulu mentok itu dari Taiwan, Hongkong dan Swiss.
"Bulu mentok lokal datang dari Jawa Timur, tapi mutunya rendah,"
tambah Budiono. "Cepat patah dan rontok, hanya dalam beberapa
pukulan saja."
Kesulitan bahan baku ini juga diakui perusahaan Gajahmada, yang
memproduksi cock merk Gajahmada. Tapi, Gajahmada masih bisa
mendatangkannya dari beberapa tengkulak bulu mentok dari Solo,
Karanganyar dan sekitarnya. "Saya mulai kapok menerima bulu
mentok dari luar negeri. Pernah kena tipu dari Taiwan," kata M.
Busaeri, 52 tahun, yang sehari-hari memimpin perusahaan itu.
Kebutuhan akan bulu mentok yang demikian banyak rupanya tidak
ditunjang oleh pengadaan seperti membuat peternakan mentok
sendiri. "Rugi kalau beternak mentok secara khusus untuk diambil
bulunya," kata Busaeri. "Memeliharanya sulit, dan mentok yang
bulunya dicabuti konon sulit bertelur." Karena itu, industri
cock di kawasan Tegal, menerima bulu mentok dari
tengkulak-tengkulak yang tidak tetap orangnya. Itulah juga yang
menyebabkan harga bulu mentok cukup tinggi. Busaeri menyebut,
terakhir harga setangkai bulu mentok berkisar antara Rp 9 sampai
Rp 10. Satu shuttlecock memerlukan 16 lembar bulu mentok.
Produksi Gajahmada per hari sekitar 750 lusin. Berapa jumlah
karyawan yang mendukung produksi itu? "Kerja membuat cock
seperti kerja di pabrik rokok, sistem borongan," tutur Busaeri
yang sehari-hari juga Ketua Cabang Persatuan Bulutangkis Seluruh
Indonesia (PBSI) Tegal. Jadi, "jatah produksi" itu tidak
tergantung besar karyawan.
Yang menjadi perintis dalam industri cock di Tegal boleh disebut
Garuda. berdiri sejak tahun 1951, produksinya malah dikenal
dunia internasional. Dwilomba bulutangkis antara Indonesia-RRC
di Singapura baru-baru ini mempergunakan cock merk Garuda. Juga
di Swedia dan Denmark, merk dari Tegal inilah yang dipergunakan
secara resmi. Tanggapan pemain kaliber dunia itu, menurut
Budiono baik-baik saja. Tidak ada yang mencela soal mutunya.
Hanya, "beberapa pemain seperti Fleming Delfs menyebut belum
terbiasa memakai Garuda dan butuh penyesuaian -- dan itu soal
biasa," tulur Budiono.
Garuda bisa menembus pasaran dunia rupanya berkat penampilan
Budiono sendiri yang sangat dekat dengan dunia bulutangkis.
Budiono adalah pemain yang punya nama di tahun 1940 sampai 1947
dengan puncaknya sebagai juara Jakarta pada 1947 Angkatan
bermainnya adalah Ferry Sonneville. Ia kenal baik dengan semua
tokoh perbulutangkisan Indonesia.
Pada saat ia surut sebagai pemain itulah terpikir olehnya
kenapa bulutangkis di Indonesia selalu tergantung pada cock
produksi luar negeri? Cita-cita mendirikan industri cock
diwujudkan tahun 1951 bersama ayah dan adiknya, GA Setioso, yang
kini punya Gajahmada. Sebagai pengusaha, peminat dan pencandu
bulutangkis, setiap kesempatan Budiono selalu memperkenalkan
Garuda.
Setiap pemain luar negeri yang datang ke Indonesia, pasti saya
temui," katanya. "Malahan Morten Frost Hansen dari Denmark itu
agen Garuda untuk Eropa." Budiono tak bersedia menjelaskan
kenapa pemain tenar itu bisa dijadikan agen, karena "semua ini
menyangkut rahasia perusahaan."
Garuda dimulai dari perusahaan keluarga. Namun, Juni 1970,
Setioso memisahkan diri dan mendirikan Gajahmada. Uniknya lagi,
Gajahmada sebagai industri cock ternyata tenggelam di balik
kebesaran Apotik Gajahmada di depannya. Kenapa tidak mendirikan
pabrik raket juga? "Kita akan kalah bersaing di pasaran," begitu
jawaban Busaeri, orang kepercayaan Setioso Busaeri, 52 tahun
adalah pemain veteran Tegal yang juga menjabat Ketua PBSI
setempat. Adalah Busaeri ini pula yang mentes setiap cock yang
akan dipasarkan. "Setiap bola dites, dengan melihat larinya bola
setelah dipukul pertama " kata Busaeri. Untuk melakukan hal itu,
Gajahmada punya gedung tersendiri.
Tak Punya Modal
Gajahmada juga menerima cock yang 75% jadi dari masyarakat
pengrajin Desa Lawatan -- suatu desa 5 km di luar Tegal yang
hampir seluruh penduduknya pengrajin cock. Desa yang berpenduduk
3.180 jiwa (613 KK) ini sehari-hari memang hidup dari membuat
cock.
Tawin, 47 tahun, sudah membuat cock di desanya itu sejak 1960.
Ia yang pertama kali mengembangkan kerajinan itu di Lawatan.
Keahliannya ini diperolehnya di Jakarra dari tahun 1950 sampai
tahun 1955. "Pabriknya dulu di Priok, sudah lama mati," kata
Tawin yang punya 6 anak -- dua di antaranya sudah ikut membantu
membuat cock.
Dengan seorang istri, 2 anak dan seorang kemanakan, keluarga
Tawin bisa membuat 8 lusin cock setengah jadi. Cock itu
kemudian diserahkan ke Gajahmada, tinggal ditimbang, diikat dan
dilem. Untuk pekerjaan itu, Tawin sekeluarga mendapat upah Rp
150 per lusin. "Masa sekarang ini tidak lagi masa jaya,"
katanya. Karena pada tahun 1975, Tawin sudah dibayar Rp 125 per
lusin. "Waktu itu harga beras Rp 75 per kilo, sekarang kan tiga
kali lipat," katanya. Tapi Tawin sebagaimana dengan pengrajin
Desa Lawatan lainnya, tak perlu memikirkan bahan baku. Semua
sudah disediakan pabrik. "Sebenarnya saya ingin mengerjakan dan
menjualnya sendiri," kata Tawin. "Tapi modal saya tidak punya."
Desa Lawatan dibelah kali kecil. Pemandangan sehari-hari adalah
kerumunan orang mencuci bulu untuk cock, kemudian hamparan bulu
yang dijemur. Masuk ke dalam rumah, ada bocah-bocah yang asyik
menggunting-gunting bulu dan lelaki yang menancapkan bulu pada
gabus cock. Tapi di desa ini tak terlihat ada lapangan bulu
tangkis. Malah beberapa pemuda yang ditanya, hampir semuanya tak
pernah bermain bulutangkis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini