Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengambil risiko

Risiko selalu muncul pada keadaan yang manapun, baik mengambil tindakan ataupun tidak. buku tulisan jeffrey robinson menyebuntukan bahwa risiko itu identik dengan uang, ego dan kekuasaan.

13 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJALAH Swasembada nomor ini menurunkan wawancara dengan Menteri Koperasi Bustanil Arifin. Ada ciri yang menarik dari pribadi yang satu ini. Ia mengambil keputusan untuk melakukan tindakan-tindakan berani dan menanggung apa pun risiko yang akan terjadi. Ketika peternak sapi harus membuang susu ke sungai karena ditolak, semua orang menyimpulkan diperlukan tata niaga baru untuk susu sapi. Bustanil tak hanya menyimpulkan. Dengan satu gebrakan, ia memunlskan kebijaksanaan kaitan antara koperasi susu sapi dan pengusaha sektor modern. Risiko memang selalu muncul pada keadaan yang mana pun -- mengambil atau tidak mengambil tindakan. Banyak orang sekarang termangu memikirkan uangnya: dijadikan dolar, atau dibiarkan dalam deposito rupiah saja? Apa pun yan dipilih, risikonya ada. Tak pernah ada sesuatu yang dapat kita pilih di dunia ini tanpa risiko. Mau jogging supaya sehat, ada risiko ditabrak mobil. Makan enak pun mengandung risiko. Apalagi punya istri cantik. Ah! Apakah risiko itu Seorang penulis cerita pendek Jeffrey Robinson, yang mengrang buku The Risk Takers (yang ini bukan kumpulan cerita pendek!), menulis bahwa risiko itu identik dengan uang, ego, dan kekuasaan. Mereka yang memenangkan perlombaan dengan risiko akan memperoleh ketiga hal itu. Buku itu ditulis setelah Jeffrey bertemu dengan seorang "gila" bernama Frank, di sebuah kota sepi Texas bernama Lubbock. Frank yang berusia 30-an itu ternyata punya bisnis ganjil: mengejar tornado. Frank seperti anggota Yayasan Gotong Royong Kemanusiaan - selalu sudah berada di dacrah bcncana beberapa jam setelah petaka itu memporak-porandakan suatu wilayah permukiman. Lubbock ketika itu memang tampak seperti Berlin pada akhir 1945. Tornado baru saja melanda daerah itu. Begitu mendengar berita bencana, Frank akan segera mengantungi buku ceknya, pergi ke bandar udara, dan langsung terbang ke lokasi bencana. Ia tak perlu membawa sekretarisnya, tentu saja. karena di lokasi bencana ia dengan segera dapat melengkapi dirinya dengan seorang sekretaris berambut pirang yang menemaninya ke mana saja. Apa yang dilakukan Frank di tempat kejadian itu? Dengan segera, ia mengurus kredit dari beberapa bank lokal, lalu mulailah ia berjalan seperti sinterklas dengan mobil mewah sewaan. Apa saja yang tampak akan dibelinya. Bis yang mencong karena diempas angin ke pohon besar, pagar jembatan dari logam cor antik, tiang-tiang tclepon yang roboh, bekas pompa bensin yang porak-poranda. Tentu saja, semua itu dibelinya dengan harga bantingan. Dalam keadaan bencana seperti itu, masyarakat yang sedang depresi akan melepas barangnya yang telah rusak atau setengah hancur itu dengan uang tunai berapa pun. Kabar pun tersebar, bahwa seorang Frank dengan sekretaris berambut pirang punya uang banyak, dan bersedia membeli barang rongsokan apa saja. Frank dan sekretarisnya memang lantas kebanjiran barang rongsok. Maklum, tidak semua barang diasuransikan. Bahkan tak sedikit orang yang memilih menjual barang rongsoknya ke Frank, ketimbang menunggu petugas asuransi yang toh akan lamban bekerja, penuh prosedur, dan belum tentu akan memberikan uang pertanggungan yang baik. Tiap ada waktu, Frank akan menelepon kantornya untuk menyebutkan daftar barang yang telah dibelinya. Dan orang-orang di kantornya akan segera mencari jalan untuk menjual kembali semua barang rongsok itu. Kalau berhasil, mereka akan untung besar Kalau tak berhasil, ya, rugi besar. Kemungkinannya hanya itu, 'kan? Di situlah letak rahasianya. Frank dan organisasinya tahu orang kaya yang mau membeli logam cor antik bekas pagar jembatan untuk hiasan rumahnya. Mereka tahu tukang ketok paling hebat yang bisa meluruskan bis yang telah mencong. Mereka tahu tukang mebel yang dapat mengubah bekas tiang telepon dari kayu menjadi perabotan rumah tangga yang bisa dijual mahal. Itulah kiat Frank. Beli murah, jual mahal. Tidak terlalu baru, bukan? tetapi, ia telah mengambil risiko yang luar biasa atas barang murah yang diharapnya dapat dijual mahal. Tidak scmua barang rongsokan yang ditemukannya di antara puing-puing reruntuhan bekas dobrakan tornado itu bisa dijual kembali. Beberapa belanjaan Frank di lokasi bencana memang akhirnya terpaksa dibiarkan begitu saja. Harganya toh tak seberapa ketika dibeli. Demikianlah aktivitas bisnis Frank yang bergantung pada kebaikan tangan Tuhan. Ia hanya menunggu sampai ada bencana tiba, sambil bercengkerama dengan sekretaris berambut pirang yang lain, dan cerutu gemuk di tangannya. Dengan cara itulah ia melupakan risiko besar - terlalu besar malah - dari bisnis yang digelutinya. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus