KARENA suatu kutipan yang sulit dicek kebenarannya, Newsweek
harus menghadapi gugatan. Majalah berita mingguan Amerika itu
memuatnya Maret 1979 dalam cerita skandal korupsi yang
menggoyahkan sendi pemerintahan Afrika Selatan.
Kutipan itu berasal dari ucapan Josias van Zyl, pengusaha Afrika
Selatan, yang diperkirakan mengerahui skandal tadi. Eschel
Rhoodie, bekas Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan negara
itu, kata van Zyl, memiliki 29 pita rekaman yang berisi laporan
tentang penyuapan kepada beberapa kepala pemerintahan negara
Afrika hitam. Termasuk pembayaran US$1 juta kepada Presiden
Zambia, Kenneth Kaunda, untuk menyelenggarakan Konperensi
Victoria Falls 1975 antara pemimpin kulit putih dan hitam
Rhodesia (Zimbabwe).
Penawar Tertinggi
Presiden Kaunda ternyata menyanggahnya. Merasa namanya tercemar,
pekan lalu ia menggugat Newsweek US$ 10 juta lewat pengadilan
distrik di New York, AS. Kaunda menyebut artikel Pretoria's
Guards Stop the Presses sebagai keliru dan memfitnah. Dengan
tulisan itu Kaunda yang mendukung perjuangan rakyat kulit hitam
di Afrika Selatan dan Rhodesia digambarkan sebagai pemimpin yang
korup.
Newsweek juga pernah dianggap menyerang kepemimpinan Presiden
Soeharto, dalam suatu laporan utama (8 November 1976), yang
ditulis oleh wartawannya, Richard Smith. Menlu (waktu itu) Adam
Malik menyebutnya sebagai "usaha untuk memecah belah Indonesia."
Sekalipun Dutabesar RI di AS, Rusmin Nuryadin melayangkan surat
protes, Presiden Soeharto secara resmi tidak pernah menggugatnya
lewat pengadilan. Tapi untuk beberapa lama Newsweek dilarang
memasuki Indonesia.
Kini Newsweek repot lagi dengan cerita korupsi di Afrika itu.
Siapa yang korup? Skandal korupsi yang menghebohkan itu ternyata
melibatkan beberapa tokoh pimpinan negara Afrika Selatan.
Eschel Rhoodie menuduh Presiden John Vorster dan Menteri
Keuangan Owen Horwood selama 1975-1978 menyalah-gunakan uang
pajak negara untuk membiayai proyek propaganda rahasia. Rhoodie
yang merupakan tokoh sentral peristiwa itu mengancam akan
membongkarnya habis-habisan. Ia berniat menjual pita rekamannya
kepada peminat yang menawar dengan harga tertinggi.
Rekannya, Jenderal Hendrik van den Kcrgh, bekas Kepala Biro
Keamanan Negara (BOSS) Afrika Selatan, buru-buru terbang ke
Paris untuk mencegahnya. Tapi Anthony Sampson, pengarang buku
The Seven Sisters, berhasil memperoleh beberapa petikan penting
dari pita rekaman itu. Kemudian Sampson menulis untuk Newsweek
(2 April 1979).
Menteri Horwood, menurut Rhoodie, menyetujui pengeluaran US$9
juta untuk membiayai 13 proyek yang menyokong propaganda politik
pembedaan warna kulit (apartbeid). Lewat tangan Rhoodie, Vorster
-- yang menjabat perdana menteri sebelum digantikan oleh Pieter
Gotha tahun 1978 -- juga menyogok sebanyak US$150 ribu 2
anggota Parlemen Jepang untuk menyokong politik itu.
Bahkan koran-koran di Johannesburg menyatakan pemerintah
Pretoria memberikan sumbangan US$4 juta untuk kampanye Gerald
Ford dalam pemilihan Presiden 1976. Tapi rezim Afrika Selatan
itu gagal mempengaruhi sejumlah suratkabar Inggris, majalah
L'Express dan Paris Match, keduanya dari Prancis, serta koran
The Washington Star.
Antara Rhoodie dan Vorster tampaknya pernah terjalin suatu
kerjasama yang bagus. Dalam rencana 5 tahunnya, Rhoodie
diam-diam berusaha membeli koran lokal yang berpengaruh dan
liberal, The Rand Daily Mail. Tapi ia dikecam kelompok oposisi.
Dengan dukungan uang pemerintah, ia lalu menerbitkan The Citizen
yang sempat melalap US$40 juta antara 1976 dan 1978. "Semuanya
itu diketahui dan disetujui oleh Vorster," kata Rhoodie
Vorster tidak memberikan komentarnya. Seluruhnya itu dilakukan
pemerintahanVorster waktu itu untuk membendung kecaman dunia
terhadap politik pembedaan warna kulitnya. Dengan menguasai
media pers, dan menyogok beberapa tokoh asing yang mempunyai
posisi menentukan, rezim itu berpendapat akan dapat menguasai
keadaan.
Tapi mengenai berita penyuapan itu, belum ada sanggahan serius,
kecuali dari Presiden Kaunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini