Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Manisnya laba, pahitnya bir

Pt multi bintang produsen bir bintang tahun 1987 berani membayar dividen rp 230 untuk setiap lembar sahamnya. menguasai separuh pasar bir, atau 750.000 hektoliter. persaingan berbagai merk dipasaran.

13 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI saat para bankir sedang berlomba menyedot rupiah dengan menaikkan bunga deposito jadi 18%-20%, siapa sangka sebuah pabrik minuman justru memberi lebih dari itu. Adalah PT Multi Bintang, produsen Bir Bintang, yang tahun ini berani membayar dividen Rp 230 untuk setiap lembar sahamnya. Dividen 23% atas saham bernilai nominal Rp 1.000 itu bisa dihasilkan dengan sebuah kerja berat lewat usaha menggenjot penjualan di tahun 1986 menjadi Rp 67 milyar dari Rp 59 milyar pada 1985. "Meningkatkan volume penjualan memang merupakan salah satu tujuan utama kami," kata Tanri Abeng, Direktur Utama Multi Bintang. Kendati volume penjualan dalam rupiah meningkat, laba bersih Multi tahun ini toh turun hampir Rp 400 juta--dari Rp 6 milyar pada tahun 1985 jadi Rp 5,6 milyar tahun lalu. Kenapa? "Kami banyak tersandung pada hal-hal yang berada di luar kekuasaan manajemen," ujarnya. Di antara beberapa faktor luar itu: devaluasi, PPN, dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Penurunan nilai rupiah erhadap mata uang gulden, misalnya. Pada awal 1986 satu gulden masih tercatat Rp 411, tapi akhir tahun lalu terjadi depresiasi (tentunya plus devaluasi) hingga nilai gulden naik 83% menjadi 753. Nah, akibat perubahan kurs tersebut, biaya produksi Multi naik 25%. "Sementara biaya sudah naik, Multi belum berani menaikkan harga jual, karena harus mempertahankan keutuhan passr," kata Abeng. Menurut Abeng, karena PPN dan PPn Barang Mewah baru diberlakukan April 1985, maka untuk tahun buku itu Multi hanya membayar Rp 21,4 milyar (plus cukai. Sedang tahun 1986, karena masa pajak berlaku setahun penuh, Multi membayar Rp 25,3 milyar. "Coba, kalau pembayaran pajak Multi tetap, sudah pasti keuntungan tahun ini akan lebih besar," ujarnya. Faktor lain yang juga dianggap berpengaruh, kendati tidak menggoyahkan posisi Multi yang menguasai separuh (750 ribu hektoliter) pasar bir di sini, adalah semakin banyaknya merk yang beredar sebagai saingan. Produksi dalam negeri saja kini sudah ada tujuh merk. Belum lagi bir impor, yang kata Tanri, "Masuk dengan menyelundup, sehingga jauh lebih murah, dan kini diduga telah menguasai 10% pasar bir Indonesia. Apa pun yang dikeluhkan, Multi ternyata masih jauh di atas angin dibanding merkmerk lain. Lihat saja PT Delta Djakarta misalnya. Produsen Anker Bir, yang tahun sebelumnya didera rugi sampai Rp 1,46 milyar, sampai tahun lalu juga masih rugi Rp 822 juta. Padahal, setelah kerugian 1985 terjadi, yang disebabkan oleh membengkaknya piutang macet, Delta mendapat suntikan dana dari PT Mantrust sebagai pemodal baru sebanyak Rp 3,7 milyar. Begitu pula jalur distribusi, yang dianggap sebagai biang keladl membengkaknya plutang itu, sudah dibenahi, dengan menunjuk PT Borsumij Wehry Indonesia sebagai distributor tunggal. Apa yang terjadi kemudian? Hasil penjualan kotornya malah menurun hampir Rp 4 milyar dibanding tahun sebelumnya. "Tapi kerugian Delta masih lebih banyak disebabkan oleh besarnya beban bunga yang harus ditanggung," kata Rubian Harahap, Direktur Pemasaran Delta, seakan menyalahkan manajemen sebelumnya, yang dianggap salah mengambil keputusan. Dalam soal rugi-merugi, sebenarnya Delta tak sendiri. PT San Miguel Brewery Indonesia, yang memproduksi Bir San Miguel, pun tahun ini masih belum melaba. "Tapi kerugian yang kami derita tahun ini jauh lebih kecil dibanding tahun 1985," kata Karim Ramadani, Manajer Umum San Miguel, tanpa menyebut angka. Buktinya, bir yang menguasai 6% pasar ini pada 1986 mengalami kenaikan penjualan sampai 28%. Sayangnya, seperti yang dialami pabrik-pabrik lain, yang penjualannya paling ramai malah bir kaleng, "Yang boleh dibilan hampir tidak ada untungnya," kata Karim. "Apa boleh buat, kami terpaksa terus memproduksi bir kaleng kendati untungnya tipis," ujar Karim. Itulah sebabnya, untuk melebarkan sayap, dua pekan lalu diluncurkan dua produk baru berupa San Miguel Super Beer (dalam botol), dan San Miguel Draught Beer (dalam kaleng) - dengan rasa lebih pahit dan pekat. "Habis, selama ini banyak konsumen bilang, bir kami terlalu manis," katanya. San Miguel tampak lebih optimistis dengan kedua produk barunya. Tidak seperti Tanri Abeng, kendati sebagai market leader, tahun 1987 dianggapnya lebih berat. Sebab, Multi harus mempertimbangkan, "Apakah harga jual harus dinaikkan, dengan konsekuensi pasar menciut, atau harganya tetap tapi pasarnya berkembang. Kami masih menghadapi dilema," katanya. Budi Kusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus