Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bunga deposito menghadang risiko

Kebijaksanaan pajak penghasilan (PPH) yang baru atas bunga deposito. Dinilai sebagai langkah yang berani dan menentukan keberhasilan kebijaksanaan perpajakan di masa datang.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN berlakunya pajak atas bunga deposito yang baru (untuk deposito perorangan, pajak atas bunganya 15% final, untuk deposito badan usaha, pajak atas bunganya 15% tidak final), apakah bentuk investasi ini masih menguntungkan? Banyak pihak menjawab, ya, dengan catatan: keuntungan yang diperoleh kian tipis. Berkurangnya laba dari deposito akan sangat dirasakan oleh deposan badan usaha karena ketentuan pajak yang tidak final menyebabkan bunga depositonya bisa terkena pemotongan sampai 35%. Selain itu, Pemerintah juga menurunkan jumlah deposito yang bebas PPh -- semula kurang dari Rp 5 juta kini menjadi hanya Rp 1 juta. Ini berarti, tabungan perorangan di atas Rp 1 juta langsung terkena pajak 15% atas bunganya. Dan tarif pajaknya final, tetap 15% seberapa besar pun deposito tersebut. Dengan demikian, deposan perorangan masih bisa berdendang, sebab bila dihitunghitung, menyimpan uang di dalam negeri masih lebih banyak memberi laba ketimbang di luar negeri. Namun, tidak tertutup kemungkinan, jika tingkat suku bunga di luar negeri naik, deposan perorangan itu bisa saja memindahkan tempat parkir uangnya ke mancanegara. Atau, jika prospek di bursa saham membaik, mereka akan beralih melakukan investasi di pasar modal. Jadi, faktor ekstenal juga mempengaruhi, apakah dengan pajak deposito yang baru akan terjadi capital flight atau tidak. Pihak perbankan pada umumnya memperkirakan tidak akan terjadi pelarian modal. Paling tidak, mereka punya kiat-kiat tertentu yang, akan membuat para deposan besar tetap mempercayakan uangnya pada bank di dalam negeri. Sebegitu jauh, yang banyak dikhawatirkan para pengamat adalah deposito yang dimiliki badan usaha. Soalnya, pemotongan atas bunga deposito mereka bisa sampai 35%. Jika dilihat dari kebijaksanaan perpajakan, tarif ini cukup fair, dalam arti redistribusi akan bersifat lebih adil. Singkatnya, yang lebih banyak uangnya, terkena pajak lebih besar. Namun, ketentuan baru ini sedikit banyak memaksa berbagai perusahaan -- yang menyimpan uangnya dalam deposito -- untuk menghitung-hitung kembali. Sebelum ada ketentuan baru, deposito yang tadinya memberikan penghasilan bunga sekitar 1,5% per bulan, kini hanya akan berbunga 1,1% per bulan. Tak aneh jika pemilik deposito badan usaha berharap, bank-bank akan menaikkan suku bunga deposito, atau menerapkan kiat-kiat tertentu, hingga deposan tidak merasa sangat terpukul. Sejauh yang menyangkut kenaikan suku bunga, kemungkinannya tetap ada. Direktur Utama Bapindo Subekti Ismaun mengatakan, mungkin pihaknya akan membedakan suku bunga deposito yang diberikan kepada perusahaan dengan perorangan. "Agar tetap menarik, kemungkinan itu ada saja," ujarnya. Sekalipun dihadang risiko penarikan deposito, kalangan perbankan pada prinsipnya setuju dengan ketentuan baru tersebut, asalkan rahasia bank tetap terjamin. Rupanya, Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad, sejak awal, sudah memperkirakan ketakutan para bankir tadi. "Terhadap asalusul deposito, SBI, atau tabungan tidak dilakukan pengusutan untuk kepentingan perpajakan," begitu janji Mar'ie di depan para bankir, Jumat pekan lalu. Janji seperti itu memang perlu. Sebab, kalau para bankir juga tidak tenang, tak mustahil penambahan penerimaan PPh sekitar Rp 900 milyar, dari kebijaksanaan pajak yang baru, bisa terlepas dari tangan Mar'ie Muhammad. Kalau ini terjadi, penerimaan PPh, yang ditargetkan naik 36%, akan sulit dicapai. Dari hasil pemantauan TEMPO, kalangan perbankan tampaknya juga mendukung kebijaksanaan ini. Menurut seorang bankir, suku bunga deposito yang tinggi menyebabkan surat berharga (commercial paper), seperti obligasi, kurang laku. Katanya, sampai saat ini, hampir 85% pendanaan perusahaan dipasok pihak bank. Padahal di luar negeri, surat berharga juga merupakan sumber utama penghimpunan dana. Memang, selama dua tahun terakhir suku bunga deposito yang membubung tinggi, bukan saja ikut menghancurkan bursa saham. Tapi juga membuat orang malas menanamkan modalnya alias membuka usaha baru. Soalnya, bunga deposito tinggi sudah menjamin laba, sedangkan usaha baru, belum tentu. Subekti membenarkan hal ini. Katanya, ketika pasar modal mencapai puncaknya pada tahun 1990, banyak perusahaan yang memarkir uang hasil penjualan sahamnya dalam bentuk deposito ketimbang menginvestasikan di sektor usaha. Tak hanya itu. Kabarnya, ketika bunga KLBI (Kredit Bank Indonesia) masih 12% per tahun, ada beberapa perusahaan perkebunan swasta yang menempatkan kucuran dana murah itu dalam deposito. Memang, isu tadi sulit dipercaya. Namun, seorang pejabat Pemerintah mengakui bahwa kini perusahaan-perusahaan makin piawai dalam soal menggelapkan pajak. "Biasanya mereka memakai cara back to back," katanya. Maksudnya, si perusahaan mendepositokan uangnya pada sebuah bank dengan imbalan bunga 17% (setelah dipotong pajak 15%). Dengan agunan sertifikat deposito tadi, si perusahaan kemudian mengajukan kredit ke bank lain dengan bunga 27%. Nah, dengan memasukkan bunga kredit sebagai biaya, pajak yang dikutip Pemerintah juga otomatis berkurang. Dengan cara ini, perusahaan itu bisa menekan pajak hingga 5%. Tapi di bawah ketentuan pajak yang baru, menurut Mar'ie Muhammad, kebocoran-kebocoran seperti di atas bisa dikurangi. "Sekarang mereka makin sulit mempermainkan biaya. Apalagi kita akan melakukan cek silang dengan PPN," kata Mar'ie, yakin. Tapi kalau dikaji lebih jauh, ternyata masih ada beberapa celah yang mungkin dipakai oleh badan usaha untuk menyelundupkan pajak. Ambil saja premi forward. Dalam ketentuan perpajakan yang baru, premi ini tidak disinggung sama sekali. Katakanlah, deposito dolar memberikan bunga 10% per tahun. Setelah dipotong pajak 35%, bunga bersih yang diterima adalah 6,5%. Bunga tersebut memang kecil. Tapi selain itu, bank juga memberikan premium swap (selisih bunga deposito rupiah dengan dolar) 10%. Kalau si nasabah adalah WP yang patuh, premi tadi seharusnya dimasukkan kedalam SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan). Namun, kalau si WP tidak patuh, premi yang 10% tadi lepas dari pajak. Terlepas dari soal kebocoran, banyak pengusaha berpendapat bahwa kebijaksanaan PPh baru yang menyangkut bunga deposito itu dinilai sebagai langkah yang berani. Risiko pelarian modal itu, misalnya. Kabarnya, beberapa pengusaha sudah ancang-ancang menarik depositonya. Multipolar, konon, berniat menciutkan seperempat dari Rp 26 milyar dananya yang diparkir di deposito. "Kalau sama dipotong 35%, lebih baik dipakai untuk usaha," kata Vice President Multipolar, Handoko. Pendapat serupa diungkapkan Direktur Keuangan Astek, Djunaidi. "Keuntungan kami jelas akan terpengaruh," katanya. Menurut Djunaidi, akibat ketentuan baru itu diperkirakan pendapatan Astek dari bunga deposito akan berkurang Rp 32 milyar. Namun, BUMN milik Departemen Keuangan yang memarkir Rp 1 trilyun dananya di deposito itu belum mempunyai alternatif lain. Penting untuk dicatat ialah, bahwa Pemerintah yakin tidak akan terjadi pelarian modal. Hal ini dikemukakan oleh Direktur BI, Dahlan Sutalaksana. Alasannya, kendati sudah disunat 35%, suku bunga deposito di dalam negeri masih tetap menarik dibandingkan dengan bunga deposito luar negeri. Katakanlah, sekarang ini bunga deposito rupiah berkisar sekitar 20% per tahun. Karena dipotong pajak, perusahaan akan menerima bunga bersih (riil) hanya 13%. Namun, dibandingkan dengan bunga luar negeri yang 3% (riil) per tahun, setelah dipotong dengan inflasi 8%, maka jatuhnya sekitar 5%. Jadi, masih sedikit lebih tinggi. Kebijaksanaan PPh yang baru atas bunga/diskonto ini benar-benar akan banyak menentukan keberhasilan policy perpajakan di masa yang akan datang. Tidak hanya karena ia lebih progresif, tapi juga kelak bisa mendorong Pemerintah untuk menyusun kebijaksanaan baru yang sejiwa dengan itu. Siapa tahu, sesudah ada ketentuan tim PKLN, mungkin akan ada peraturan lain yang tujuannya mencegah arus rupiah lari ke luar negeri, seperti yang selama ini sering terjadi. Bambang Aji, Iwan Qodar, dan Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus