COBA lihat bingkisan lebaran yang anda terima kali ini. Isinya
tentu berbagai macam makanan dan minuman dan minuman kalengan.
Kemasannya mentereng. Apalagi, kebanyakan, harang-barang itu
buatan impor. Tapi Lembaga Konsumen memperingatkan anda: awas,
periksa dulu baik-baik barangnya sebelum menikmati isinya!
Ada beberapahal yang memang perlu diawasi. Pertama, periksa
dulu: apakah kaleng kemasannya utuh? Permadi SH, Sekretaris
Lembaga Konsumen, menasehatkan: "Lebih baik jauhi makanan bila
kaleng pembungkusnya cacat. "Bila ia penyok, misalnya, berakibat
buruk bagi isinya. Sedikit lubang, semata jarum sekalipun,
kaleng penyok itu akan merusak kornet maupun sardencis.
Lalu perhatikan juga beberapa keterangan pada kertas pembungkus
kaleng yang indah itu. Bagi yang tak doyan daging babi tak ada
kesulitan memilih, terutama makanan yang sudah terdaftar di
Departemen Kesehatan. Di sana memang sudah ada tulisan merah
memperingatkan: Mengandung daging babi. Nomor pendaftaran dari
Ditjen Pengawasan Obat & Makanan (POM) pun tertera di sana.
Tapi, jika ternyata nomor pendaftarannya tak ada - dan makanan
kalengan begitu masih banyak beredar di pasar - orang yang
berani makan isi nya perlu bertanggungjawab sendiri. Munkin
isinya sudah busuk. Orang bisa keracunan setelah terlanjur
memakannya.
Ditjen POM, menurut Dirjennya, Sunarto, "tidak bertanggungjawab
atas mutu dan keadaan barangbarang yang tak didaftarkan." Segala
protes terhadap barang makanan, katanya, baru dapat diusut
penanggungjawabnya jika ketahuan nomor pendaftarannya. Dari
nomor itulah pemerintah akan mengusut mulai dari pengedar sampai
ke importirnya.
Dalam waktu dekat ini soal makanan dan minuman impor didug,a
akan tertib peredarannya. Departemen Perdagangan baru saja
menetapkan ketentuan impor barang semacam itu. Hanya beberapa
importir yang dianggap bertanggung jawab saja yang ditunjuk
boleh mendatangkan makanan dan minuman kalengan.
Selama ini memang terlalu banyak makanan dan minuman eks luar
negeri, "yang tak bertuan," kata Sunarto. "Itu memang pekerjaan
importir musiman." Mereka mengimpor ketika pasaran ramai saja.
Biasanya untuk konsumsi lebaran, natal dan tahun baru. Dari
importir mushnan ini, apalagi yang berasal dari selundupan, tak
mungkin dimintai pertanggunganjawab atas keluhan konsumen.
Karena sukar diusut asal-usulnya, paling-paling cuma diketahui
masuk lewat Singapura atau Hongkong, Ditjen POM sulit melakukan
pengawasan. Cuma, seperti yang diketahui oleh Sunarto sendiri,
makanan yang rusak jelas didatangkan oleh importir musiman ini.
Importir yang benar, katanya, "selain hendak menjaga mutu barang
yang didatangkannya, juga tak berani berbuat seenaknya." Sebab
gampang dikenal melalui nomor pendaftaran.
Apakah yang didatangkan oleh importir secara baik-baik dan
didaftarkan di Depkes itu menjamin mutu? "Tidak praktis begitu,
hanya soalnya mudah diawasi saja," kata Sunarto.
Ternyata barang makanan dan minuman yang didatangkan ke
Indonesia ini tidak semutu yang diedarkan di negeri asalnya.
Nabiel Makarim, ahli pencemaran lingkungan, yang pernah bekerja
di Depkes Australia bagian pengawasan polusi dan makanan,
mengatakan: "Para industriawan makanan di luar negeri tahu betul
bahwa konsumen Indonesia masih bertaraf rendah." Jadi, "untuk
apa mengirim makanan bermutu kelas satu?"
Sulitnya memang taraf konsumen kita dalam memilih barang memang
masih sekian. Kalau tidak, tentu tak ada pojok penjualan murah,
di toko serba ada. Beda Rp 50 sampai Rp 100, dipojok penjualan
murah di toserba ini, memang cepat menarik para pembelinya. Gang
Ribald, Jalan Pintu Besar Selatan Jakarta, merupakan satu pusat
penjualan barang makanan dan minuman lokal maupun impor. Di gang
ini juga ada penjualan murah. Dari jauh-jauh, Menteng dan
Kebayoran, orang mendatanginya untuk memperoleh harga sedikit
miring. Tapi apa yang ditawarkan dalam pojok penjualan murah di
toserba atau Gang Ribald? Tak lain barang-barang yang
kemasannya cacat. Jumlahnya tidak sedikit. Itu saja sudah
menunjukkan, "memang ada barang rusak yang sengaja diimpor,"
kata Sunarto. Kalau penyok di tengah dan tidak terlalu tampak
rusak, itu mungkin tidak membahayakan isinya. Tapi jangan coba
coba mengambil bila penyoknya terlalu dalam, apalagi rusak pula
pinggirannya. Lubang sekecil apapun dapat merusak sistim
pengawetan isinya.
Di Hero Supermarket, Tomang - Jakarta Barat, betul ada penjualan
murah. Tapi menurut petugasnya, Eddy Juwana, di situ dijual
kemasan yang tak terlalu rusak. "Penyok-penyok sedikit saja,"
kata Juwana. Jika penyoknya gawat, "kami jual pada karyawan
sendiri." Hero, seperti juga toserba lainnya, sekarang ini
memang tak bisa leluasa seperti dulu, antara lain karena Lembaga
Konsumen bukan main cerewetnya pernah memprotes penjualan keju
yang tak mempunyai nomor pendaftaran Depkes segala. Alat negara
sewaktu-waktu merazia baran yan tak terdaftar.
Pasaran makanan kalengan cukup meluas di seantero pelosok. Di
tempat yang jauh dari kota pelabuhan, variasinya sedikit,
mungkin cuma ada jenis korned dan sardencis - eks Cina maupun
lokal. Tapi di kota, terutama di daerah pelabuhan, jenis dan
mereknya macam-macam. Konsumen tak banyak punya kesempatan
menyalurcan rasa Kekecewaan atas mutu barang yang dibelinya.
Tak begitu jelas reaksi mereka. Tapi Balai Penelitian Kimia di
Semarang pernah bersuara: "Sebagian besar makanan kalengan yang
beredar di Jawa Tengah tidak memenuhi syarat." Tentunya tidak
hanya syarat formil: tanpa nomor pendaftaran Depkes saja. Yang
lebih penting tentu soal yang berhubungan dengan akibat buruk
bagi konsumen. Misalnya, dijumpai oleh balai penelitian itu: Di
Jawa Tengah beredar sejenis minuman sari buah yang mengandung
kadar methanol tinggi. Itu berbahaya, katanya, dapat
menimbulkan kebutaan pada mata konsumen. Tak dijelaskannya
minuman merek apa.
Lembaga Konsumen, yang juga meneliti beberapa jenis minuman,
menjumpai jenis cola yang beredar di sini tak memenuhi syarat
kesehatan. Jenis itu diteliti dua kali di laboratorium
pemerintah di antara 40 merek selama 5 bulan.
Hasilnya gawat: minuman cola yang beredar, setidaknya di
Jakarta, mengandung kadar kafein yang bukan main. Setiap botol,
baik produksi Coca Cola, Pepsi Cola maupun RC Cola mengandung
kafein sekitar 1200 ppm s/d 1400 ppm (particles permillion).
Pemerintah Indonesia memang belum menentukan standar pemakaian
bahan kimia itu pada setiap botol minuman. Namun, pemakaian
kafein secara berlebihan dapat berakibat buruk bagi konsumen:
sulit tidur, sakit kepala dan menimbulkan ketagihan.
Dari mana Lembaga Konsumen dapat menentukan banwa kadar kafein
pada cola kita cukup membahayakan? Permadi menunjuk standar yang
ditentukan oleh Lembaga Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA).
"Coca Cola di negara asalnya, Amerika, hanya diperbolehkan
menggunakan kafein paling banyak 200 ppm," katanya. "Malah
Selandia Baru lebih ketat dalam penggunaan kafein: hanya 110
ppm." Jika kita minum 2 botol cola, itu berarti baru sama
seperti kita minum secangkir kopi. Nah, kata Permadi lagi,
"konsumen kita telah dipaksa menelan kafein seperti yang ada di
tiga cangkir kopi setiap minum sebotol cola." Berbahayakah?
Entahlah. Pemerintah kita memang belum menentukan standar bagi
minuman yang berkafein. "Ah, 1400 ppm itu 'kan tidak banyak?"
kata Sunarto tenang.
Pengusaha Pepsi, seperti yang dikatakan oleh Manajer Umum PT
Sinar National Bottling Industries, Sudiri Oesef, "hanyalah
berusaha agar konsumen minum langsung dari botol dan hilang
hausnya." Ia merasa tak dibebani tanggungjawab mengenai
kesehatan konsumen berkenaan dengan kadar kafein. "Kecuali jika
pemerintah menentukan standarnya." Sekarang ini ia hanya
diwajibkan mengkontrol kadar air, gula, C02 dan sanitasi.
Teriakan Lembaga Konsumen tidakkah merugikan usahanya. "Wah,
bagi pecandu kopi mungkin lebih senan minum Pepsi daripada
kopi," kata Oesef.
E. Pohan, Manajer Administrasi PT Coca Cola Indonesia, merasa ia
tidak menyimpang dari peraturan induknya di AS. Dan lagi,
katanya, kadar kafein pada I botol Coca Cola-nya sama dengan 1/3
yang ada di sebotol kopi atau 1/4 dari sebotol teh dan malah
cuma 1/5 dari coklat. "Jadi jelas kafein pada kopi, teh dan
coklat masih lebih banyak dari cola," kata Pohan. Tapi Lembaga
Konsumen telah memeriksanya di laboratorium milik pemerintah
sampai dua kali - dan hasilnya menunjukkan kadar kafein yang
gawat. "Ah, dari mana Lembaga Konsumen mengambil contohnya?"
Lembaga Konsumen, seperti dikatakan Permadi, selalu mengambil
contoh dari pasar di mana konsumen memperoleh. "Kami acak dari
berbagai tempat." Contoh itu juga dibelinya dengan harga sama
yang dibayar oleh konsumen biasa. "Kami tak pernah menerima
contoh dari pabrik langsung," kata Permadipula. Contoh dari
pabrik mungkin bisa lebih baik, lebih memenuhi syarat, dari pada
yang dijualnya kepada masyarakat.
Tidak semuanya, tapi "sering produsen memberikan contoh yang
lebih baik, memenuhi standar uji, dan itu berbeda dengan yang
diedarkan," kata Permadi. Jadi itulah sebabnya Lembaga Konsumen
menemui barang yang telah lulus ketentuan Wajib Uji Barang
(khusus adanya di DKI Jakarta), yang berarti telah memenuhi
Standar Industri dari Departemen Perindustrian, tapi ternyata
sampai ke tangan konsumen dalam keadaan buruk.
Lalu apa gunanya ada instansi yang melaksanakan peraturan wajib
uji? Wah, "Lembaga Konsumen jangan asal berkaok-kaok saja,"
kata ir Martono Sumodinoto, Kepala Dinas Perindustrian DKI, yang
berkepentingan atas pengujian sesuatu barang. Tapi Lembaga
Konsumen, ternyata tidak hanya main cuap saja. Berbagai
penelitian dan pengujian barang telah dilakukannya melalui
laboratorium milik pemerintah. Pendapat para ahli telah
dikumpulkannya pula.
Bahan bangunan? Lembaga Konsumen juga telah meneliti (melalui
laboratorium Balai Pengujian Bahanbahan Bangunan Dinas
Perindustrian) 20 merek asbes semen (untuk atap rumah) dan ubin
teraso. Hasilnya? "Kami tal bisa mengumumkamlya. Sebab sangat
buruk - jauh di bawah standar yang ditentukan," kata Permadi.
Apa tindakan pemerintah terhadap pelanggaran mutu? "Apa pabrik
asbes suruh dibakar?" kata Martono ketus. Ya, tidak usah. Toh
Martono sudah menunjukkan kelemahan instansinya sendiri: semua
barang yang diuji datang dari produsen. "Harusnya kita beli di
pasaran, tapi uangnya tak ada," katanya.
Untuk mengkontrol barang yang ada di pasar juga sulit. Apalagi,
menurut Martono, "orang lndonesia memang suka barang rusak."
Sambil menyalahkan konsumen yang mau saja dibodohi - sedangkan
produsen yang melanggar ketentuan tak kena tindakan apa-apa
-Martono berpendapat: "Lembaga Konsumen, di samping mengkritik
produsen, juga harus mendidik konsumen dalam memilih barang."
Lembaga Konsumen, dengan kemampuan yang terbatas, sebenarnya
sudah bekerja seperti saran Martono. Berbagai hasil penelitian,
pengujian dan peringatan kepada konsumen telah dilakukannya.
Ada 15 orang, termasuk 2 insinyur teknik kimia dan pertanian
bekerja di Lembaga Konsumen. Mereka, di samping melayani
pengaduan (sebulan sekitar 10 sampai 20 laporan) konsumen yang
kecewa, juga aktif melakukan penelitian barang kebutuhan.
Biayanya, 1977 ini, lumayan: dari Presiden Rp 6 juta, dari
Departemen Perdagangan dan ubernur DKI masing-masing Rp 5 juta.
Itu semua untuk gaji staf dan pembelian contoh barang yang harus
diteliti dan diuji. Selama ini, untuk pengujian, Lembaga
Konsumen menyerahkan contohnya ke 12 laboratorium di Jakarta
Bandung dan Bogor.
Apa hasil kerja Lembaga Konsumen setelah 4 tahun berdiri? lanya
kecerewetan saja? Pasti sudah bahwa pelanggaran terhadap hak-hak
konsumen oleh produsen belum dikenakan sanksi oleh peraturan
pemerintah yang ada. Lembaga ini hanya melontarkan persoalan
konsumen. Dan apa yang dilontarkan oleh lembaga ini, menurut
Permadi, "belum banyak memperoleh perhatian dari pejabat yang
bersangkutan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini