SUDAH enam bulan yayasan dana pensiun instansi pemerintah maupun swasta tak bisa lagi memutar uang mereka seenaknya. Sebelumnya, sekitar 170 buah yayasan dengan kekayaan Rp 4 trilyun sampai Rp 5 trilyun itu lolos dari kejaran pajak untuk semua kegiatan mereka, tapi sejak tahun lalu aktivitas dalam bidang tanah dan bangunan dikenai pajak penghasilan (PPh). Keputusan pemerintah untuk mendapatkan tambahan penerimaan pajak dari yayasan-yayasan dana pensiun tersebut dikeluarkan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, pertengahan Juni 1991, dan dinyatakan berlaku surut mulai awal tahun. Hanya saja, keputusan pemerintah itu terkesan mendadak karena masalah ini tidak disinggung Menteri Sumarlin ketika menyampaikan RUU Dana Pensiun di DPR, seminggu sebelum ketentuan pengenaan pajak penghasilan bagi yayasan dana pensiun ditandatangani. Malah, di depan wakil-wakil rakyat tersebut, ditegaskannya bahwa dana pensiun bukan obyek pajak penghasilan. Maka, Sumarlin menambahkan, penempatan dana pensiun untuk investasi tak bisa seenaknya. Bidang yang sifatnya spekulatif, seperti tanah, tak diizinkan karena uang yang dihimpun yayasan-yayasan tersebut adalah milik banyak orang yang menggantungkan hari tua mereka dari sana. Toh masih saja ada yayasan yang mencoba mempertaruhkan uangnya dalam bidang yang bersifat spekulatif tersebut. Maka, Menteri Keuangan merasa perlu mengeluarkan keputusan di atas. Repotnya, bagi yayasan-yayasan yang telanjur main tanah dan bangunan, mengubah investasi mereka dalam waktu singkat jelas tidak mungkin. Karena itu, pemerintah memberi kelonggaran lima tahun kepada mereka. Tak heran jika sejak peraturan Menteri Keuangan itu dikeluarkan, yayasan-yayasan yang menginvestasikan uangnya dalam dua bidang "terlarang" tersebut pontang-panting banting setir. Yayasan Dana Pensiun Perkebunan (YDPP), yang mempunyai tanah 6.000 meter persegi di daerah segi tiga emas Kuningan, misalnya, langsung mengubah keinginan mereka untuk membangun gedung perkantoran di atas tanah tersebut. "Dengan pajak 35%, lebih baik kami mundur," kata Ketua YDPP Anang Musa. Tanah senilai Rp 18 milyar itu lalu dilepas dengan sistem build, operate & transfer (BOT) pada Duta Anggada Realty, yang akan membangun gedung dan mengoperasikannya selama 20 tahun. Dari sewa tanah, yayasan hanya akan menerima Rp 200 juta setahun. Selain itu, YDPP juga melepas tanah mereka seluas 28 ha di Sudimara, Tangerang. Tanah setengah jadi untuk pembangunan real estate mewah itu mereka jual dengan harga Rp 60.000 per meter persegi -- Rp 20.000 lebih murah dari harga jual tanah di sana sekarang. Semula tanah ini akan dijadikan salah satu gantungan YDPP untuk menambah dana investasi mereka, yang kini mencapai Rp 140 milyar. Masalah serupa juga dialami oleh Bank Tabungan Negara (BTN). April tahun lalu, Direktur Utama BTN, M. Jakile, dengan bersemangat mengumumkan pendirian hotel bintang tiga di Sanur, Bali. Hotel yang dibangun di atas tanah seluas 6,3 ha itu diperkirakan memakan biaya Rp 25 milyar -- 40% dana yang diperlukan disediakan oleh Yayasan Jaminan Hari Tua Karyawan BTN. Kini, hampir setahun setelah penandatanganan kerja sama antara Yayasan Jaminan Hari Tua Karyawan BTN, Poleko Group, dan Lee Garden Hong Kong, belum ada secuil pun bangunan berdiri di tanah mereka. Disebut-sebut, kongsi ini kesulitan dana karena uang Lee Garden tak bisa masuk. Belum lagi kejaran PPh. Sampai sekarang belum jelas kepastian pembangunan hotel itu. Tapi, menurut sebuah sumber di yayasan, saham mereka di hotel itu siap dijual. Tak banyak yayasan yang dirundung nasib seperti itu. PT Taspen, misalnya, termasuk yang agak beruntung. Dana Rp 4,23 trilyun dari Tabungan Hari Tua dan Dana Pensiun hanya kurang dari 2% yang mereka investasikan dalam gedung Arthaloka. "Tahun lalu, dividen hasil usaha gedung itu hanya Rp 300 juta -- tak sampai 1% dari laba keseluruhan," kata sebuah sumber di Taspen. Sebagian besar yayasan memang menginvestasikan dana pensiun mereka seperti yang dilakukan Taspen. Hanya sebagian kecil yayasan yang mau memutar uangnya dalam investasi tanah dan bangunan. Lebih dari 80% masih ditempatkan sebagai deposito berjangka di bankbank pemerintah. Sebagian kecil lainnya dalam obligasi, sertifikat, dan investasi jangka panjang. Cara memutar uang lewat deposito memang paling aman untuk dana milik banyak orang itu. "Daripada harus membangun gedung sendiri, lalu ditambah pajak 35%, mending duitnya dimasukkan deposito, karena keuntungannya sudah pasti," kata Anang Musa. Mantan administratur Yayasan Jaminan Hari Tua Karyawan BTN, Soemaruto, membenarkan perhitungan Anang Musa. Meski bunganya turun 1% pun, deposito dianggapnya masih tetap menggiurkan. Beda sekali dengan kiat yang dilakukan yayasan serupa di luar negeri, yang memutar uang mereka dengan membeli surat berharga yang bisa memberi dividen dan capital gain tinggi. Tiap negara memang berbeda keadaannya. Jadi, kalau Kadarisman, Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia, mengeluh bahwa aturan memungut pajak pada investasi yayasan dana pensiun tak lazim karena di luar negeri tidak pernah terjadi, mungkin karena di sana bidang itu tidak spekulatif seperti di sini. Diah Purnomowati, Dwi S. Irawanto, Iwan Q. Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini