Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketar-ketir Akibat Melepaskan Kontainer Barang Impor

Bea-Cukai membebaskan lebih dari 20 ribu kontainer barang impor yang tertahan di pelabuhan. Apa dampaknya terhadap industri?

9 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 25 April 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pelepasan 26.415 kontainer barang impor yang sempat tertahan di pelabuhan mendapat kritik keras dari Kementerian Perindustrian.

  • Pelepasan barang dari puluhan ribu kontainer itu bakal berdampak serius pada sektor manufaktur di Tanah Air. Terlebih, kinerja manufaktur dalam negeri merosot pada Juli 2024.

  • Bea-Cukai menampik tudingan terhadap instansinya yang dinilai tidak transparan soal data isi kontainer yang tertahan karena perizinan impor.

DIREKTORAT Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menyatakan sudah membebaskan 95 persen dari total 26.415 kontainer yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara; dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea-Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengatakan kontainer itu mengendap di pelabuhan karena sejumlah pelanggaran impor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelanggaran yang dimaksudkan, antara lain, barang yang terkena aturan larangan dan pembatasan, barang tidak dikuasai, tak sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI), dan tidak mendapatkan persetujuan impor atau pertimbangan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelepasan kontainer berisi barang impor ilegal itu berlangsung hanya dalam dua pekan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Aturan itu merupakan hasil perubahan ketiga atas Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Pelepasan 26.415 kontainer itu mendapat kritik keras dari Kementerian Perindustrian. Sebab, langkah itu dinilai berisiko membuat isi kontainer, yang diduga barang impor ilegal, membanjiri pasar domestik, terutama tekstil dan produk tekstil (TPT). “Kalau banyak banjir barang (impor ilegal), pesanan ke industri (dalam negeri) menurun,” ujar juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu, 7 Agustus 2024.

Jika pesanan terhadap industri dalam negeri turun, tutur Febri, produksi terpaksa ditekan. Penyerapan tenaga kerja pun akan melambat, bahkan bisa kembali terjadi pemutusan hubungan kerja secara masif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perindustrian, jumlah tenaga kerja di industri tekstil merosot 7,5 persen dibanding pada tahun lalu. Jumlah pekerja di industri pakaian jadi juga turun 0,85 persen. 

Febri menekankan bahwa pelepasan barang dari puluhan ribu kontainer itu bakal berdampak serius pada sektor manufaktur di Tanah Air. Terlebih, kinerja manufaktur dalam negeri merosot pada Juli 2024. Tercatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) berada di level 52,4 atau melambat 0,10 dibanding pada Juni 2024 yang sebesar 52,5. S&P Global juga merilis Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur turun dari 50,7 pada Juni 2024 menjadi 49,3 pada Juli 2024 atau masuk ke level kontraksi.

Setelah Permendag Nomor 8/2024 berlaku, Kementerian Perindustrian mengungkapkan volume impor TPT per Mei 2024 mencapai 194.870 ton. Angka itu meningkat 42,9 persen dari 136.360 ton pada April 2024. 

Hal itulah yang membuat Kementerian Perindustrian mendesak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membuka data isi semua kontainer tersebut. Kementerian menduga ada data yang disembunyikan. Pasalnya, dalam surat yang dikirim kepada Kementerian Perindustrian, Bea-Cukai hanya menjelaskan tentang 49,2 persen atau 12.994 dari 26.415 kontainer yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Sedangkan data muatan dari sisa kontainer lain sebanyak 13.421 kontainer tidak disebutkan.

Bea-Cukai menyajikan data muatan kontainer menjadi tiga kategori besar. Kategori itu adalah bahan baku atau penolong, barang konsumsi, dan barang modal. Setiap kategori memuat sepuluh besar jenis barang di dalam kontainer. Dari 7.557 kontainer yang dibebaskan, terdapat barang konsumsi sebanyak 3.021 kontainer dan barang modal 2.416 kontainer. Artinya, kata Febri, hanya 12.994 atau 49,2 persen dari 26.415 kontainer yang dijelaskan oleh Bea-Cukai. 

Jika Bea-Cukai tidak transparan, Kementerian Perindustrian kesulitan menyusun kebijakan atau langkah mitigasi atas pengeluaran isi kontainer tersebut dari pelabuhan. Hal ini mengingat dari pangsa pasar produksi TPT nasional, terlihat persentase pasar domestik jauh lebih besar dibanding ekspor. 

Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki (ITKAK) Kementerian Perindustrian Adie Rochmanto Pandiangan mengatakan pasar dalam negeri berkontribusi terhadap industri TPT nasional lebih dari 80 persen. "Sehingga, jika pasar dalam negeri terganggu, hal itu akan mengganggu industri TPT secara keseluruhan," tutur Adie, Rabu, 8 Agustus 2024. 

Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Adie Rochmanto Pandiangan. ANTARA/HO-Kemenperin

Kekhawatiran akan dampak pelepasan kontainer barang impor ini juga diungkapkan oleh sejumlah pelaku usaha. Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI) khawatir produk impor ilegal tersebut dijual kembali ke pasar. Imbasnya, sektor TPT kian lemah. Koordinator AMTI Agus Riyanto juga menyarankan pemerintah mereekspor barang-barang impor ilegal itu dengan membebankan biaya kepada importirnya. 

Agus juga meminta Bea-Cukai buka-bukaan tentang inisiator yang membebaskan produk itu. Dia menegaskan, satuan tugas impor ilegal harus bekerja sama dengan instansi lain untuk mengungkap pelaku yang membebaskan produk impor ilegal. Apabila telah mengetahui importirnya, pemerintah tinggal membebankan biaya sekaligus mengadilinya. 

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia Danang Girindrawardana mengatakan saat ini tingkat kerentanan industri manufaktur Indonesia sangat tinggi. Dengan demikian, barang-barang impor yang membanjiri pasar akan makin membuat hasil produksi dalam negeri kalah bersaing. 

Biang kerok banjirnya barang impor di dalam negeri, menurut dia, adalah pengaturan impor yang salah arah. "Permendag Nomor 8 Tahun 2024 itu sebuah kecelakaan bersejarah bagi kami," ucap Danang kemarin. Musababnya, aturan itu membebaskan syarat pertek dari Kementerian Perindustrian. Pertek memuat kelengkapan dokumen impor, yakni komoditas elektronik, alas kaki, serta pakaian jadi dan aksesori. 

Pekerja menyelesaikan produk alas kaki di Tangerang Selatan, Banten. Tempo/Tony Hartawan

Kalaupun pertek membuat banyak barang impor yang telanjur datang tertahan hingga mengganggu pelabuhan, Danang menilai seharusnya pemerintah menerapkan mekanisme yang tidak merugikan industri dalam negeri.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) berpandangan serupa. Peneliti dari Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan penghapusan pertek terhadap 18 komoditas barang impor yang disebutkan dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2024 berbahaya. Sebab, Kementerian Perindustrian-lah yang mengetahui kondisi industri di dalam negeri, kebutuhan impor bahan baku, dan kondisi industri lokal. Tanpa adanya pertek, barang impor bisa masuk dengan leluasa dan mengganggu ekosistem manufaktur. 

Sementara itu, Bea-Cukai menampik tudingan terhadap instansinya yang dinilai tidak transparan soal data isi kontainer yang tertahan karena perizinan impor. Nirwala Dwi Heryanto mengklaim pelepasan kontainer-kontainer itu dilakukan karena telah memenuhi syarat aturan border. 

Adapun Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan sulit mengubah kembali Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu mengklaim telah memenuhi semua permintaan tentang impor yang diajukan kepada dia. Zulkifli menyebutkan aturan yang telah diubah, misalnya perubahan dari post-border menjadi border, pemberlakuan pertek, dan pelonggaran barang kiriman pekerja migran Indonesia. “Yang belum saya kasih apa?” katanya saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Selasa, 9 Juli 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Han Revanda berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus