UNTUK saat ini hanya singkong dan tempe goreng yang belum kena pajak. Itulah yang sering digunjingkan para pengusaha di tempattempat santai yang eksklusif harihari ini. Tak percaya? Tengok saja peraturan pemerintah mengenai pajak yang ditetapkan pada 31 Desember lalu. Dalam peraturan itu Pemerintah dengan rinci menetapkan berbagai jenis barang yang dikenai pajak -- mulai dari air putih sampai kendaraan mewah. Air putih (yang dikemas tentu) dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%, aneka limun 20%, mobil sedan naik dari 30% menjadi 35%. Perkara mobil terkena PPN tinggi (karena termasuk dalam kategori barang mewah) barangkali tak jadi soal benar, karena konsumennya terbatas pada kalangan menengah. Bagaimana dengan air putih, setrika listrik, radio transistor, atau penghilang bau badan, yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari hampir seluruh lapisan masyarakat? Dalam peraturan pajak baru, barang-barang ini dikategorikan kelompok barang mewah yang harus terkena PPN 20% -- sama seperti pendingin udara, piano, sepeda motor di atas 200 cc, minibus, dan jip, yang benar-benar mewah bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Lepas dari kejanggalan-kejanggalan dalam pengelompokan jenis barang-barang mewah, tujuan peraturan pajak baru adalah untuk merealisasi target pemasukan dari PPN pada tahun anggaran 1992-1993. Seperti diketahui, target penerimaan PPN yang dipatok Pemerintah untuk APBN mendatang adalah Rp 11,03 trilyun -- naik 34% dibandingkan dengan anggaran yang sedang berjalan. Tentu saja, untuk mencapai target itu, tidak cukup dengan hanya menggenjot pajak barang mewah. Pemerintah juga menyiapkan jurus lain yang cukup ampuh: mulai 1 April depan pedagang eceran besar yang beromset di atas Rp 1 milyar akan dikenai PPN 10%. Ini jelas merupakan "lahan basah" bagi aparat pajak, karena pasar swalayan yang megah kini sudah menjamur di hampir semua kota di Indonesia. Sektor eceran lain yang juga akan dijangkau ketentuan PPN 10% adalah pemegang franchise, seperti Burger King, Pizza Hut, dan Kentucky Fried Chicken. Pengusaha-pengusaha pemegang lisensi makanan favorit ini, menurut sebuah sumber, sanggup mencetak omset di atas Rp 1 milyar setahun. Dampak yang akan segera terasa dari peraturan pajak baru ini adalah naiknya harga barang-barang di tingkat pengecer besar. Tapi, kata pengusaha Abdul Latief, hal itu tidak akan menjadi hambatan bagi pertumbuhan usaha mereka. "Konsumen kami kan kalangan menengah atas, jadi apalah artinya kenaikan harga yang cuma 10% itu," kata pemilik Pasaraya Department Store tersebut. Latief menambahkan, penghasilan kelas menengah atas itu cukup tinggi, dan selalu mendapat penyesuaian setiap terjadi inflasi. Kebaikan lain dari peraturan baru ini, menurut Latief, adalah adanya pemisahan yang semakin tegas antara segmen pasar swalayan dan pasar tradisional. Selama ini tidak sedikit supermarket yang mengobral potongan harga, sehingga harga daging atau sayuran yang dijual di pasar swalayan tak jauh beda dengan harga yang ditawarkan pedagang sayuran yang menggunakan kereta dorong. "Saya yakin, pasar swalayan yang seperti inilah yang akan menghadapi masalah karena mereka akan kehilangan jurus obralnya," tambah Latief. Tampaknya, yang juga akan kehilangan jurus obral adalah department store seperti Matahari, Ramayana, Cahaya, dan beberapa department store terkemuka lainnya, yang belakangan ini gemar mengobral diskon. Di antara toko-toko besar itu bahkan ada yang berani manawarkan potongan harga sampai 50%. Entah bagaimana perhitungan untung rugi dari pengusaha-pengusaha yang berani menawarkan diskon besar itu. Yang pasti, beberapa direktur department store dan supermarket mengaku tidak merasa keberatan dengan diterapkannya peraturan baru PPN di tingkat pengecer besar. Peraturan baru itu, kata Direktur Hero Supermarket, Anton Lukmanto, cukup baik. Paling tidak, Pemerintah telah memberikan jangka waktu selama tiga bulan (hingga 1 April) kepada para pengusaha untuk melakukan langkah-langkah penyesuaian terhadap konsumen. "Kebijaksanaan ini sudah cukup bagus," katanya. Hanya saja, ujar Anton Lukmanto lagi, untuk penerapannya, Pemerintah mau tidak mau harus bekerja ekstrakeras. Untuk menetapkan supermarket dan department store yang kena pajak, misalnya, perlu dilakukan up grade atas aparat pajak. "Jangan sampai terjadi, agar bebas pajak, pasar swalayan yang beromset Rp 1,5 milyar dimainkan menjadi Rp 900 juta. Ini kan nggak benar," ujar Anton. Direktur Utama Golden Trully Supermarket, Elon Dachlan, minta agar surat-surat keputusan pemerintah daerah yang menghambat pertumbuhan segera dihapuskan. Surat keputusan (SK) yang diusulkan Elon supaya dicabut antara lain SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 241/45, yang mengatur batas jarak antara supermarket dan pasar tradisional. Alasannya: harga yang ditawarkan dan konsumen yang diincar pasar swalayan sangat lain dengan pasar tradisional. "Jadi, kenapa harus dibatas-batasi segala," kata Anton, menimpali. "Kalau memang mau menggalakkan dunia usaha, tolong berikan kesempatan semaksimal mungkin." Selain itu, tambah Anton, Pemerintah juga harus mempertimbangkan posisi supermarket sebagai badan usaha yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dan menyumbang pajak yang lebih besar ketimbang pasar tradisional. Yang tampak lebih terpukul oleh peraturan baru PPN adalah industri mobil. "Kalau gelagatnya seperti ini, saya kira kami tidak akan bisa meraih laba tahun ini," kata Direktur Utama Grup Indomobil, Soebronto Laras, yang mengageni Mazda, Volvo, Suzuki, Hino, dan Nissan. Bagaimana tidak begitu. Tahun lalu, ketika sebagian besar lembaga keuangan tak mau lagi membiayai kredit mobil, banyak produsen yang melakukan penjualan obral. Sehingga, saat ini, harga mobil masih 10% di bawah harga jual normal. Itu pun masih banyak produksi yang harus ditaruh di gudang -- tak laku. Dengan ketentuan pajak barang mewah yang baru, keadaannya tentu menjadi lebih gawat. Mau tidak mau, harga mobil harus naik. "Sedangkan daya beli belum berubah," tambah Soebronto. Pukulan akibat pajak yang paling terasa bagi industri mobil adalah di sektor minibus, yang menguasi 60% dari total pasar mobil. Semula, jenis kendaraan kategori I ini hanya terkena PPN barang mewah sebesar 10%, dan kini terhitung 1 Januari 1991 naik menjadi 20%. Tapi itu tidak berarti ongkos produksi minibus hanya naik 10% (sesuai dengan kenaikan pajak). Kenyataannya, kata Soebronto, ongkos produksi akan naik lebih tinggi. Pasalnya, dulu PPN yang 10% itu dihitung dari harga sasis, sedangkan sekarang PPN 20% dihitung dari harga minibus. Hitungannya: sebelum peraturan baru taruhlah harga sasis minibus Rp 10 juta, dan harga karoseri Rp 5 juta. Dulu, PPN yang 10% hanya dikalikan pada angka Rp 10 juta, sehingga penyerahan dari pabrik jatuhnya hanya Rp 16 juta. Tapi sekarang, PPN 20% diperhitungkan dari jumlah Rp 15 juta (harga sasis plus karoseri), sehingga terdapat kenaikan Rp 2 juta. Dengan kata lain, harga penyerahan dari pabrik naik menjadi sekitar 13,33%. Perusahaan yang merasa sedikit aman di sektor industri mobil mungkin mereka yang mengageni sedan, sekalipun PPN barang naik menjadi 35%. "Kenaikan 5% tidak berarti apa apa bagi konsumen kami," kata Bos Imora Motor, Ang Kang Ho, yang mengageni Honda. Namun, Ang Kang Ho tidak optimistis bisa meraih laba tinggi tahun ini. "Keadaan pasar tetap masih jauh di bawah normal," katanya. Soebronto, bekas Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, memperkirakan penjualan mobil nasional pada 1992 sekitar 200.000 unit -- turun 20%. Berat, memang. Tapi, menurut Ketua Ikatan Konsulen Pajak Seluruh Indonesia, Aries Gunawan, itu merupakan sebuah risiko wajar yang harus ditanggung produsen barang-barang mewah. Sayangnya, tutur Aries lagi, PPN yang baru masih banyak kekurangannya. "Kalau ada pajak barang mewah, kenapa tidak ada pajak jasa mewah?" ujarnya. Aries memberi contoh kenapa Pemerintah tidak memajaki para pengunjung karaoke, salon kecantikan, tampat mandi sauna, dan pusat kebugaran. Padahal, itu semua termasuk jasa mewah yang sangat layak dipajaki 35%. Mengenai PPN untuk mobil sedan naik menjadi 35%, menurut Aries, angka itu sudah merupakan angka yang wajar. Tapi, usulnya, sebaiknya ada pengelompokan sedan berdasarkan harga jual. Alasannya: kemewahan sedan seharga Rp 35 juta (seperti Toyota Starlet) tentu kalah nyaman dibanding kenyamanan sedan Mercedes yang harganya di atas Rp 200 juta. Bukankah perbedaan itu sudah terlihat dari jumlah PPN yang dibayarkan kedua produk sejenis yang berbeda kualitas tersebut? Lain halnya dengan PPN untuk limun dan pendingin udara, sekalipun sama-sama kategori barang mewah yang dikenai PNN 20%, toh penghasilan konsumen yang menggunakannya beda jauh sekali. Budi Kusumah, Dwi Irawanto, Indrawan, Ardian T. Gesuri, dan Sugrahetty Dyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini