Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari prajogo ke tim likuidasi

Transaksi 100 juta saham astra milik william soeryadjaya. pemakaian dana diprioritaskan untuk membayar tagihan deposan dan pesangon karyawan bank summa.

23 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA berdatangan ke Bank Indonesia, Jumat sore pekan silam. Dan sebuah ruangan di kantor pusat BI, Jalan Thamrin, Jakarta, itu tiba-tiba berfungsi seperti bursa saham. Di sini terjadi transaksi jual-beli saham PT Astra milik William Soeryadjaya yang berlangsung selama hampir lima jam, dari pukul 16.30 hingga 21.15. Mula-mula datang William Soeryadjaya bersama tim likuidasi Bank Summa. Kemudian konsorsium Bank Exim-Bapindo-Danamon menampakkan diri. Mereka membawa 100 juta saham PT Astra International milik keluarga William yang diagunkan ke konsorsium itu pada bulan Juni 1992. Kedua pihak, William dan konsorsium tiga bank, kemudian membereskan urusan utang- piutang di antara mereka. Konsorsium bank menyatakan, utang Om Willem (panggilan akrab William Soeryadjaya) sebesar Rp 540 miliar bisa dibayar dengan 54 juta lembar saham Astra. Om Willem setuju. Setelah kedua pihak meneken kesepakatan itu, konsorsium mengambil 54 juta saham. Sisanya yang 46 juta dikembalikan kepada Om Willem. Willem kemudian menyerahkan 46 juta saham itu kepada tim likuidasi Bank Summa. Tak lama kemudian, tampillah rombongan pengusaha terdiri atas 16 orang konglomerat yang dipimpin Prajogo Pangestu. Mereka lalu membeli 46 juta saham Astra dari tim likuidasi, kemudian membeli pula 29 juta saham yang sudah dipegang konsorsium tiga bank tadi. Tiga kali tranksasi itu berlangsung tanpa ada pialang yang terlibat, padahal saham yang diperjual-belikan adalah saham PT Astra International yang sudah masuk bursa. Namun, di situ ada otoritas moneter yang diwakili oleh Direktur Bank Indonesia Hendrobudyanto. Yang menarik, lelang itu akan dilegalisasi di Bursa Efek Jakarta hari Senin pekan ini (18 Januari 1993). Setidaknya ada satu kali transaksi yang luput dari beban PPN (pajak pertambahan nilai) dan beban fee untuk pialang serta BEJ. Semua transaksi berlangsung pada harga saham Rp 10.000 per lembar. ''Kami dari semula tetap berprinsip akan membeli de- ngan harga Rp 10.000 per lembar, meskipun harus memberi subsidi,'' kata Prajogo kepada TEMPO. Kurs saham Astra International di Bursa Efek Jakarta pada hari itu ternyata cuma Rp 9.000 per lembar. Dengan sikap murah hati seperti itu, Prajogo sulit menerima penilaian berbagai pihak yang katanya berkomentar menjelek- kan tim yang dipimpinnya. ''Tak usah saya sebut siapa. Pokoknya tujuan kami baik, yakni mengembalikan uang nasabah Bank Summa, mengembalikan kepercayaan terhadap perbankan nasional,'' tutur pengusaha kayu yang juga pemegang saham PT Andromeda Bank itu. Ia juga juga mempertanyakan berita TEMPO edisi 9 Januari 1992. Dalam artikel tentang upaya penyelamatan Bank Summa, disebutkan hal yang menurut Prajogo tak benar. Di situ dikutip keterangan seorang pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa, untuk membeli 10 juta saham Astra, Prajogo tidak menerima pinjaman dari bank pemerintah, melainkan meminjam dari Anthony Salim (putra Liem Sioe Liong). ''Siapa sumber Anda, itu hak Anda. Tapi tidak betul saya mengambil pinjaman dari Om Liem, dan memang saya tidak pinjam dari bank pemerintah,'' ujar taipan Barito Pacific Group ini dalam nada kecewa. Namun kekesalannya tak sampai menghambat kelancaran transak- si saham sore itu. Prajogo, yang hadir di BI bersama-sama taipan Liem Sioe Liong dan Eka Tjipta Wijaya, tampil sebagai pembeli saham terbanyak, yakni 15 juta lembar. Rekan-re- kannya yang 15 pengusaha mengambil kurang dari porsi Prajogo (lihat daftar). Tim ini akan tetap bernaung dalam satu konsorsium yang kelak akan ikut mengkontrol manajemen Astra International. Menurut Prajogo, timnya akan membeli semua saham (100 juta lembar) yang digadaikan Om Willem pada konsorsium Bank Exim- Bapindo-Danamon. Tapi ia tidak menjelaskan, mengapa yang 25 juta masih tetap dibiarkan pada konsorsium tersebut. Sementara itu, menurut Sofyan Wanandi, 25 juta saham itu dicadangkan bagi pengusaha lain (khususnya dari kalangan pengusaha pribumi) yang juga bersedia membantu William. Dengan penjualan 100 juta saham, tak dapat tidak berakhirlah pemilikan mayoritas William Soeryadjaya di Astra. Bisa dicatat, dalam tiga bulan terakhir, keluarga Willem sudah melepaskan 146 juta saham, yang meliputi 60% andil PT Astra International. Seperti diketahui, November lalu BDN telah mengambil 20 juta saham Om Willem. Kemudian, akhir Desember silam, 26 juta dibeli BNI. Sementara ini masih ada sekitar 20 juta saham Astra milik keluarga William yang disimpan di Hong Kong. Saham tersebut semula dicadangkan untuk investor Jepang, yakni perusahaan Toyota Motor Corporation. Tapi pihak Toyota mungkin baru akan menyatakan sikapnya pekan ini. Semua saham Astra itu semula digadaikan keluarga Soeryadjaya untuk mendapatkan dana guna menyelamatkan Bank Summa yang sakit parah sejak pertengahan Juni 1992. Dari penggadaian itu, Willem diperkirakan telah mendapatkan dana sekitar Rp 800 miliar. Tapi dana itu ternyata tak bisa menyelamatkan bank yang tadinya dimiliki Edward, putra sulung Om Willem. November lalu Bank Summa kolaps dan tidak bisa bangkit lagi. Sebulan kemudian Menteri Keuangan mencabut izin bank ter- sebut dan menyuruh pemegang saham melakukan likuidasi. Berdasarkan keputusan ini, otomatis seluruh kekayaan dan utang-piutang Bank Summa akan ditangani oleh tim likuidasi tersebut. Tim likuidasi ini dibentuk oleh rapat umum pemegang saham Bank Summa, 29 Desember lalu. Anggotanya terdiri dari tiga bekas pengurus Bank Summa, yakni George L.S. Kapitan (ketua), Aswismarmo (kakil ketua), Oey Se Khay (anggota). Selain itu, diperkuat dua anggota dari luar, yakni Utomo Josodirdjo (bos perusahaan akuntan publik SGV Utomo) dan pakar hukum Mardjono Reksodipuro. Mereka akan bekerja di bawah pengawasan BI. Acara yang berlangsung Jumat sore di BI itu barangkali merupakan awal langkah besar tim tersebut. Namun Ketua Tim Likuidasi hampir tak mau bicara. ''Kami baru mulai menginventarisasi aset-aset Summa,'' ujar Kapitan. Apa saja langkah selanjutnya? ''Yang penting kami melakukan verifikasi, pengecekan semua utang dan piutang. Kalau sudah tahu berapa banyak, baru bisa kami membuat rencana dan per- kiraan. Perlu waktu berapa lama, saya tak bisa mengatakan,'' kata Kapitan lagi. Aset keluarga Soeryadjaya dalam bentuk saham Astra yang di- beli tim Prajogo mestinya sangat membantu meringankan kerja tim likuidasi itu. Apalagi menghadapi para deposan Rp 10 juta ke atas, yang sudah dua bulan gelisah karena dana mereka belum jelas kapan akan cair. Berbeda dengan rencana semula, tim Prajogo ternyata tidak lagi ikut menangani utang-piutang Bank Summa. Akhir Desember lalu, Prajogo dkk memang sudah mengusulkan skenario penyele- saian Bank Summa lewat merjer (peleburan) dengan Bank Sam- poerna, lalu akan memakai nama Bank Delta. Namun usul itu ditolak oleh direksi Bank Indonesia. Masalah- nya, bank yang disebut-sebut hendak menampung aset dan kewa- jiban Bank Summa itu dinilai terlalu kecil. ''Apa mungkin sebuah biduk menampung kapal induk?'' kata juru bicara Bank Indonesia, Dahlan Sutalaksana. BI ternyata mengandalkan penyelesaian Bank Summa lewat tim likuidasi, kendati proses ini tampaknya perlu biaya besar dan makan waktu lama. Konon, untuk melacak aset (kredit serta jaminan kredit) Bank Summa, diperlukan jasa sejumlah akuntan. Tim likuidasi ini kabarnya juga akan mengaudit aset Grup Summa, termasuk beberapa aset keluarga Soeryadjaya yang dijaminkan pada Bank Summa. Prajogo pun mengakui bahwa timnya secara teknis tak sanggup menangani semua utang dan kewajiban Bank Summa. ''Kami bukannya mundur atau membatasi (diri). Kalau usul kami diteruskan, secara teknis akan membutuhkan dispensasi- dispensasi. Itu yang kami hindarkan,'' tutur Prajogo kepada TEMPO lewat telepon, beberapa saat sebelum ia pergi ke BI untuk menandatangani akad pembelian saham Astra. Adapun kesediaan tim Prajogo membeli saham Astra milik William Soeryadjaya ternyata berlandaskan satu syarat, bahwa prioritas pemakaian dananya untuk membayar tagihan para deposan Bank Summa dan pesangon karyawan bekas Bank Summa. ''Pemerintah ternyata setuju. Awal Februari pembayaran nasabah sudah bisa dilaksanakan secara bertahap. Teknis pelaksanaan pembayaran nasabah Bank Summa akan diserahkan pada tim likuidasi,'' tutur Prajogo kepada TEMPO. Hendrobudyanto tidak menyangkal pernyataan Prajogo. ''Memang sedang kita usahakan agar nasabah diprioritaskan,'' ia membenarkan. Bukankah UU Perbankan menetapkan prioritas perbayaran pertama adalah pemerintah, kemudian karyawan, para kreditur, dan terakhir baru nasabah? ''Pokoknya akan kami usahakan berunding dengan semua pihak, agar mendahulukan nasabah,'' janji direktur Bank Indonesia tadi. Untuk melunasi pembelian 75 juta saham Astra seharga Rp 750 miliar, tim Prajogo minta waktu sekitar dua bulan. Menurut Sofyan Wanandi, bulan Januari ini konsorsium Prajogo akan membayar 50% dari Rp 750 miliar (Rp 375 miliar). Jumat pekan lalu sudah dibayar lunas Rp 150 miliar, sisanya disetor paling lambat 30 Januari ini. ''Yang 50% lagi akan dibayar paling lambat 25 Februari mendatang,'' ujar Sofyan. Mungkin saja rencana itu tak terlaksana seperti yang digariskan. Perubahan bisa saja terjadi di sana-sini, tergantung kesepakatan di antara anggota tim. Henry Pribadi, misalnya, semula disebutkan akan membeli 10 juta saham, padahal nyatanya 13,9 juta. Di pihak lain, dengan menerima hasil penjualan saham milik William, tim likuidasi Bank Summa sudah bisa memulai ker- janya. Satu beban tim yang mendesak ialah bagaimana secara teknis pembayaran para nasabah Bank Summa bisa dilakukan dengan adil. Menurut siaran pers dari tim tersebut, hasil penjualan 46 juta saham Astra International akan dimanfaatkan terutama untuk pembayaran kepada para deposan. ''Masyarakat luas, terutama para deposan dan kreditur, hen- daknya tetap bersabar,'' kata George Kapitan. Bagaimana teknis pelaksanaan, belum diungkapkan. Masalahnya, tagihan deposan saja sekitar Rp 730 miliar, sedangkan hasil penjualan saham 46 juta lembar baru Rp 460 miliar (63%). Itu belum dipotong fee pialang dan PPN serta pesangon untuk karyawan Bank Summa. Sementara ini para nasabah Bank Summa tampak pasrah. Upaya mereka untuk diikutsertakan dalam tim likuidasi tak ber- hasil. ''Apa yang dilakukan para nasabah selama ini tidak mempunyai dasar hukum. Hanya kekuatan psikologis,'' kata Hasnan Habib Kamis pekan lalu. Duta besar keliling itu adalah salah satu deposan besar Bank Summa. ''Jika benar kata koran bahwa bulan depan uang nasabah sudah akan dikembalikan 50%, kita sudah harus bersyukur,'' Habib menambahkan. Yang kini boleh sedikit bergembira adalah konsorsium Bank Exim-Bapindo-Danamon. Dengan menjual 29 juta lembar saham Astra, ''kredit macet'' mereka sebesar Rp 540 miliar dalam waktu dekat sudah akan cair 53% (Rp 290 miliar). Sedangkan sisa yang 25 juta lagi sudah pasti akan dibeli oleh tim Prajogo. Sementara itu, sambil menunggu hasil kerja tim likuidasi, masyarakat bisnis mungkin lebih suka menyimak perkembangan harga saham Astra. Ini tentu lebih dari sekadar atraksi yang siapa tahu bisa menggairahkan perdagangan saham di bursa. Max Wangkar, Dwi S. Irawanto, Sri Wahyuni, Bina Bektiakti, dan Diah Purnomawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus