SYUFRI Helmy Tanjung, anggora Komisi V DPR terpaksa
geleng-geleng kepala pekan lalu. Setelah meninjau perumahan
Perumnas Klender, Jakarta Senin lalu, ia menyimpulkan perbedaan
antara si kaya dan miskin sangat menonjol di kompleks itu. Yang
kaya cenderung merombak bangunannya menjadi seindah mungkin,
sedang yang miskin tetap saja tinggal berdesakan di rumah inti
seluas 20 meter persegi itu.
Wajah perumahan Perumnas memang banyak berubah sejak proyek ini
dimulai 3 tahun lalu. Di kompleks Perumnas Depok I misalnya,
belasan rumah mewah bergaya Spanyol muncul. Pagar besi mahal
yang sekarang menjadi mode, kolam ikan serta garasi dengan mobil
lebih dari saru sudah merupakan pemandangan yang biasa. Selera
dan gaya hidup mereka menunjukkan bahwa mereka lebih tepat
disebut golongan menengah.
Itu berarti sasaran pembangunan perumahan Perumnas untuk
golongan rendah telah meleset. Menmud Urusan Perumahan Rakyat
Cosmas Batubara mengakui ini. "Kelompok menengah selama ini ikut
mengambil porsi perumahan sederhana," ujar Menmud Cosmas pada
TEMPO pekan lalu.
Rumah tipe sederhana berkisar antara 36 sampai 70 mÿFD, luas
tanah antara 60 sampai 200 mÿFD dengan harga paling tinggi Rp 4
juta. Penghuni kelas inilah yang kemudian merombak rumah inti
atau sederhana ini, hingga muncullah kemudian jurang antara si
kaya dan miskin di kompleks ini.
Beberapa perusahaan real estate (tanah dan bangunan) memang
membangun perumahan tingkat menengah. Namun syarat pembayaran
yang cukup berat -- harus melunasi harga antara Rp 10 sampai Rp
15 juta dalam waktu 2 sampai 3 tahun -- menyulitkan golongan
menengah ini.
Agaknya untuk mengatasi ini pada 1 April lalu pemerintah
meresmikan berdirinya PT Papan Sejahtera (PTPS) dengan modal
dasar Rp 15 milyar. Tujuan lembaga keuangan non-bank ini adalah
menyediakan kredit jangka menengah dan panjang bagi pemilikan
rumah tidak mewah bagi masyarakat berpenghasilan menengah. PTPS
merupakan usaha kerjasama pihak Indonesia (antara lain sank
Indonesia, PT Private Development Finance Company of Indonesia
dan PT Asuransi Jiwasraya) serta asing, antara lain
International Finance Corporation dari Bank Dunia.
Patokan rumah tidak mewah itu, adalah rumah yang harganya di
luar jangkauan kredit Bank Tabungan Negara yang maksimal Rp 8
juta. "Kami akan mulai dengan rumah harga sekitar Rp 10 sampai
Rp 18 juta," ujar Direktur Utama PT Papan Sejahtera Fermanto
Soeatman.
Dalam jumlah itu sudah termasuk harga tanah. Lokasi tanah bebas
-- asal mendapat persetujuan PTPS -- memiliki sertifikat dan
daya tahan rumah minimal 20 tahun. Luas kapling 150-200 mÿFD cukup
untuk membangun rumah tipe tidak mewah ini. Untuk sementara
lokasi yang disetujui baru DKI Jaya, sementara Bandung, Surabaya
dan Medan masih menunggu hasil survei.
PTPS tidak akan membiayai pembangunan rumah. "PT Papan hanya
berhubungan dengan pembeli," ujar Fermanto. Pembangunannya
dibiayai oleh developer atau kontraktor dengan bantuan dana dari
bank atau perusahaan tempat pembeli bekerja. Baru setelah
selesai PTPS ikut turun tangan sebagai bank hipotik yang
memberikan kredit. "Ini akan meringankan beban perusahaan dalam
menyediakan perumahan bagi karyawan," lanjut Fermanto.
Kredit hipotik itu hanya diberikan jika pembeli membayar uang
muka (down payment) 30% dari harga rumah termasuk tanah. Jangka
waktu pembayaran kembali maksimum 20 tahun atau harus lunas jika
pembeli berusia 60 tahun, dengan bunga 20% per tahun dari saldo
efektif. Jumlah angsuran maksinum sepertiga dari penghasilan
tetap pemohon. Jaminannya adalah gaji pemohon serta hipotik atas
tanah dan bangunan itu. Selain itu rumah harus diasuransikan
atas risiko kebakaran sedang preminya ditanggung si peminjam.
Angin Segar
Golongan menengah mana yang diincar? "Mereka yang berpenghasilan
antara Rp 200 ribu sampai Rp 700 ribu per bulan," sahut
Fermanto. Menurut Menmud Cosmas, pilot Garuda dan karyawan Bank
Pemerintah bisa dimasukkan golongan ini. "Adanya PTPS akan
meringankan pembagian porsi perumahan sesuai program pemerintah.
Golongan menengah tidak akan lagi mengambil porsi perumahan
sederhana," tutur Cosmas.
Itu dibenarkan oleh S. Djonokusumo, General Manager PT Real
Estate Indonesia (REI) Sewindu perusahaan yang juga memiliki
saham 5% dari PTPS. Selama Pelita III pemerintah merencanakan
membangun 150 ribu unit rumah atau 30 ribu setahun. Perinciannya
10 ribu rumah inti dan 10 ribu rumah sederhana yang dibangun
Perum Perumnas. Sisanya 10 ribu dibangun pihak swasta atau lewat
BTN. Menurut Djonokusumo jumlah ini kurang. Mengutip statistik
yang dijadikan sumber REI, kebutuhan itu idealnya adalah 600
ribu unit selama 5 tahun atau 120 ribu per tahun. Kekurangan 90
ribu setahun ini akan dibangun para perusahaan real estate.
Abdul Wahab, Manajer Penjualan PT sangun Tjipta Sarana
menganggap berdirinya PTPS sebagai angin segar bagi pengusaha
tanah dan bangunan serta konsumen. "Jika PTPS berjalan baik
alokasi uang yang ada pada konsumen dapat segera digunakan untuk
pembangunan rumah baru," katanya.
Sasaran tahun pertama PTPS adalah menyediakan kredit untuk 500
rumah. Tahun berikutnya mungkin 1000. Semuanya di Jakarta karena
daerah ini yang diangap paling potensial. Menurut suatu
penelitian pada 1979, ada 4 kelompok penghasilan di Jakarta.
Kelompok berpenghasilan kurang dari Rp 30 ribu/bulan yang
terbesar (48,68%), berikutnya kelompok berpenghasilan antara Rp
30 ribu-Rp 50 ribu (33,62%), antara Rp 60 ribu-Rp 99 ribu
(9,33%) sedang yang berpenghasilan di atas Rp 100 ribu ada
8,32%.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini