Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aturan penambangan hasil sedimentasi membuka kembali keran ekspor pasir laut.
Pelaku usaha mengeluhkan tumpang-tindih perizinan antara Kementerian Kelautan dan Kementerian ESDM.
Biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir laut lima kali lebih besar ketimbang manfaat ekonominya.
KEMENTERIAN Kelautan dan Perikanan telah menetapkan tujuh lokasi pengerukan hasil sedimentasi di laut yang utamanya berupa pasir laut. Saat ini Kementerian Kelautan tengah menanti pelaku usaha penambangan yang berminat memasukkan dokumen persyaratan pengerukan. Pendaftaran dibuka sejak pengumuman pada 15 Maret lalu hingga 28 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan Victor Gustaaf Manoppo mengatakan hasil sedimentasi akan dijual kepada pengembang reklamasi. Adapun volume dan mekanisme penambangan akan disusun berdasarkan kebutuhan material reklamasi sesuai dengan izin pelaksanaan reklamasi dari Kementerian Kelautan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Regulasi ihwal penambangan pasir laut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Kebijakan ini memuat ketentuan tentang kegiatan pemanfaatan pasir sedimen, dari pengangkutan, penempatan, penggunaan, hingga penjualan ke pasar domestik dan ekspor.
Sedimen adalah pecahan material alami yang terbentuk dari proses pelapukan dan erosi akibat dinamika oseanografi serta terendapkan. Hasil sedimentasi berupa pasir laut harus diambil untuk mencegah gangguan ekosistem dan kegiatan pelayaran. Sedangkan hasil sedimentasi berupa lumpur yang sulit dimanfaatkan akan ditanami bakau.
Kementerian Kelautan menetapkan tujuh lokasi pengerukan hasil sedimentasi di laut. Tujuh lokasi itu berada di perairan Kabupaten Demak; Kota Surabaya; Kabupaten Cirebon; Kabupaten Indramayu; Kabupaten Karawang; Kabupaten Kutai Kartanegara; Kota Balikpapan; serta Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan di Provinsi Kepulauan Riau.
Potensi volume sedimen ditaksir sebanyak 17,6 miliar meter kubik. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan permintaan pasir laut di dalam negeri cukup banyak. “Kebutuhannya untuk reklamasi seperti di daerah Surabaya, Pantai Indah Kapuk, hingga Kalimantan,” katanya, kemarin.
Baca Infografiknya:
Menurut Trenggono, lokasi hasil sedimentasi laut kemungkinan bertambah. Dia menuturkan tim pengkajian Kementerian Kelautan terus bekerja memeriksa kandungan hasil sedimentasi di berbagai lokasi. “Jika tidak ada mineral yang berharga, bisa digunakan (untuk reklamasi),” ujarnya.
Victor Gustaaf membenarkan bahwa terbitnya aturan penambangan hasil sedimentasi ini membuka kembali keran ekspor pasir laut. Dia mengatakan pasir laut boleh ditambang untuk memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri. “Ekspor bisa dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi,” ujarnya.
Dia menjelaskan, supaya dapat melakukan ekspor, penambang harus memenuhi semua ketentuan, seperti aturan mengenai barang yang dapat diekspor di Kementerian Perdagangan ataupun pos tarif keluar di Kementerian Keuangan.
Pelaku Usaha Masih Enggan Mengajukan Proposal
Sebuah kapal tongkang pengangkut pasir laut di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Dok. TEMPO/Fransiskus S.
Meski peluang penambangan dan ekspor dibuka, sebagian pelaku usaha masih enggan mengajukan permohonan izin. Ketua Asosiasi Pengusaha Pasir Laut Kepulauan Riau Herry Tousa menyatakan para anggotanya belum mengirim proposal perizinan kepada Kementerian Kelautan.
Penyebabnya, ucap Herry, pelaku usaha masih bingung akan aturan baru tersebut. Menurut dia, peraturan mengenai hasil sedimentasi menimbulkan tumpang-tindih regulasi pertambangan pasir laut. "Pembahasan perizinan dengan Kementerian Kelautan belum mencapai titik temu," dia mengungkapkan.
Ia mengatakan saat ini ada dua versi perizinan, yakni versi peraturan hasil sedimentasi di Kementerian Kelautan dan versi izin usaha pertambangan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam Peraturan Menteri Kelautan Nomor 33 Tahun 2023, perizinan pemanfaatan dapat diterbitkan oleh Kementerian Kelautan. Sementara itu, selama ini Herry mengurus perizinan di Kementerian Energi. “Domainnya belum jelas, perlu dikaji ulang,” katanya saat ditemui Tempo, kemarin.
Ancaman Kerusakan Lingkungan
Sejumlah nelayan melakukan aksi bentang spanduk untuk menyuarakan tuntutan penyelamatan Pulau Rupat dari ancaman tambang pasir laut, 12 Juni 2023. Dok. Walhi
Rencana penambangan pasir laut ini dikritik oleh beberapa lembaga pegiat lingkungan. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin mengatakan aturan tersebut akan melanggengkan kerusakan di laut serta menghancurkan kehidupan rumah tangga perikanan.
Dia menilai lokasi penambangan pasir laut merupakan kawasan tangkap nelayan tradisional yang hidupnya bergantung pada sumber daya perikanan. Walhi mencatat tambang pasir di Pulau Rupat, Riau, telah mengakibatkan abrasi di pesisir wilayah tersebut. Begitu pun di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan.
Dampak lingkungan pengerukan pasir di laut itu tertuang dalam hasil riset berjudul “Panraki Pa’boya-boyangang; Oligarki Proyek Strategis Nasional". Greenpeace, Walhi, dan sejumlah lembaga advokasi lingkungan mempublikasi dokumen ini pada 2021. Penelitian tersebut memuat dampak kerusakan laut di lingkungan masyarakat Kodingareng, Perairan Spermonde, Sulawesi Selatan.
Selain itu, ucap Parid, biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir laut jauh lebih besar dibanding keuntungan ekonomi yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengkajian Walhi bersama tim ahli, biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir laut lima kali lebih besar ketimbang pendapatannya.
Dengan asumsi harga per meter kubik pasir laut senilai Sin$ 7,5 yang merupakan harga terendah pada 2017, biaya yang diperlukan untuk pemulihan lingkungan dari pengambilan 344,8 juta meter kubik pasir laut mencapai Sin$ 129,3 juta atau setara dengan Rp 1,507 triliun per tahun.
Mengabaikan Rekomendasi Tim Reformasi Hukum
Selain itu, aturan ini mengabaikan rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan era Mahfud Md. “Bertolak belakang dengan rekomendasi itu, Kementerian Kelautan malah mengumumkan lokasi pembersihan hasil sedimentasi laut, yang tidak lain merupakan izin penambangan pasir laut,” kata Parid.
Dokumen Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum yang terbit pada 16 September 2023 menyebutkan salah satu langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah membatalkan PP Nomor 26 Tahun 2023. Alasannya, aturan itu membuka kembali pintu ekspor pasir laut.
Tim Percepatan Reformasi Hukum juga menyebutkan bahwa kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut menyebabkan konflik serta memberikan dampak buruk terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sementara itu, pemanfaatan hasil sedimentasi sudah dilarang sejak 2003 lewat Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Aisyah Amira Wakang berkontribusi dalam penulisan artikel ini