Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tak perlu berpikir lebih lama, Izzul Faturrizky langsung menolak tawaran perpanjangan kontrak kerja dari pimpinan perusahaannya. Selama tiga bulan bekerja, pria dari kalangan Generasi Z (Gen Z) ini merasa tak mendapat apresiasi yang setimpal dari bosnya meski telah banting tulang di perusahaan properti di Yogyakarta tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lulusan dari jurusan Sistem Informasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta itu masih ingat betul ketika menolak tawaran perpanjangan kontrak dari bosnya pada Januari lalu. Saat itu, ia ditawari perpanjangan kontrak selama satu tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Izzul merasa benefit yang didapatkannya bila bertahan di situ hanyalah iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang ditanggung kantor. Selebihnya, sederet biaya hidup dan beban kerjanya tak kunjung berkurang, mulai dari gaji yang pas-pasan, ongkos transportasi yang harus dibiayai mandiri, hingga kewajiban kerja dari Senin hingga Sabtu.
“Saya merasa skill yang saya miliki tidak diapresiasi. UMR Yogyakarta juga ngepres,” ujar pria kelahiran tahun 2000 itu pada Tempo, Rabu, 18 Desember 2024.
Lepas dari perusahaan properti, Izzul sempat menganggur beberapa bulan sebelum akhirnya menggarap proyek untuk perusahaan tambang di Kalimantan selama tiga bulan hingga September lalu. Dan kini ia bekerja di perusahaan pelat merah pada sektor usaha penerbangan di Tangerang, Banten.
Artinya, sejak November 2023 hingga Desember 2024, Izzul tercatat telah berpindah kerja sebanyak tiga kali. Gonta-ganti pekerjaan, menurut dia, tak jadi masalah. Bahkan, ia rela menjalani siklus mulai dari menganggur, kembali mundur dari pekerjaannya, hingga mencari pekerjaan baru yang benar-benar cocok dan dirasa bisa mendukung kapasitasnya berkembang.
Ia mengaku tak ingin salah pilih dalam bekerja, atau ibaratnya menggigit lengkuas dalam semangkok rawon. Menurut dia, dukungan tempat kerja akan perkembangan skill karyawan yang relevan dengan latar belakang keahliannya adalah hal yang tak bisa ditawar.
Selain itu, bagi Izzul, lingkungan kerja kondusif adalah prasyarat utama yang akan mempengaruhi produktivitas dan inovasinya dalam menjalankan tugas. “Kalau enjoy, saya akan produktif,” kata dia.
Direktur Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Siti Kustiati mengatakan kalangan Gen Z memang cenderung mencari pekerjaan yang memang sesuai dengan passion mereka.
Bahkan, perempuan yang akrap disapa Oky ini tak jarang menemukan Gen Z yang melamar menjadi calon aparatur sipil negara (ASN) akhirnya keluar dari pekerjaan di tengah jalan karena merasa tak cocok dengan keinginannya. “Banyak yang mengundurkan diri ketika merasa 'pekerjaan ini gak gue banget, nih',” kata dia.
Oky bercerita institusinya juga kerap mendapat laporan dari bagian Human Resource Development (HRD) dari sejumlah perusahaan soal calon pelamar dari kalangan Gen Z yang selalu menanyakan beragam fasilitas yang didapat ketika bekerja. “Mereka sudah memperhitungkan saat bekerja dapat fasilitas apa,” kata Oky.
Jumlah Gen Z di Indonesia mencapai 71,5 juta orang pada Agustus 2024. Pew Research Center menyebutkan julukan Gen Z mengacu pada orang yang lahir pada periode 1997 hingga 2012.
Di Tanah Air, Gen Z menduduki jumlah terbesar dengan persentase 22 persen dari total populasi. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang tahun 2023 lalu, ada 9,9 juta penduduk dari generasi muda usia 15–24 tahun tidak bekerja dan tidak sedang sekolah atau menjalani pelatihan. Angka hampir 10 juta penduduk ini yang kemudian memicu kekhawatiran di tengah masyarakat.
Apalagi tak jarang muncul cerita miring soal Gen Z dalam dunia kerja. Stigma buruk itu di antaranya mulai dari besarnya tuntutan work-life balance pekerja yang tak diimbangi oleh keterampilan hingga etos kerja yang mumpuni.
Kontras dengan kisah Izzul, Niko Sulpriyono bercerita bagaimana dirinya selama setahun ini kesulitan mencari kerja. Sebelumnya, ia pernah bekerja di media daring selama 10 bulan. Namun ia kemudian terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Desember 2023, yang membuatnya menganggur di Yogyakarta hingga saat ini.
Pria kelahiran tahun 2001 itu mengaku telah melamar di puluhan perusahaan, tapi hasilnya masih nihil. “Mulai mencari kerja, bikin CV, perbaiki. Terakhir Desember ini,” kata Niko yang juga lulusan perguruan tinggi negeri di Yogyakarta ini.
Selama mencari kerja, Niko bercerita ada beberapa perusahaan yang terlihat seperti menampilkan lowongan pekerjaan, tapi sebenarnya hanya sekadar berpromosi. Sebab, dari pengamatannya, tak jarang perusahaan menetapkan banyak jobdesk yang jadi tanggung jawab satu calon pekerja.
Dia lalu mencontohkan perusahaan startup yang utamanya merekrut tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan tertentu, tapi ternyata juga mensyaratkan si pelamar mampu media sosial, menulis, dan banyak lagi lainnya. Ada juga syarat tinggi badan calon pekerja yang harus dipenuhi pelamar kerja.
“Perusahaan di Indonesia terlalu aneh,” kata Niko.
Meski demikian, Niko terus gigih mencari kerja. Bagi dia, nama beken perusahaan tak penting. Asal mempekerjakan karyawan sesuai Undang-undang Ketenagakerjaan, menawarkan jenjang karir jelas, dan memanusiakan orang, Niko akan langsung mendaftar untuk bekerja di perusahaan itu. “Kerja kan cari uang, bukan hanya untuk amal jariyah,” kata dia.
Tim Jurnalisme Konstruktif Tempo juga menggelar survei pada kalangan Gen Z untuk memotret kondisi mereka dalam mencari hingga keluh-kesah dalam bekerja. Survei daring yang berlangsung selama sepekan pada pertengahan tahun ini menunjukkkan mayoritas atau 72 persen responden yang menginginkan model pekerjaan mereka fleksibel. Selain itu, ada 57, 1 persen responden yang memilih pekerjaan karena sesuai dengan keahlian mereka.
Miranda Sukma Wardani mengamini temuan sigi Tempo. Ia mengaku juga tak menyukai pekerjaan monoton alias itu-itu saja. Perempuan berusia 24 tahun itu mengatakan dirinya justru gandrung dengan sistem kerja fleksibel, lingkungan bersahabat, dan menjunjung tinggi kesetaraan.
Dia lantas menceritakan kala awal bekerja di perusahaan startup bidang digital marketing, Miranda merasa menemukan performa tebaiknya saat itu. Di perusahaan itu, para karyawan rata-rata berusia di bawah 30 tahun, sehingga senioritas itu nihil. “Aku merasa hidup. Menemukan lingkungan sebaya, bisa menunjang kerja, dan menambah pengalaman,” kata dia.
Sebelumnya, sejak lulus kuliah dari universitas swasta di Yogyakarta pada 2022, Miranda tercatat telah berpindah kerja sebanyak dua kali. Terakhir, pada tahun 2024 ini, ia bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor di kawasan Semarang, Jawa Tengah, dan menetap di sana.
Namun di pekerjaannya saat ini, ia harus kembali beradaptasi karena sangat berbeda dengan kultur kerja di startup sebelumnya. “Aku harus jadi pribadi yang serius dan saklek."
Melihat fenomena Gen Z yang sering pindah kerja hingga pilah-pilih tempat kerja itu, Country Head of Marketing Jobstreet Indonesia Sawitri angkat bicara. Ia mengatakan perusahan memang seharusnya memberikan kesempatan yang setara kepada Gen Z di lingkungan kerja.
Apalagi, kata Sawitri, bonus demografi yang dialami Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk mengantarkan Gen Z menjadi pemimpin di masa depan. “Tahun 2045 kita menjadi golden years. Kita harus kasih kesempatan,” ucapnya.
Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support
Pilihan Editor: Gen Z Protes Soal Kenaikan PPN: Khawatir Kesehatan Mental Memburuk