Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sinyal pelemahan daya beli makin terlihat dari deflasi yang telah terjadi tiga bulan berturut-turut.
Penurunan angka penjualan kendaraan bermotor diduga terjadi karena daya beli masyarakat yang makin lemah.
Bank Indonesia mengklaim deflasi terjadi karena pemerintah berhasil mengendalikan harga komoditas pangan.
PUPUS sudah harapan Nauroh untuk membeli kendaraan bermotor tahun ini. Anak pertama dari lima bersaudara itu awalnya berniat membeli sepeda motor untuk alat transportasi keluarganya. Saat ini keluarga Nauroh hanya memiliki dua sepeda motor yang digunakan bergantian.
Meski tabungannya sudah cukup, Nauroh terpaksa mengurungkan niatnya demi berhemat. Pekerja lepas 28 tahun itu waswas dan berpikir dua kali sebelum membelanjakan tabungannya di luar kebutuhan primer. Terlebih, dia dan adik-adiknya masih membutuhkan uang untuk biaya pendidikan.
"Sebetulnya butuh banget beli kendaraan," ucap pekerja bidang pendidikan anak di Jakarta itu kepada Tempo, Ahad, 4 Agustus 2024.
Jumlah penjualan kendaraan bermotor tahun ini turun signifikan. Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia mencatat angka penjualan sepeda motor domestik sepanjang Januari-Mei 2024 turun 1,78 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu menjadi 2,65 juta unit. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia pun mencatat jumlah penjualan mobil pada Januari-Mei 2024 turun 21 persen secara tahunan menjadi 334.969 unit.
Penurunan angka penjualan kendaraan bermotor diduga terjadi karena daya beli masyarakat yang makin lemah. Sinyal pelemahan daya beli juga makin terlihat dari deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut. Badan Pusat Statistik mencatat tingkat deflasi secara bulanan pada Juli 2024 lebih dalam dibanding pada bulan sebelumnya, yaitu sebesar 0,18 persen. Pada Juni 2024, deflasi sebesar 0,08 persen, sedangkan pada Mei 0,03 persen.
Selain itu, Indeks Harga Konsumen turun dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024. Kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar meliputi makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi 0,97 persen serta memberikan andil deflasi sebesar 0,28 persen. Kelompok ini menjadi penyumbang utama deflasi dalam empat bulan berturut-turut dan yang terdalam sejak November 2022.
Deflasi pada Juli 2024 umumnya disebabkan oleh komoditas pangan. Komoditas penyumbang utama deflasi pada kelompok ini adalah bawang merah, cabai merah, tomat, dan daging ayam ras dengan masing-masing andil sebesar 0,11 persen; 0,09 persen; 0,07 persen; dan 0,04 persen.
Deflasi beruntun memunculkan kekhawatiran, terutama berkaitan dengan daya beli. Terakhir kali Indonesia mengalami deflasi dua bulan beruntun pada 2020 atau saat dihantam pandemi Covid-19.
Sinyal penurunan daya beli masyarakat bukan hanya deflasi yang terjadi tiga bulan beruntun. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pun anjlok dalam beberapa bulan terakhir. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia mencatat IKK pada April 2024 sebesar 127,7. Kemudian angkanya turun pada Mei menjadi 125,2 dan kembali melemah pada Juni menjadi 123,3.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies Nailul Huda berpandangan penurunan daya beli masyarakat sudah terlihat sejak awal tahun. Salah satu indikatornya adalah jumlah pembelian kendaraan bermotor yang menurun. Konsumsi rumah tangga kelas menengah juga sudah mulai didominasi oleh sektor pangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Nailul, dampak yang harus diwaspadai pemerintah adalah tingkat pengangguran yang makin tinggi. Sebab, deflasi timbul dari rendahnya permintaan pasar. Ketika permintaan turun, harga segera menyesuaikan dengan rendahnya permintaan. Akibatnya, produsen merespons dengan perlambatan produksi. Penyerapan tenaga kerja juga melambat, atau bahkan bisa menimbulkan pemutusan hubungan kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditambah lagi faktor maraknya barang impor dari Cina yang menekan produksi dalam negeri. Nailul menuturkan Cina yang mengalami oversupply barang harus mengirim barang ke luar negeri untuk mengurangi beban dalam negeri. Dampaknya, tekanan bagi industri dalam negeri sangat hebat. Tingkat utilisasi produksi Indonesia pun menurun hingga di bawah 60 persen.
"Imbasnya adalah pertumbuhan ekonomi makin lambat, yang didapat dari sisi permintaan ataupun sisi produksi," ucap Nailul kepada Tempo, kemarin.
Pekerja berjaga di toko elektronik di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance, Didik J. Rachbini, menilai deflasi beruntun ini merupakan rangkaian pengelolaan ekonomi yang tidak memadai. Penurunan harga seolah-olah menguntungkan masyarakat luas. Padahal, menurut dia, deflasi secara umum merupakan gejala konsumen tidak bisa mengkonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya menunda konsumsinya.
Guru besar Universitas Paramadina itu menjelaskan, deflasi merupakan fenomena makroekonomi ketika ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya membeli barang-barang kebutuhan. Deflasi yang terjadi sekarang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian jika kebijakan makro dan kebijakan sektor riil apa adanya seperti sekarang.
"Hati-hati, kepala ular resesi bisa menghadang ekonomi Indonesia karena deflasi yang terus-menerus dapat menyebabkan spiral deflasi yang memburuk," tutur Didik. Sebab, penurunan harga menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi dan membuat harga makin jatuh. Dunia usaha juga diperkirakan mengoreksi perencanaannya dengan menunda atau membatalkan rencana investasi. Sebab, terjadi ketidakpastian soal pendapatan dan keuntungan di masa depan.
Sementara itu, Bank Indonesia mengklaim deflasi terjadi karena pemerintah berhasil mengendalikan harga komoditas pangan. Dalam keterangan resmi pada Kamis, 1 Agustus 2024, Asisten Gubernur Departemen Komunikasi Erwin Haryono memproyeksikan inflasi volatile food tetap terkendali, didukung oleh sinergi tim pengendali inflasi pusat dan tim pengendali inflasi daerah melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan di berbagai daerah.
Dilansir dari Antara, Erwin juga mengklaim IKK hasil survei BI pada Juni 2024 masih berada pada level optimis. "Kuatnya keyakinan konsumen didorong oleh keyakinan terhadap kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi terhadap kondisi ekonomi ke depan yang tetap optimistis," kata Erwin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo