Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BUMN konstruksi menanti kucuran modal negara untuk menyelesaikan penugasan.
Erick Thohir mengusulkan tambahan modal negara untuk BUMN senilai Rp 72 triliun dalam APBN 2022.
Tambahan modal negara akan terus mengerek defisit APBN.
JAKARTA -- Petinggi sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) di bidang konstruksi alias BUMN karya tengah harap-harap cemas. Mereka menanti kucuran modal baru dari pemerintah untuk sejumlah proyek yang dijalankan dengan skema penugasan. Maklum saja, kinerja keuangan perusahaan konstruksi negara itu semakin merah setelah menggarap proyek penugasan pemerintah yang nilai keekonomiannya masih rendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu yang menanti penanaman modal negara (PMN) baru adalah PT Hutama Karya (Persero). Perusahaan ini ditugasi menggarap jalan tol Trans Sumatera, terutama untuk ruas yang tidak diminati investor. Direktur Utama Hutama Karya, Budi Harto, mengatakan perusahaan yang dia kelola tidak menerima PMN pada 2017-2018, sehingga terpaksa berutang untuk menutupi biayanya. "Kami memerlukan PMN bukan untuk restrukturisasi, melainkan memang karena menanggung beban penugasan," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi menuturkan, saat penyusunan studi kelayakan pada 2015, pemerintah memakai asumsi pertumbuhan pengguna yang signifikan, sehingga tarifnya bisa dinaikkan dua tahun sekali sebesar 12 persen, sesuai dengan patokan inflasi. Namun pada kenyataannya nilai inflasi turun, sehingga kenaikan tarif jalan tol dengan panjang total 2.800 kilometer ini hanya 6 persen per tahun. Dampaknya, Hutama Karya sulit mendapat pinjaman karena pertumbuhan tarifnya rendah dan traffic jalan tol ini tidak sesuai dengan yang direncanakan. "Struktur pembiayaan sangat bergantung pada modal dari negara," ujar dia.
Menurut Budi, untuk menyelesaikan proyek jalan tol Trans Sumatera pada 2024, perlu modal tambahan sekitar Rp 32 triliun pada 2022 dan Rp 10 triliun pada 2023. Dana itu menambah jumlah modal yang dikucurkan pemerintah sebesar Rp 6,2 triliun pada tahun ini. "Dana tersebut harus segera diturunkan agar tidak berdampak pada ekuitas perusahaan," kata dia.
Aktivitas pekerja di pabrik beton pracetak Waskita Precast di Karawang, Jawa Barat. Dok. TEMPO/M. Iqbal Ichsan
Hutama Karya pun tercatat sebagai penerima jatah PMN terbesar pada 2022. Dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu, Menteri BUMN Erick Thohir mengusulkan PMN bagi 12 perusahaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 senilai Rp 72 triliun. Dari anggaran tersebut, sebanyak Rp 31,3 triliun atau sekitar 43,4 persen diberikan kepada Hutama Karya. Jumlah itu belum termasuk tambahan Rp 19 triliun pada tahun ini. Dengan demikian, pada 2021 hingga 2024, Hutama Karya mendapat PMN Rp 68 triliun untuk menyelesaikan pembangunan jalan tol Trans Sumatera. "Untuk mendukung pembangunan jalan tol sesuai dengan target yang dicapai,” kata Erick.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan Hutama Karya juga menjadi perusahaan yang mengalami tekanan paling berat karena penugasan pembangunan jalan tol Trans Sumatera. Menurut dia, hal itu tidak lepas dari keterlambatan PMN selama dua tahun, sehingga jumlah utang Hutama Karya meningkat. Kondisi Hutama Karya itu memperpanjang daftar BUMN yang mengalami masalah karena penugasan.
Dalam paparannya, Kartika menyebutkan enam BUMN karya yang menjalankan penugasan pemerintah. Dari keenam BUMN itu, hanya dua yang dinyatakan sehat, yaitu PT Adhi Karya (Persero) Tbk yang mengerjakan lintas rel terpadu (LRT) Jabodebek dan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk yang menggarap beberapa proyek kawasan industri terpadu. Empat BUMN lain berstatus tidak sehat dan sangat tidak sehat.
Hutama Karya dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk menyandang status tidak sehat karena mengalami penurunan pendapatan dan tingginya rasio utang terhadap pendapatan ataupun ekuitas. Yang lebih buruk adalah Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Perumnas mendapat status sangat tidak sehat setelah mengerjakan pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sedangkan ekuitas Waskita Karya tercekik akibat proyek LRT Sumatera dan sebagian ruas jalan tol Trans Jawa.
Aktivitas pabrik beton PT Wijaya Karya di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Dok. TEMPO/Puspa Perwitasari
Karena itu, Kementerian BUMN mengusulkan tambahan modal bagi perusahaan-perusahaan ini. Kartika memberi contoh Perumnas, yang kini mendapat status sangat tidak sehat karena mengalami penurunan pendapatan yang sangat signifikan akibat penjualan rumah untuk MBR melambat. Di satu sisi inventori perusahaan sangat besar dan rasio utang membengkak. "Untuk memastikan neraca ataupun kekuatan ekuitasnya memadai, kami mengusulkan tambahan PMN untuk memastikan pembangunan rumah bagi MBR bisa dilanjutkan," ujar Kartika. Untuk Waskita Karya, Kementerian BUMN merencanakan restrukturisasi menyeluruh melalui penjaminan Rp 15 triliun untuk penyelesaian proyek jalan tol yang sudah ada serta suntikan dana Rp 7,9 triliun untuk memperkuat permodalan.
Namun ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menyatakan dampak negatif suntikan PMN lebih besar dari efek positifnya. Sebab, kata dia, PMN akan menjadi beban bagi APBN di tengah penerimaan pajak yang seret dan kebutuhan belanja besar untuk penanganan pandemi Covid-19. Jika PMN dikabulkan, kata Abra, pemerintah tak bisa menekan defisit APBN di bawah 6 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2022. "Padahal pada 2023 APBN harus kembali pada disiplin fiskal atau defisit di bawah 3 persen," katanya.
Abra juga mengatakan pemberian PMN dan penugasan BUMN karya akan berdampak pada sektor lain, terutama perbankan. "Ada risiko BUMN gagal bayar utang, yang akan menanggung itu adalah sektor perbankan, terutama bank milik negara," kata dia. Sedangkan ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyindir Erick Thohir yang kembali meminta PMN. Faisal menyatakan Erick semestinya berfokus menangani pandemi sesuai dengan jabatannya sebagai Ketua Pelaksana Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. “Bukannya mengutamakan selamatkan nyawa rakyat, tapi sibuk urusi suntik BUMN ratusan triliun rupiah,” kata dia.
FERY FIRMANSYAH | VINDRY FLORENTIN | FAJAR PEBRIANTO | HENDARTYO HANGGI | FRANCISCA CHRISTY ROSANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo