FAISAL Basri masih belum selesai menyoal integritas salah satu calon Gubernur Bank Indonesia ketika sekonyong-konyong Dudhie Makmun Murod memotongnya. "Ini bukan forum untuk menguliti pribadi para calon," kata anggota Komisi Keuangan dan Perbankan dari Fraksi PDIP ini. Dudhie beralasan, rapat dengar pendapat dengan sejumlah pengamat dan mantan petinggi bank sentral pada Rabu lalu itu hanya sebatas meminta masukan mereka soal visi dan misi yang mesti dimiliki seorang Gubernur BI. Lain tidak.
Merasa heran dengan pembatasan itu, apalagi Undang-Undang BI mensyaratkan Gubernur BI haruslah seorang yang bermoral dan berakhlak tinggi, Faisal menyatakan keberatan. Tapi apa lacur, pemimpin sidang bersetuju dengan Dudhie dan memintanya berhenti bicara. Alasan yang diajukan lain lagi: pada malam sebelumnya sudah ada kesepakatan untuk tak membahas calon secara orang per orang.
Rupanya, bukan hanya Faisal yang terheran-heran. Usai rapat, beberapa anggota parlemen lain menggerundel. Kata mereka, pembatasan itu karangan saja. "Selama itu benar dan ada faktanya, sebenarnya tak apa-apa," kata Anthony Zed Abidin dari Fraksi Golkar. Untunglah, Faisal akhirnya masih diminta beberapa fraksi supaya memberikan informasi tertulis.
Pemilihan nakhoda Bank Indonesia pekan ini memasuki tahap akhir. Tiga calon yang diajukan Presiden Megawati 17 Februari lalu—Miranda Swaray Goeltom, Burhanuddin Abdullah, dan Cyrillus Harinowo—pada Senin ini akan diuji kelayakan dan kepantasannya oleh para wakil rakyat. Dalam forum itu, mereka akan dikorek luar-dalam, mulai dari soal visi dan misi mereka sebagai Gubernur BI, catatan prestasi, sampai soal yang berhubungan dengan moral dan akhlak.
Burhanuddin adalah bekas Deputi Gubernur BI yang pernah menjadi Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid. Miranda masih menjabat Deputi Gubernur BI. Adapun Harinowo adalah salah seorang Direktur BI yang pernah bekerja sebagai perwakilan Indonesia di IMF.
Hasil tes akan disampaikan dalam rapat paripurna keesokan harinya. Dan nama gubernur yang terpilih akan disampaikan ke Presiden Megawati pada 14 Mei—dua hari sebelum 17 Mei, batas waktu harus terpilihnya gubernur baru berdasarkan Undang-Undang BI.
Lalu, siapa yang akan bertengger di puncak bank sentral? Peta pertarungan di Komisi Keuangan parlemen, total ada 55 anggota, menunjukkan perebutan suara ketat akan terjadi antara Miranda dan Burhanuddin. Harinowo sejak awal diyakini sudah tersingkir karena tak punya cukup dukungan.
Dua fraksi terbesar di komisi itu, PDIP (19 suara) dan Golkar (14), dikabarkan terpecah. Sebagian besar anggota Fraksi Banteng Bulat dikabarkan masih kuat mendukung Miranda, plus sejumlah suara dari partai kecil. Sementara itu, mayoritas suara Golkar menjagokan Burhanuddin, ditambah dua fraksi lainnya yang punya suara lumayan besar, Partai Persatuan Pembangunan (7) dan Partai Kebangkitan Bangsa (5).
Seorang anggota parlemen menyebutkan, terlepas dari hasil uji kelayakan dan kepantasan, semula Miranda berada di atas angin. Namun, belakangan arah angin berubah. Jengah dengan berbagai kabar miring yang menerpa Miranda beberapa minggu belakangan, sejumlah anggota Fraksi PDIP berubah haluan.
Namun, Max Moein, Ketua Komisi Keuangan dari PDIP yang dikenal luas sebagai salah satu pengusung nama Miranda, membantah semua itu. Katanya, tak ada instruksi khusus dari partainya untuk memenangkan doktor moneter lulusan Boston University, AS, ini. Dia juga menyangkal bahwa fraksinya terpecah.
Suara berbeda diungkapkan koleganya, Meilono Suwondo. Anggota parlemen yang terkenal vokal ini mengakui, ada kecenderungan partainya semula memilih Miranda. Dia sendiri malah menjagokan Harinowo si under dog. Soalnya, BI menurut dia adalah lembaga kepercayaan yang sedapat mungkin harus dihindarkan dari kontroversi. Menurut dia, pergunjingan tentang Miranda sudah begitu ramai sehingga kalau dia terpilih malah bisa membuat bank sentral gonjang-ganjing terus. Begitu pula dengan Burhanuddin. Menurut dia, pemilihan bekas menteri ini bakal terlalu politis buat bank sentral. "Jadi, Harinowo sajalah," katanya terbahak.
Meilono mengkritik sekarang uji kelayakan Gubernur BI jadi tampak formalitas belaka. Jawaban para calon, sebagus atau sejelek apa pun, tak lagi berpengaruh karena sejak awal para wakil rakyat sudah mengantongi nama. Menurut dia, di masa depan seharusnya fit and proper test dilakukan oleh sebuah lembaga penilai yang beranggotakan orang-orang independen.
Pendapat Meilono layak diperhatikan. Tadinya, uji ini digelar untuk menjamin independensi seorang Gubernur BI, justru agar dia tidak tersangkut dengan partai politik mana pun. Kenyataannya, sekarang ini urusan Gubernur BI, dengan model uji kelayakan di parlemen, mau tak mau mengaitkan calon dengan partai politik.
Tapi itu kondisi ideal yang masih di awang-awang. Kembali ke bumi, ke ajang pemilihan yang segera digelar, Faisal Basri melihat sebenarnya tak terlalu menentukan gubernur bank sentral yang terbaik dari tiga calon yang ada. Patokannya jelas: Pasal 40b Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Terang disebutkan di situ, yang pertama-tama harus dimiliki seorang Gubernur BI adalah moral dan akhlak yang tinggi. Soal keahlian dan pengalaman ada di urutan kedua. "Setidaknya orang itu belum pernah melakukan kebohongan publik," katanya lugas.
Anthony dari Fraksi Golkar juga berpandangan serupa. Persyaratan moral dan akhlak tinggi tak lagi bisa ditawar. Artinya, gubernur bank sentral yang baru haruslah orang yang bisa dipercaya ucapan dan tindakannya. Dia juga harus taat hukum dan tidak melakukan perbuatan tak terpuji dalam kehidupan sehari-hari.
Hal senada pun dinyatakan ekonom CSIS, Pande Radja Silalahi. Dia menyatakan soal moral dan akhlak harus ditaruh di urutan pertama, baru setelah itu soal keahlian, pengalaman, dan kepiawaian di bidang moneter. Dia berharap Dewan bisa menetapkan pilihan dengan setepat-tepatnya. "Jangan sampai dosa BI menjadi dosa DPR nantinya," ia menegaskan di hadapan para anggota Komisi Keuangan, pekan lalu.
Memang, masih kata Faisal, kontes ini belum akan menghasilkan Gubernur BI sekelas Alan Greenspan. Dalam istilah Faisal, kualitas kandidat sekarang hanyalah sub-optimal. Karena itu, yang bisa dilakukan adalah menyisir para calon secermat mungkin. Kandidat yang punya riwayat penuh noda, paling berada di daerah abu-abu, dan berlumuran dengan penyelewengan masa lalu harus tegas dicoret.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini