Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lebaran sudah dekat hati-hati ... hati-hati membeli

Menjelang lebaran, banyak makanan dalam kaleng rusak, merugikan konsumen. lembaga konsumen memperingatkan agar memeriksa dulu barangnya sebelum membeli. ditjen pom sulit melakukan pengawasan. (eb)

10 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

COBA lihat bingkisan lebaran yang anda terima kali ini. Isinya tentu berbagai macam makanan dan minuman dan minuman kalengan. Kemasannya mentereng. Apalagi, kebanyakan, harang-barang itu buatan impor. Tapi Lembaga Konsumen memperingatkan anda: awas, periksa dulu baik-baik barangnya sebelum menikmati isinya! Ada beberapahal yang memang perlu diawasi. Pertama, periksa dulu: apakah kaleng kemasannya utuh? Permadi SH, Sekretaris Lembaga Konsumen, menasehatkan: "Lebih baik jauhi makanan bila kaleng pembungkusnya cacat. "Bila ia penyok, misalnya, berakibat buruk bagi isinya. Sedikit lubang, semata jarum sekalipun, kaleng penyok itu akan merusak kornet maupun sardencis. Lalu perhatikan juga beberapa keterangan pada kertas pembungkus kaleng yang indah itu. Bagi yang tak doyan daging babi tak ada kesulitan memilih, terutama makanan yang sudah terdaftar di Departemen Kesehatan. Di sana memang sudah ada tulisan merah memperingatkan: Mengandung daging babi. Nomor pendaftaran dari Ditjen Pengawasan Obat & Makanan (POM) pun tertera di sana. Tapi, jika ternyata nomor pendaftarannya tak ada - dan makanan kalengan begitu masih banyak beredar di pasar - orang yang berani makan isi nya perlu bertanggungjawab sendiri. Munkin isinya sudah busuk. Orang bisa keracunan setelah terlanjur memakannya. Ditjen POM, menurut Dirjennya, Sunarto, "tidak bertanggungjawab atas mutu dan keadaan barangbarang yang tak didaftarkan." Segala protes terhadap barang makanan, katanya, baru dapat diusut penanggungjawabnya jika ketahuan nomor pendaftarannya. Dari nomor itulah pemerintah akan mengusut mulai dari pengedar sampai ke importirnya. Dalam waktu dekat ini soal makanan dan minuman impor didug,a akan tertib peredarannya. Departemen Perdagangan baru saja menetapkan ketentuan impor barang semacam itu. Hanya beberapa importir yang dianggap bertanggung jawab saja yang ditunjuk boleh mendatangkan makanan dan minuman kalengan. Selama ini memang terlalu banyak makanan dan minuman eks luar negeri, "yang tak bertuan," kata Sunarto. "Itu memang pekerjaan importir musiman." Mereka mengimpor ketika pasaran ramai saja. Biasanya untuk konsumsi lebaran, natal dan tahun baru. Dari importir mushnan ini, apalagi yang berasal dari selundupan, tak mungkin dimintai pertanggunganjawab atas keluhan konsumen. Karena sukar diusut asal-usulnya, paling-paling cuma diketahui masuk lewat Singapura atau Hongkong, Ditjen POM sulit melakukan pengawasan. Cuma, seperti yang diketahui oleh Sunarto sendiri, makanan yang rusak jelas didatangkan oleh importir musiman ini. Importir yang benar, katanya, "selain hendak menjaga mutu barang yang didatangkannya, juga tak berani berbuat seenaknya." Sebab gampang dikenal melalui nomor pendaftaran. Apakah yang didatangkan oleh importir secara baik-baik dan didaftarkan di Depkes itu menjamin mutu? "Tidak praktis begitu, hanya soalnya mudah diawasi saja," kata Sunarto. Ternyata barang makanan dan minuman yang didatangkan ke Indonesia ini tidak semutu yang diedarkan di negeri asalnya. Nabiel Makarim, ahli pencemaran lingkungan, yang pernah bekerja di Depkes Australia bagian pengawasan polusi dan makanan, mengatakan: "Para industriawan makanan di luar negeri tahu betul bahwa konsumen Indonesia masih bertaraf rendah." Jadi, "untuk apa mengirim makanan bermutu kelas satu?" Sulitnya memang taraf konsumen kita dalam memilih barang memang masih sekian. Kalau tidak, tentu tak ada pojok penjualan murah, di toko serba ada. Beda Rp 50 sampai Rp 100, dipojok penjualan murah di toserba ini, memang cepat menarik para pembelinya. Gang Ribald, Jalan Pintu Besar Selatan Jakarta, merupakan satu pusat penjualan barang makanan dan minuman lokal maupun impor. Di gang ini juga ada penjualan murah. Dari jauh-jauh, Menteng dan Kebayoran, orang mendatanginya untuk memperoleh harga sedikit miring. Tapi apa yang ditawarkan dalam pojok penjualan murah di toserba atau Gang Ribald? Tak lain barang-barang yang kemasannya cacat. Jumlahnya tidak sedikit. Itu saja sudah menunjukkan, "memang ada barang rusak yang sengaja diimpor," kata Sunarto. Kalau penyok di tengah dan tidak terlalu tampak rusak, itu mungkin tidak membahayakan isinya. Tapi jangan coba coba mengambil bila penyoknya terlalu dalam, apalagi rusak pula pinggirannya. Lubang sekecil apapun dapat merusak sistim pengawetan isinya. Di Hero Supermarket, Tomang - Jakarta Barat, betul ada penjualan murah. Tapi menurut petugasnya, Eddy Juwana, di situ dijual kemasan yang tak terlalu rusak. "Penyok-penyok sedikit saja," kata Juwana. Jika penyoknya gawat, "kami jual pada karyawan sendiri." Hero, seperti juga toserba lainnya, sekarang ini memang tak bisa leluasa seperti dulu, antara lain karena Lembaga Konsumen bukan main cerewetnya pernah memprotes penjualan keju yang tak mempunyai nomor pendaftaran Depkes segala. Alat negara sewaktu-waktu merazia baran yan tak terdaftar. Pasaran makanan kalengan cukup meluas di seantero pelosok. Di tempat yang jauh dari kota pelabuhan, variasinya sedikit, mungkin cuma ada jenis korned dan sardencis - eks Cina maupun lokal. Tapi di kota, terutama di daerah pelabuhan, jenis dan mereknya macam-macam. Konsumen tak banyak punya kesempatan menyalurcan rasa Kekecewaan atas mutu barang yang dibelinya. Tak begitu jelas reaksi mereka. Tapi Balai Penelitian Kimia di Semarang pernah bersuara: "Sebagian besar makanan kalengan yang beredar di Jawa Tengah tidak memenuhi syarat." Tentunya tidak hanya syarat formil: tanpa nomor pendaftaran Depkes saja. Yang lebih penting tentu soal yang berhubungan dengan akibat buruk bagi konsumen. Misalnya, dijumpai oleh balai penelitian itu: Di Jawa Tengah beredar sejenis minuman sari buah yang mengandung kadar methanol tinggi. Itu berbahaya, katanya, dapat menimbulkan kebutaan pada mata konsumen. Tak dijelaskannya minuman merek apa. Lembaga Konsumen, yang juga meneliti beberapa jenis minuman, menjumpai jenis cola yang beredar di sini tak memenuhi syarat kesehatan. Jenis itu diteliti dua kali di laboratorium pemerintah di antara 40 merek selama 5 bulan. Hasilnya gawat: minuman cola yang beredar, setidaknya di Jakarta, mengandung kadar kafein yang bukan main. Setiap botol, baik produksi Coca Cola, Pepsi Cola maupun RC Cola mengandung kafein sekitar 1200 ppm s/d 1400 ppm (particles permillion). Pemerintah Indonesia memang belum menentukan standar pemakaian bahan kimia itu pada setiap botol minuman. Namun, pemakaian kafein secara berlebihan dapat berakibat buruk bagi konsumen: sulit tidur, sakit kepala dan menimbulkan ketagihan. Dari mana Lembaga Konsumen dapat menentukan banwa kadar kafein pada cola kita cukup membahayakan? Permadi menunjuk standar yang ditentukan oleh Lembaga Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA). "Coca Cola di negara asalnya, Amerika, hanya diperbolehkan menggunakan kafein paling banyak 200 ppm," katanya. "Malah Selandia Baru lebih ketat dalam penggunaan kafein: hanya 110 ppm." Jika kita minum 2 botol cola, itu berarti baru sama seperti kita minum secangkir kopi. Nah, kata Permadi lagi, "konsumen kita telah dipaksa menelan kafein seperti yang ada di tiga cangkir kopi setiap minum sebotol cola." Berbahayakah? Entahlah. Pemerintah kita memang belum menentukan standar bagi minuman yang berkafein. "Ah, 1400 ppm itu 'kan tidak banyak?" kata Sunarto tenang. Pengusaha Pepsi, seperti yang dikatakan oleh Manajer Umum PT Sinar National Bottling Industries, Sudiri Oesef, "hanyalah berusaha agar konsumen minum langsung dari botol dan hilang hausnya." Ia merasa tak dibebani tanggungjawab mengenai kesehatan konsumen berkenaan dengan kadar kafein. "Kecuali jika pemerintah menentukan standarnya." Sekarang ini ia hanya diwajibkan mengkontrol kadar air, gula, C02 dan sanitasi. Teriakan Lembaga Konsumen tidakkah merugikan usahanya. "Wah, bagi pecandu kopi mungkin lebih senan minum Pepsi daripada kopi," kata Oesef. E. Pohan, Manajer Administrasi PT Coca Cola Indonesia, merasa ia tidak menyimpang dari peraturan induknya di AS. Dan lagi, katanya, kadar kafein pada I botol Coca Cola-nya sama dengan 1/3 yang ada di sebotol kopi atau 1/4 dari sebotol teh dan malah cuma 1/5 dari coklat. "Jadi jelas kafein pada kopi, teh dan coklat masih lebih banyak dari cola," kata Pohan. Tapi Lembaga Konsumen telah memeriksanya di laboratorium milik pemerintah sampai dua kali - dan hasilnya menunjukkan kadar kafein yang gawat. "Ah, dari mana Lembaga Konsumen mengambil contohnya?" Lembaga Konsumen, seperti dikatakan Permadi, selalu mengambil contoh dari pasar di mana konsumen memperoleh. "Kami acak dari berbagai tempat." Contoh itu juga dibelinya dengan harga sama yang dibayar oleh konsumen biasa. "Kami tak pernah menerima contoh dari pabrik langsung," kata Permadipula. Contoh dari pabrik mungkin bisa lebih baik, lebih memenuhi syarat, dari pada yang dijualnya kepada masyarakat. Tidak semuanya, tapi "sering produsen memberikan contoh yang lebih baik, memenuhi standar uji, dan itu berbeda dengan yang diedarkan," kata Permadi. Jadi itulah sebabnya Lembaga Konsumen menemui barang yang telah lulus ketentuan Wajib Uji Barang (khusus adanya di DKI Jakarta), yang berarti telah memenuhi Standar Industri dari Departemen Perindustrian, tapi ternyata sampai ke tangan konsumen dalam keadaan buruk. Lalu apa gunanya ada instansi yang melaksanakan peraturan wajib uji? Wah, "Lembaga Konsumen jangan asal berkaok-kaok saja," kata ir Martono Sumodinoto, Kepala Dinas Perindustrian DKI, yang berkepentingan atas pengujian sesuatu barang. Tapi Lembaga Konsumen, ternyata tidak hanya main cuap saja. Berbagai penelitian dan pengujian barang telah dilakukannya melalui laboratorium milik pemerintah. Pendapat para ahli telah dikumpulkannya pula. Bahan bangunan? Lembaga Konsumen juga telah meneliti (melalui laboratorium Balai Pengujian Bahanbahan Bangunan Dinas Perindustrian) 20 merek asbes semen (untuk atap rumah) dan ubin teraso. Hasilnya? "Kami tal bisa mengumumkamlya. Sebab sangat buruk - jauh di bawah standar yang ditentukan," kata Permadi. Apa tindakan pemerintah terhadap pelanggaran mutu? "Apa pabrik asbes suruh dibakar?" kata Martono ketus. Ya, tidak usah. Toh Martono sudah menunjukkan kelemahan instansinya sendiri: semua barang yang diuji datang dari produsen. "Harusnya kita beli di pasaran, tapi uangnya tak ada," katanya. Untuk mengkontrol barang yang ada di pasar juga sulit. Apalagi, menurut Martono, "orang lndonesia memang suka barang rusak." Sambil menyalahkan konsumen yang mau saja dibodohi - sedangkan produsen yang melanggar ketentuan tak kena tindakan apa-apa -Martono berpendapat: "Lembaga Konsumen, di samping mengkritik produsen, juga harus mendidik konsumen dalam memilih barang." Lembaga Konsumen, dengan kemampuan yang terbatas, sebenarnya sudah bekerja seperti saran Martono. Berbagai hasil penelitian, pengujian dan peringatan kepada konsumen telah dilakukannya. Ada 15 orang, termasuk 2 insinyur teknik kimia dan pertanian bekerja di Lembaga Konsumen. Mereka, di samping melayani pengaduan (sebulan sekitar 10 sampai 20 laporan) konsumen yang kecewa, juga aktif melakukan penelitian barang kebutuhan. Biayanya, 1977 ini, lumayan: dari Presiden Rp 6 juta, dari Departemen Perdagangan dan ubernur DKI masing-masing Rp 5 juta. Itu semua untuk gaji staf dan pembelian contoh barang yang harus diteliti dan diuji. Selama ini, untuk pengujian, Lembaga Konsumen menyerahkan contohnya ke 12 laboratorium di Jakarta Bandung dan Bogor. Apa hasil kerja Lembaga Konsumen setelah 4 tahun berdiri? lanya kecerewetan saja? Pasti sudah bahwa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen oleh produsen belum dikenakan sanksi oleh peraturan pemerintah yang ada. Lembaga ini hanya melontarkan persoalan konsumen. Dan apa yang dilontarkan oleh lembaga ini, menurut Permadi, "belum banyak memperoleh perhatian dari pejabat yang bersangkutan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus