Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari obat anti serangga ...

Lembaga konsumen protes bbrp iklan tidak sesuai dengan kenyataan, merugikan masyarakat dan malah me langgar peraturan. lembaga konsumen menggugat soal parkir, tarif bis kota. (eb)

10 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NANI Wijaya, oleh teman searisan dijuluki Miss Mortein. - Nyonya Misbach Jusa Biran, 31, itu di layar TV memang sering bilang: "Mortein Baru, membunuh serangga tapi aman bagi manusla . . ." Tapi ia tak pernah menyemprotkan obat anti nyamuk -- di rumah ia memang menggunakan Mortein -- di kamar anak-anaknya sementara mereka lagi tidur. Adegan menyemprotkan aerosol, di atas kepala anak yang sedang tidur, cuma untuk memenuhi kontrak setahun dengan Thomertwal Advertising. "Saya sendiri merasa janggal juga menyemprotkan pembasmi nyamuk sementara anak-anak tidur," katanya. Ia melakukannya sejam sebelum anak masuk tidur. Iklannya sendiri memang menarik membonceng ketenaran bintang filmnya. Tapi entah karena protes dari Lembaga Konsumen atau Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes, Alex Leo, Kepala Studio TVRI, kemudian minta agar Mortein mengganti iklannya. Permadi dari Lembaga Konsumen tentu akur. "Tak ada obat yang mengandung zat pembunuh sekaligus aman bagi manusia," katanya. Tapi kini muncul iklan lain: Enny Haryono tampak dengan bumbu masak Mi Won, brak bruk saja. Mungkin sekantong penuh bumbu masak dibubuhkannya dalam makanan yang dipertunjukkan. Lembaga Konsumen geleng kepala. "Sementara ahli sedang membicarakan bahayanya kebanyakan makan vetsin, iklan itu malah seperti menganjurkan pemakaian sebanyak-banyaknya," kata Permadi. Vetsin atau MSG, yang diproduksi oleh 7 pabrik di sini (5 PMDN dan 2 PMA) dengan kapasitas produksi 19.500 ton setahun, menurut sementara para ahli, berbahaya bagi jaringan otak manusia. Itulah sebabnya dr Iwan Budiarsa, ahli patologi pada Fak. Kedokteran Hewan IPB, menyarankan perlu adanya cara penggunaan vetsin terlampir dalam pembungkusnya. Ini agar pembeli tak meniru Enny Haryono membumbui masakannya. Sunarto, Dirjen POM, juga geleng kepala. "Tak perlu aturan pakai untuk vetsin," katanya. "Rasa sudah membatasi dan memberikan ketentuan berapa banyak harus membubuhkan vetsin pada rnakanan." Bagaimana jika ada yang terlanjur memakai secara berlebihan? "Itu juga belum tentu." Sebab, menurut Sunarto, vetsin selama ini dilaporkan terbuat dari tumbuh-tumbuhan (nabati). Ada MSG yang terbikin dari minyak tanah? "Itu sedang saya selidiki dari vetsin yang bahannya dari luar negeri dan diasembling di sini." Apalagi iklan itu hanyalah iklan saja? "jelas (iklan) bukan merupakan artikel yang mengungkapkan suatu hasil penelitian para ahli," kata Usamah dari biro Iklan Prima Advera. Itulah sebabnya Prima juga berani melemparkan slogan, yang dibuat oleh seniman WS Rendra untuk susu SGM, kepada masyarakat yang berbunyi: "Semutu Susu Ibu." Apakah propaganda selama ini tidak berlebih-lebihan? Bajaj, kendaraan angkutan umum di Jakarta, mengklaim:. Ibu-ibu yang hamil lebih suka memilih Bajaj. Lantas Lembaga Konsumen bertanya: Kalau ibu hamil keguguran ketika naik Bajaj, akankah ia memperoleh ganti rugi? Usamah, yang juga menjabat Sekjen organisasi periklanan, menjawab singkat: "Itu iklan -- jangan dikaitkan dengan soal tanggung jawab." Lembaga Konsumen memang "cerewet." Iklan Konidin, obat anti batuk, pernah diserangnya. "Mana ada obat dapat menyembuhkan penyakit seketika?" kata Permadi. Iklan itupun, yang diperankan oleh Bachtiar Effendy sutradara dan bintang film (almarhum), tak lama kemudian lenyap dari peredaran. Iklan-iklan lain, yang kini masih beredar di layar TV, "malah melanggar peraturan, tapi tetap saja tak ditindak oleh yang berwajib," kata Permadi. Hal yang dilanggar ialah Peraturan Menteri Kesehatan tentang Wadah, Pembungkus, Penandaan serta Periklanan kosmetika dan Alat Kesehatan (1977). Peraturan itu jelas melarang periklanan yang menggunakan peralatan suatu laboratorium pemerintah, organisasi profesi kesehatan dan kecantikan atau tenaga kesehatan sebagai alat. Lihatlah, iklan tapal gigi Signal 2. "Di situ malah digunakan rekomendasi dokter gigi untuk menarik konsumen," kata Permadi. Juga Bodrex, pernah menampilkan gambar dr Bode. Sabun Life-buoy melengkapi iklannya dengan gambar perawat kesehatan. Toko-toko kacamata pernah mempropagandakan alat, konon berupa komputer, untuk pemeriksaan mata secara kilat dan tepat. Lembaga Konsumen, yang mewakili dokter ahli mata kemudian menyurati Menteri Kesehatan, menanyakan kebenaran klaim toko kacamata terhadap peralatan baru mereka. Dari Kanwil Depkes Jakarta, Lembaga Konsumen mendapat keterangan untuk diumumkan kepada masyarakat: "Alat itu hanya pembantu diagnostik saja." Untuk benarnya, "hasilnya harus diperiksa kembali oleh dokter dengan cara-cara klasik," yaitu menggunakan lensa-lensa percobaan. Propaganda toko kacamata itu, menurut Lembaga Konsumen, dianggap melampaui wewenang dokter. Bahkan, klaim toko kacamata yang mengaku bertenaga ahli 'doktor optometrie,' dianggap mengelabui konsumen. Istilah yang sebenarnya, menurut Depkes, ahli pemeriksa mata di toko kacamaca itu: "refreksionis optisien." Pernah dengar tentang gelang anti rematik? Tidak hanya toko kelontong saja yang menjualnya. Apotik juga menyediakan barang begituan. Seolah-olah gelang itu betul-betul merupakan obat rematik. Lalu Lembaa Konsumen berhasil memancing keterangan dari Dirjen POM. Ternyata Kepala Dinas Kesehatan DKI juga pernah menolak permintaan pendaftaran gelang, yang konon berasal dari London, sebagai obat anti rematik. Barang itu diimpor hanya sebagai barang perhiasan -- seperti keterangan importirnya sendiri. Lembaga Konsumen menggugat pula soal parkir. Dikatakannya, pengelola parkir di Jakarta ini harus bertanggungjawab terhadap keamanan kendaraan. "Jangan seperti selama ini: menarik uang, dengan alasan retribusi, tanpa tanggungjawab apa-apa," kata Pennadi. Tarif biskota di Jakarta tak lolos dari pandangan. Katanya, "tidak yang termurah sedunia, seperti pernah diucapkan seorang pejabat." Kebijaksanaan pemerintah, "selalu memberikan pilihan yang buruk bagi penumpang dan memanjakan pengusaha biskota." Itu dikemukakan Lembaga Konsumen jauh sebelum mahasiswa menuntut penurunan tarif. Lembaga Konsumen, terakhir ini, berteriak tentang sajak Abdul Hadi WM. Ini, barangkali, keterlaluan. Sajak Abdul ladi antara lain, begini:Dinegeriorang kenyang/semua kenyang/perusahaan-perusahaan asing kenyang dengan saham/bank-bank kenyang dengan kredit simpanan/koran-koran kenyang dengan iklankan rakyat kenyang dengan angan-angan/mereka berkecukupan, kata Lembaga Konsumen .... Kalimat terakhir sajak itu, yang semuanya tampak sebagai sindiran keadaan sosial, rupanya tak dapat diterima oleh Lembaga Konsumen. "Dapat menimbulkan pandangan yang keliru terhadap Lembaga Konsumen," begitu bunyi siarannya. Sajak itu, yang dibacakan oleh penyairnya di TIM dalam menyambut 17 Agustus, tidak mencerminkan "masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan berpendidikan rendah." Akhimya lembaga mengharapkan agar sang penyair "memperbaiki puisinya." Waduh mas, jangan jauhjauh . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus