Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berkat dana IMF, cadangan devisa Indonesia naik.
Gejolak masih mungkin ada terutama jika The Fed menaikkan bunga.
Manajemen utang pemerintah perlu dijaga untuk menahan investor.
KINI giliran Dana Moneter Internasional (IMF) yang bergerak, bersiap menghadapi gejolak yang akan melanda pasar global. IMF menyiapkan tambahan amunisi bagi negara-negara anggotanya untuk menghadapi kebijakan The Federal Reserve. Besar kemungkinan The Fed mulai mengurangi suntikan dolar Amerika Serikat ke pasar, tapering, sebelum tahun ini berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amunisi IMF itu berupa tambahan dana alokasi penarikan khusus atau special drawing rights (SDR), yang mengucur akhir Agustus lalu. Sekadar catatan, SDR bukanlah utang dari IMF yang harus dikembalikan atau berbunga. Tak ada pula syarat khusus untuk mendapatkannya. Semua anggota IMF berhak memperoleh jatah sesuai dengan kuota. Negara pemilik SDR sewaktu-waktu juga dapat menukarkan SDR-nya dengan mata uang kuat dunia, seperti dolar Amerika. Dus, tambahan SDR otomatis memperkuat cadangan devisa negara penerima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi-bagi SDR kali ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah IMF. Nilainya setara dengan US$ 650 miliar untuk semua anggota. Indonesia mendapat jatah US$ 6,31 miliar. Tambahan SDR itu membuat cadangan devisa Indonesia per Agustus 2021 melambung ke posisi tertinggi sepanjang sejarah, US$ 144,8 miliar.
Tambahan cadangan devisa yang begitu besar tentu membawa sentimen pasar yang positif bagi Indonesia. Jika dana investasi asing keluar dengan deras—konsekuensi yang harus diantisipasi jika tapering mulai berlangsung—kurs rupiah akan lebih mampu bertahan. Tambahan SDR itu memperkuat kemampuan Bank Indonesia meladeni permintaan valuta asing dari investor asing yang ingin membawa uangnya keluar dari Indonesia.
Kendati demikian, investor tetap perlu waspada. Pertanyaan kuncinya: apakah tambahan amunisi dari IMF ini mampu menjaga pasar finansial Indonesia tetap aman ketika gejolak tapering benar-benar tiba? Sulit memperkirakan seberapa besar dana asing akan keluar dari Indonesia jika likuiditas dolar Amerika di pasar global mulai menyusut karena tapering. Besarnya arus balik itu bergantung pada kuatnya faktor penarik dari luar dan pendorong dari dalam.
Faktor penarik dari luar yang paling berbahaya adalah naiknya suku bunga di Amerika. The Fed memang sudah menyatakan suku bunga tak akan naik dalam tempo dekat, setidaknya hingga 2023. Tapi perkembangan ekonomi global belakangan ini tidak mendukung skenario tersebut. Gangguan pada aliran perdagangan dunia makin parah.
Rantai pasokan berbagai komoditas dan barang manufaktur secara global makin tersendat karena berbagai sebab. Banyak produsen tak mampu dengan cepat mengembalikan kapasitas produksi yang sempat terhenti karena wabah, baik akibat hilangnya tenaga kerja maupun tersendatnya pasokan bahan baku. Melonjaknya permintaan setelah ekonomi mulai kembali bergulir juga menimbulkan kelangkaan peti kemas yang membuat ongkos logistik melonjak berlipat-lipat.
Gangguan ini memicu lonjakan inflasi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Konsekuensinya, makin banyak ekonom yang yakin bahwa kenaikan bunga The Fed kemungkinan besar datang jauh lebih cepat, pada tahun depan. Dalam survei oleh Financial Times dan University of Chicago, Amerika Serikat, awal September ini, 70 persen ekonom yang menjadi responden percaya suku bunga The Fed akan naik setidaknya seperempat persen pada 2022.
Jika tapering berlanjut dengan kenaikan suku bunga The Fed pada 2022, gejolak pasar yang muncul bisa sangat besar. Investor asing akan menghitung ulang untung-rugi ataupun risiko berinvestasi di sini. Imbal hasil berinvestasi yang lebih besar di pasar negara maju dapat mendorong arus balik yang jauh lebih besar.
Dari dalam, ada pula faktor pendorong yang dapat mengurangi selera investor untuk bertahan. Salah satunya timbunan utang yang kian memperburuk profil risiko Indonesia. Utang pemerintah terus melambung, demikian pula gunung pinjaman korporasi yang bisa menjadi letusan besar kredit macet. Otoritas keuangan dan pemerintah Indonesia tak punya pilihan selain berupaya sekuat tenaga menggembosi daya dorong itu agar investor tetap betah menanam uang di sini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo