Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Co-founder dan Managing Partner Northstar Group Patrick Walujo menceritakan awal mula menjadi investor perdana Gojek. Satu di antara kisahnya termasuk bagaimana platform ride-hailing tersebut mengambil strategi 'bakar uang' untuk pertama kalinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, kata Patrick, Gojek masih berstatus perusahaan rintisan (startup) tahap awal di sektor ride-hailing besutan Nadiem Makarim. Gojek kala itu jauh sebelum akhirnya bergabung dengan Tokopedia dan listing di bursa (IPO) sebagai emiten teknologi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk yang bersandi saham GOTO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patrick ingat betul ketika terlibat sebagai investor pertama dari Gojek.
"Waktu mau mendanai Nadiem, saya tanya dia butuh berapa, kemudian dia bilang hanya perlu US$ 2 juta, setelah itu bisa untung. Saya jawab, Dim, yang bener?" kata Patrick ketika menghadiri diskusi bertajuk Leaders Talk yang disiarkan Universitas Katolik Parahyangan di laman media sosial resminya, dikutip Rabu, 1 Juni 2022.
Saat itu Patrick mengaku kaget ketika mendengar bahwa Nadiem hanya butuh guyuran dana US$ 2 juta dan memproyeksikan bisnis tersebut dapat meraup laba dalam jangka pendek. Meski begitu, setelah percaya dengan tekad dan argumentasi Nadiem, transaksi pendanaan pun terealisasi.
Transaksi tersebut terjadi pada tahun 2015. Northstar kala itu menggandeng modal ventura terafiliasinya, NSI Ventures, yang saat ini telah menjadi modal ventura independen bernama Openspace Ventures.
"Ya, waktu itu saya belum tahu harus mendebat di sebelah mana. Tapi saya sudah merasa bisnis ini butuh lebih dari US$ 2 juta. Dia (Nadiem) bilang 'no, no, no, percaya sama saya, itu cukup'," ucap Patrick. "Sekarang, setelah (diguyur pendanaan) miliaran dolar kemudian, masih juga belum profit, tuh."
Lebih jauh, Patrick menyebutkan bahwa perhitungan Nadiem dapat segera meraup cuan ketika itu sebenarnya karena Gojek hanya dipatok untuk beroperasi dalam lingkup kecil. Lingkup kecil yang dimaksud adalah hanya beroperasi di Jakarta dengan segelintir pengemudi. Artinya belum terbayangkan Gojek akan besar seperti saat ini.
"(Semua berubah) waktu dia melihat demand Gojek setelah diluncurkan. Bukan bulanan lagi, tapi week per week, tumbuhnya 100 persen. Sampai waktu awal-awal dulu di Jakarta, kalau ada yang ingat, sistemnya down, semua overload," kata Patrick.
Ketika itu baru disadari Gojek butuh suntikan modal jumbo untuk upgrade kapasitas sistem, mengambil SDM bidang engineering dan IT terbaik, serta mulai membangun infrastruktur digital. Strategi bakar uang pun menjadi keniscayaan.
"Karena ini juga saat di mana Gojek mulai perlu volume, terutama sisi supply atau artinya punya lebih banyak pengemudi," tutur Patrick. "Karena pengguna pasti nggak mau ketika pesan Gojek, nunggunya setengah jam. Ketika itu ada insentif untuk pengemudi, di mana biaya ke pengemudi itu lebih besar dari biaya layanan aplikasi."
Patrick mengklaim bahwa bisnis ride-hailing Gojek sebenarnya sudah menuju profit jika insentif itu dikurangi bertahap. Namun, ternyata, ada fenomena lain yang memaksa Gojek menggelar strategi 'bakar uang Jilid II'. Strategi ini kembali dipakai untuk mengimbangi pesaing yang menerapkan strategi banting harga.
"Karena saingan-saingan kita duitnya banyak banget. Saingan kita bakar duit miliaran dolar. Kenapa? Mereka mau mematikan kita (Gojek), mereka pikir market domination, pemenang ambil semua," ujar Patrick.
Ia kemudian menceritakan pernah bertemu dengan investor dari platform pesaing Gojek yang berkata langsung kepadanya. "Patrick, saya punya US$ 250 juta, kamu punya US$ 2 juta, I will kill you tomorrow'," ujarnya mengikuti pernyataan investor tersebut. "Jadi kalau ada yang ingat, ketika era persaingan itu dimulai, pesaing itu bilang 'gocap ke mana pun'. Sementara kita waktu itu charge full market price."
Meski begitu, Gojek bergeming dan terus maju bersaing. "Tapi apakah kita menyerah? Kita nggak bisa nyerah, kita harus fight back. Setelah dapat pendanaan lagi, kita lawan, nggak mau kita kalah di negara kita sendiri. Itu yang terjadi," ucap Patrick.
Setelah bertahun-tahun menjalani persaingan sengit yang diwarnai banting harga dan tebar promosi, terlihat bahwa anti-klimaks akhirnya datang pada tahun ini. Terutama akibat buntut fenomena pendanaan kering kepada sektor teknologi dan anjloknya pasar modal di Amerika Serikat.
"Kalau pendanaan kering, artinya apa? Everybody has to make money. There's no more irrational fight,"