NANI Wijaya, oleh teman searisan dijuluki Miss Mortein. - Nyonya
Misbach Jusa Biran, 31, itu di layar TV memang sering bilang:
"Mortein Baru, membunuh serangga tapi aman bagi manusla . . ."
Tapi ia tak pernah menyemprotkan obat anti nyamuk -- di rumah ia
memang menggunakan Mortein -- di kamar anak-anaknya sementara
mereka lagi tidur. Adegan menyemprotkan aerosol, di atas kepala
anak yang sedang tidur, cuma untuk memenuhi kontrak setahun
dengan Thomertwal Advertising. "Saya sendiri merasa janggal juga
menyemprotkan pembasmi nyamuk sementara anak-anak tidur,"
katanya. Ia melakukannya sejam sebelum anak masuk tidur.
Iklannya sendiri memang menarik membonceng ketenaran bintang
filmnya. Tapi entah karena protes dari Lembaga Konsumen atau
Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes, Alex Leo, Kepala
Studio TVRI, kemudian minta agar Mortein mengganti iklannya.
Permadi dari Lembaga Konsumen tentu akur. "Tak ada obat yang
mengandung zat pembunuh sekaligus aman bagi manusia," katanya.
Tapi kini muncul iklan lain: Enny Haryono tampak dengan bumbu
masak Mi Won, brak bruk saja. Mungkin sekantong penuh bumbu
masak dibubuhkannya dalam makanan yang dipertunjukkan. Lembaga
Konsumen geleng kepala. "Sementara ahli sedang membicarakan
bahayanya kebanyakan makan vetsin, iklan itu malah seperti
menganjurkan pemakaian sebanyak-banyaknya," kata Permadi. Vetsin
atau MSG, yang diproduksi oleh 7 pabrik di sini (5 PMDN dan 2
PMA) dengan kapasitas produksi 19.500 ton setahun, menurut
sementara para ahli, berbahaya bagi jaringan otak manusia.
Itulah sebabnya dr Iwan Budiarsa, ahli patologi pada Fak.
Kedokteran Hewan IPB, menyarankan perlu adanya cara penggunaan
vetsin terlampir dalam pembungkusnya. Ini agar pembeli tak
meniru Enny Haryono membumbui masakannya.
Sunarto, Dirjen POM, juga geleng kepala. "Tak perlu aturan pakai
untuk vetsin," katanya. "Rasa sudah membatasi dan memberikan
ketentuan berapa banyak harus membubuhkan vetsin pada rnakanan."
Bagaimana jika ada yang terlanjur memakai secara berlebihan?
"Itu juga belum tentu." Sebab, menurut Sunarto, vetsin selama
ini dilaporkan terbuat dari tumbuh-tumbuhan (nabati). Ada MSG
yang terbikin dari minyak tanah? "Itu sedang saya selidiki dari
vetsin yang bahannya dari luar negeri dan diasembling di sini."
Apalagi iklan itu hanyalah iklan saja? "jelas (iklan) bukan
merupakan artikel yang mengungkapkan suatu hasil penelitian para
ahli," kata Usamah dari biro Iklan Prima Advera. Itulah sebabnya
Prima juga berani melemparkan slogan, yang dibuat oleh seniman
WS Rendra untuk susu SGM, kepada masyarakat yang berbunyi:
"Semutu Susu Ibu."
Apakah propaganda selama ini tidak berlebih-lebihan? Bajaj,
kendaraan angkutan umum di Jakarta, mengklaim:. Ibu-ibu yang
hamil lebih suka memilih Bajaj. Lantas Lembaga Konsumen
bertanya: Kalau ibu hamil keguguran ketika naik Bajaj, akankah
ia memperoleh ganti rugi? Usamah, yang juga menjabat Sekjen
organisasi periklanan, menjawab singkat: "Itu iklan -- jangan
dikaitkan dengan soal tanggung jawab."
Lembaga Konsumen memang "cerewet." Iklan Konidin, obat anti
batuk, pernah diserangnya. "Mana ada obat dapat menyembuhkan
penyakit seketika?" kata Permadi. Iklan itupun, yang diperankan
oleh Bachtiar Effendy sutradara dan bintang film (almarhum), tak
lama kemudian lenyap dari peredaran.
Iklan-iklan lain, yang kini masih beredar di layar TV, "malah
melanggar peraturan, tapi tetap saja tak ditindak oleh yang
berwajib," kata Permadi. Hal yang dilanggar ialah Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Wadah, Pembungkus, Penandaan serta
Periklanan kosmetika dan Alat Kesehatan (1977). Peraturan itu
jelas melarang periklanan yang menggunakan peralatan suatu
laboratorium pemerintah, organisasi profesi kesehatan dan
kecantikan atau tenaga kesehatan sebagai alat. Lihatlah, iklan
tapal gigi Signal 2. "Di situ malah digunakan rekomendasi
dokter gigi untuk menarik konsumen," kata Permadi. Juga Bodrex,
pernah menampilkan gambar dr Bode. Sabun Life-buoy melengkapi
iklannya dengan gambar perawat kesehatan.
Toko-toko kacamata pernah mempropagandakan alat, konon berupa
komputer, untuk pemeriksaan mata secara kilat dan tepat. Lembaga
Konsumen, yang mewakili dokter ahli mata kemudian menyurati
Menteri Kesehatan, menanyakan kebenaran klaim toko kacamata
terhadap peralatan baru mereka. Dari Kanwil Depkes Jakarta,
Lembaga Konsumen mendapat keterangan untuk diumumkan kepada
masyarakat: "Alat itu hanya pembantu diagnostik saja." Untuk
benarnya, "hasilnya harus diperiksa kembali oleh dokter dengan
cara-cara klasik," yaitu menggunakan lensa-lensa percobaan.
Propaganda toko kacamata itu, menurut Lembaga Konsumen, dianggap
melampaui wewenang dokter. Bahkan, klaim toko kacamata yang
mengaku bertenaga ahli 'doktor optometrie,' dianggap mengelabui
konsumen. Istilah yang sebenarnya, menurut Depkes, ahli
pemeriksa mata di toko kacamaca itu: "refreksionis optisien."
Pernah dengar tentang gelang anti rematik? Tidak hanya toko
kelontong saja yang menjualnya. Apotik juga menyediakan barang
begituan. Seolah-olah gelang itu betul-betul merupakan obat
rematik. Lalu Lembaa Konsumen berhasil memancing keterangan
dari Dirjen POM. Ternyata Kepala Dinas Kesehatan DKI juga pernah
menolak permintaan pendaftaran gelang, yang konon berasal dari
London, sebagai obat anti rematik. Barang itu diimpor hanya
sebagai barang perhiasan -- seperti keterangan importirnya
sendiri.
Lembaga Konsumen menggugat pula soal parkir. Dikatakannya,
pengelola parkir di Jakarta ini harus bertanggungjawab terhadap
keamanan kendaraan. "Jangan seperti selama ini: menarik uang,
dengan alasan retribusi, tanpa tanggungjawab apa-apa," kata
Pennadi. Tarif biskota di Jakarta tak lolos dari pandangan.
Katanya, "tidak yang termurah sedunia, seperti pernah diucapkan
seorang pejabat." Kebijaksanaan pemerintah, "selalu memberikan
pilihan yang buruk bagi penumpang dan memanjakan pengusaha
biskota." Itu dikemukakan Lembaga Konsumen jauh sebelum
mahasiswa menuntut penurunan tarif.
Lembaga Konsumen, terakhir ini, berteriak tentang sajak Abdul
Hadi WM. Ini, barangkali, keterlaluan. Sajak Abdul ladi antara
lain, begini:Dinegeriorang kenyang/semua
kenyang/perusahaan-perusahaan asing kenyang dengan
saham/bank-bank kenyang dengan kredit simpanan/koran-koran
kenyang dengan iklankan rakyat kenyang dengan
angan-angan/mereka berkecukupan, kata Lembaga Konsumen ....
Kalimat terakhir sajak itu, yang semuanya tampak sebagai
sindiran keadaan sosial, rupanya tak dapat diterima oleh Lembaga
Konsumen. "Dapat menimbulkan pandangan yang keliru terhadap
Lembaga Konsumen," begitu bunyi siarannya. Sajak itu, yang
dibacakan oleh penyairnya di TIM dalam menyambut 17 Agustus,
tidak mencerminkan "masyarakat Indonesia yang sebagian besar
masih miskin dan berpendidikan rendah." Akhimya lembaga
mengharapkan agar sang penyair "memperbaiki puisinya." Waduh
mas, jangan jauhjauh . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini