Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Umbi porang Amorphophallus oncophyllus Prain banyak diburu di pasar Asia Timur seperti Cina, Jepang, Korea dan Taiwan, di sana tepung dari tanaman anggota keluarga Amorphophallus ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan kosmetik, obat, dan makanan. Di tanah air, porang bak primadona bagi petani, budidayanya tidak terlalu sulit dan harga jualnya lumayan menguntungkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Institut Pertanian Bogor atau IPB Departemen Agronomi dan Holtikultura, Prof Edi Santoso turut memberikan tanggapan terkait porang yang tengah naik daun ini. Dilansir dari laman resmi IPB University, Prof Edi menuturkan di Indonesia terdapat 24 jenis atau 12 persen dari total 200 Amorphophallus yang tersebar di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ada sekitar 24 jenis Amorphophallus asli Indonesia dan tanaman ini hanya ada di dunia lama seperti Indonesia,” ujar Prof Edi, dilansir Tempo dari ipb.ac.id pada Selasa, 20 April 2021.
Menurut Edi, secara botani, dunia dibagi menjadi dua, yakni dunia lama dan dunia baru. Adapun dunia lama terdiri dari benua Asia dan Afrika, sementara dunia baru yaitu Amerika, Eropa, dan Australia. Itulah sebabnya tanaman keluarga Amorphophallus ini tidak ditemukan di benua tersebut.
Secara sekilas, porang mirip dengan dua saudaranya, suweg A. paeoniifolius dan iles-iles A. Muelleri. Namun ketiganya berbeda, porang memiliki daging umbi berwarna oren, sedang dua yang disebut terakhir berumbi putih. Ketiganya memiliki nilai jual tinggi dibandingkan dengan anggota famili Amorphophallus lainnya di dunia.
Masyarakat Indonesia biasanya memanfaatkan porang untuk bahan makanan seperti kolak, selain itu porang juga dijadikan sumber karbohidrat lain, bertekstur mirip talas atau taro namun sedikit lebih berair, karena kandungan patinya yang lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman dari genus Colocasia itu, meskipun keduanya dari keluarga Aracea.
Tanaman porang sendiri awalnya merupakan tanaman hutan. Edi menerangkan, masyarakat mulai mengonsumsi porang sejak masa penjajahan Jepang tahun 1942. Sebelumnya Jepang telah membudidayakan tanaman porang dan acung, kemudian Jepang memanfaatkan tanaman tersebut sebagai logistik perang untuk menduduki Indonesia.
“Paling banyak yang dibawa itu adalah porang dan acung. Saat itu Jepang memanfaatkan tanaman ini untuk logistik perang terutama untuk sumber makanan. Sayangnya catatan sejarah kita terputus, catatan yang ada itu masyarakat kita dulu sudah mengonsumsi porang tetapi belum diketahui sejak kapannya,” tutur Edi.
Di Indonesia, tanaman porang mulai dibudidayakan secara intensif sejak 1980-an. Perhutani mengintroduksi atau mengenalkan porang ke Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tanaman ini tidak memakan lahan banyak, karena bisa ditanam di bawah naungan pohon lain, sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengisi lahan kosong antara tanaman jati kala itu.
“Porang ini kan awalnya tumbuh di hutan, jadi bisa ditanam di bawah tegakan maupun di lahan sawah terbuka. Kalau hidup di hutan saja sudah bagus apalagi kalau dibudidayakan secara intensif dan terawat,” kata Prof Edi.
Adapun alasan mengapa porang memiliki nilai jual yang tinggi dan banyak diburu, Prof Edi menjelaskan hal tersebut berkat kandungan senyawa yang terdapat dalam umbi porang. Berdasarkan penelitian, tanaman porang mengandung senyawa glukomanan yang tinggi.
Senyawa ini merupakan sumber pangan sehat sekaligus mampu menurunkan kadar kolesterol, mengurangi kadar gula darah, mencegah penyakit kanker, menurunkan berat badan dan mengatasi masalah pencernaan. Di bidang medis, senyawa glukomanan dalam porang dapat dimanfaatkan untuk pelapis obat.
HENDRIK KHOIRUL MUHID