OBAT, rupanya, masih merupakan dagangan menarik. Buktinya, Rabu pekan ini, Menteri Kesehatan meresmikan PT Sandoz Biochemie Farma Indonesia (SBFI), penghasil bahan baku antibiotik, non-antibiotik, sekaligus obat jadi, di Citcureup, Bogor. Mestinya Indonesia tak lagi tergantung impor, "Sebab, yang kami buat bisa memenuhi kebutuhan nasional, bahkan lebih," kata J.W.R. den Toom, Presdir SBFI. Sandoz (Swiss) dan Biochemie (Austria) pemilik saham 55%, yang berpatungan dengan PT Anugrah Daya Laksana, dan Kimia Farma (45% saham), direncanakan kelak akan mampu berproduksi sampai 100 ton bahan baku. Sama dengan kebutuhan konsumennya: 85 pabrik obat. "Beberapa pabrik, memang, sudah membuat bahan baku, tapi terbatas untuk kebutuhan intern mereka," ujar Den Toom. Mulai produksi sejak awal tahun, kini hasilnya mencapai 12 ton, dengan 400 karyawan. Tahun ini direncanakan mencapai 30 ton. Masih jauh dari titik impas yang 80 ton per tahun. "Kami telah mengajukan permohonan kepada pemerintah agar mendapatkan proteksi yang wajar sebagai pabrik baru," ujar Den Toom. Maksudnya, tentu, agar produknya bisa laku tanpa hambatan, tcrutama dari produk impor sejenis, yang kini hanya dikenai bea masuk 5%. Tampaknya, itu bukan harapan kosong. Dalam sambutannya, Dirjen POM Midian Sirait menyadari salah satu hambatan dalam pengembangan industri bahan baku farmasi adalah daya serap pasar. "Makanya dalam rangka menciptakan iklim yang sehat, perlu perlindungan yang wajar untuk mendorong perkembangan industri bahan baku," katanya. Berapa yang wajar? Menurut Dr. W. Biantoro Wanandi, Wakil Presdir SBFI kurang lebih 50 persen. "Paling tidak untuk masa lima tahun," katanya. Tak terlalu besar? "Anda harus ingat, untuk bisa mencapai tahap komersial, kami harus menghasilkan sedikitnya 75 % dari kapasitas produksi. Nah, saat itulah SBFI baru bisa bersaing," katanya. Ia juga beranggapan, "Selain investasi 16 juta dolar, kami masih memerlukan modal kerja sekitar 5 juta dolar." Lama bermukim di luar negeri, orang No. 2 SBFI ini pernah menjabat manajer program obat esensial di kantor pusat WHO di Swiss dari 1977-83. Pengalamannya diutus ke berbagai negeri, terutama Afrika, membuat dia yakin akan perlunya alih teknologi. "Dan saya ingin melihat itu terjadi di Citeureup," katanya. Seluruh kegiatan SBFI, menurut Wanandi, baru merupakan fase pertama. Tapi vang amat menentukan, menurut dia, kalau pabriknya kelak bisa memasuki fase fcrmentasi, yang merupakan dasar dari bioteknologi cikal-bakal rekayasa genetika. "Itu teknologi tahun 2000 ke atas, yang harus kita mulai dari sekarang," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini