Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kita tidak berburu di kebun ...

Wawancara Tempo dengan Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad tentang target kenaikan perolehan pajak, wajib pajak, akuntan publik dan peranan pajak dalam RAPBN 1992-93.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tahun lalu, Presiden Soeharto menggunakan istilah "habis-habisan" untuk mencapai target pajak, sedangkan kali ini sebutan itu mungkin bisa diganti dengan "ekstra habis-habisan ". Soalnya, RAPBN 1992-93 mematok angka penerimaan pajak yang jauh lebih besar, yakni Rp 23.368 milyar. Target ini merupakan tantangan yang tampaknya akan terlalu menyulitkan, terutama jika mengingat ekonomi yang masih lesu dan pertumbuhannya tidak secerah dua tahun lalu. Tapi Dirjen Pajak, Mar'ie Muhammad, rupanya tidak merasa disulitkan. Untuk itu, pejabat Departemen Keuangan yang tekun ini -- semula terkenal sebagai salah seorang eksponen Angkatan '66 -- mempunyai alasan-alasan kuat, yang dikemukakannya kepada Max Wangkar dan Bambang Aji dari TEMPO, dalam sebuah wawancara, Rabu pekan silam. Petikan wawancara itu: Pak Mar'ie tampaknya optimistis, target kenaikan perolehan pajak 33% tahun anggaran 1992-93 akan tercapai. Senjata apa lagi yang akan dipakai untuk menjerat WP? Untuk mengejar target tersebut, tidak ada perubahan tarif. Semuanya tetap sesuai dengan undang-undang. Memang, untuk deposito berjangka, misalnya, kita melakukan dua perubahan. Pertama, deposito berjangka perseorangan di bawah Rp 5 juta kita klasifikasikan sebagai tabungan kecil (saldo bulanan tertinggi tak lebih dari Rp 1 juta). Kedua, untuk badan. Dulu dihitung final, sekarang tidak lagi. Dengan pengenaan baru tadi, tentu ada tambahan pemasukan. Kira-kira berapa besar? Lumayan. Kalau tidak ada hambatan apaapa, dari perubahan itu diperkirakan ada tambahan Rp 400 milyar sampai Rp 500 milyar. Tapi, jangan lupa, masih ada tambahan lainnya. Jadi, mungkin dari bunga deposito saja seluruhnya ada tambahan Rp 900 milyar selama setahun. Selain mengubah pengenaan pajak penghasilan (PPh), upaya lain bagaimana? Banyak. Kita akan lebih menggalakkan penerimaan dari Pasal 21, Pasal 22 (impor dan bendaharawan), serta Pasal 23 (bunga deposito/diskonto). Yang tak kalah pentingnya adalah menggenjot Pasal 26. Dengan adanya tim pengendalian pinjaman luar negeri (PKLN), lebih mudah bagi kita untuk memantau kebenaran pembayaran PPh Pasal 26, yang berasal dari bunga offshore loan bagi swasta. Untuk itu, kita bekerja sama dengan pihak Bank Indonesia dan sekretariat PKLN. Ini semua akan menambah penerimaan pajak. Ternyata, ada sumber-sumber yang belum optimal digarap oleh Ditjen Pajak. Tapi, apakah dengan itu semua, target akan tercapai? Masih ada jurus lain. Tak kalah pentingnya adalah ekstensifikasi. Dalam ekstensifikasi, kita sudah menempuh beberapa hal. Credit card, misalnya. Sekarang, dalam prosedur pembukaan maupun perpanjangan credit card, calon pemilik akan diminta menunjukkan NPWP. Kenapa begitu? Sebab, credit card itu kan sama dengan kredit. Untuk ini, kita sudah bekerja sama dengan Bank Indonesia. Untuk PPN, misalnya, kita akan melakukan verifikasi PPN. Seperti kita ketahui, yang namanya faktur PPN kan sudah kumulatif. Dengan demikian, akan memudahkan mencocokkan data PPh dengan PPN. Turnover PPN kan harus sama dengan turnover PPh yang dilaporkan dalam SPT (surat pemberitahuan) PPh. Itu juga akan menambah penghasilan. Bukankah ada biaya untuk membayar akuntan publik? Dan berapa anggaran untuk itu? Saya yakin, masih akan tetap surplus. Artinya, tambahan penerimaan akibat adanya verifikasi PPN masih akan lebih besar daripada biaya untuk akuntan publik. Verifikasi itu jauh lebih sederhana daripada pemeriksaan audit. Itu hanya memakan waktu satu-dua minggu. Akuntan publik itu hanya mencocokkan faktur pajak pemasukan dengan pajak pengeluaran. Soal anggaran, saya belum mau bicara. Pokoknya ada. (Menurut sebuah sumber, anggaran untuk menyewa akuntan publik bisa mencapai Rp 6 milyar). Dalam mengejar target Rp 23 trilyun, masyarakat khawatir aparat pajak akan bertindak overacting. Komentar Anda? Tidak akan. Yakinlah, mereka tidak akan begitu. Mengapa, dalam ekstensifikasi ini, sasarannya lebih diarahkan kepada WP perorangan? Apakah PPh perorangan mengkhawatirkan? Terus terang, sampai saat ini PPh perorangan masih sangat mengkhawatirkan. Bagian dari upaya ekstensifikasi adalah perorangan. Jadi, tidak benar bahwa kita hanya berburu di kebun binatang. Harus dilihat, mereka yang sudah memasukkan SPT itu pun sebetulnya masih ada potensi-potensi pajak yang masih bisa digarap. Tapi mengapa perorangan? Begini. Sebenarnya, apa sih kesalahan yang dibuat oleh WP perorangan? Yang pertama, mereka menganggap, kalau penghasilannya sudah dipotong 15%, itu sudah final. Padahal tidak. Mereka harus melaporkan semua penghasilannya dalam SPT. Sekarang ini yang final itu hanya bunga atau diskonto, yang diterima WP perorangan dalam negeri. Jika penghasilannya itu masih di bawah PTKP (penghasilan tidak kena pajak), dapat direstitusi. Di luar itu, tidak ada yang final. Kedua, jika mereka punya penghasilan lain di luar penghasilan tetap -- seperti bonus, keuntungan jual-beli rumah/tanah, atau penghasilan dari menyewakan rumah/kendaraan bermotor -- biasanya tidak dimasukkan dalam SPT. Itu yang akan kita kejar. WP badan bagaimana? Permainan mereka tetap klasik. Mereka biasanya sejauh mungkin memperkecil penghasilan, dengan cara memperbesar biaya. Tapi, sekarang mereka akan semakin sulit memperkecil penghasilan karena kita akan mencocokkan data PPN dan data PPh. Dengan perkataan lain, turnover PPN harus sama dengan PPh yang dilaporkan. Sekarang tinggal mempersempit ruang gerak mereka, yaitu bagaimana permainan mereka dalam biaya-biaya. Maksudnya? Karena pengeluaran yang kita terima sebagai biaya adalah biaya-biaya yang didukung dengan bukti-bukti. Dan bukti-bukti pengeluaran itu bisa kita cek silang kembali. Apalagi untuk perusahaan-perusahaan menengah atas, yang pada umumya sudah menggunakan jasa akuntan publik. Apakah mutu akuntan publik bisa dipercaya? Anda tentu masih ingat kasus Bank Duta dan Pasar Modal Harus diakui, mutu akuntan publik sekarang ini makin baik. Tapi, begini. Pertama, kita harus bersikap positif terhadap lembaga itu sendiri. Kalau ada beberapa akuntan publik yang belum memenuhi standar, saya kira itu tidak hanya terjadi pada profesi akuntan. Yang jelas, mereka sudah melakukan kerja sama dengan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) untuk pengendalian mutu. Dalam memberi tugas verifikasi kepada akuntan publik, kira-kira apa penangkalnya supaya tidak terjadi main mata dengan wajib pajak (WP?)?is kurang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus