Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan belum bisa memprediksi berapa jumlah defisit transaksi berjalan pada akhir 2018. Sebab, defisit transaksi ini akan terus bergerak seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan ekspor impor.
Baca: Rupiah Tembus Rp 14.500, Ini Tanggapan Menko Darmin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Sampai akhir tahun ini kita berapa juga masih mencari tahu, karena bergerak terus. Tapi memang kalau dia sudah 3 persen atau lebih, itu selalu sudah harus mulai menganggap itu lampu kuning," kata Darmin ketika ditemui setelah mengikuti salat Idul Adha di Masjid Al-Hakim, Graha Sucofindo, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu, 22 Agustus 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebelumnya, Bank Indonesia mencatat neraca pembayaran Indonesia (NPI) kuartal kedua 2018 defisit US$ 4,3 miliar. Defisit tersebut disumbangkan oleh peningkatan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang tercatat sebesar US$ 8 miliar atau 3,0 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jumlah itu tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya sebesar US$ 5,7 miliar atau 2,2 persen dari PDB.
Kendati transaksi berjalan saat ini telah berada pada level 3 persen, Darmin menuturkan, jumlah tersebut masih lebih baik jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Misalnya India, Rusia, Turki, Brasil, dan Afrika Selatan, yang sama-sama memiliki penduduk yang cukup besar.
Menurut Darmin, fluktuasi nilai tukar atau kursnya semua lebih berat karena defisit transaksi berjalannya juga lebih besar. Jadi tidak semua negara lebih ringan. "Jadi ya ini dunia yang sedang bergolak. Kata orang 'setiap awal abad itu mesti banyak kejadian'. Kalau abad yang lalu perang dunia, abad ini enggak tahu kita," kata Darmin.
Darmin menjelaskan, defisit transaksi berjalan Indonesia sebetulnya telah ada sejak zaman Orde Baru, tapi dulu tidak besar. Adapun defisit terus melebar setelah terjadinya perang dagang yang ditandai dengan adanya perang tarif dan bea masuk impor antara Amerika Serikat dan Cina.
Darmin menuturkan, karena kondisi demikian, pemerintah kini telah mengambil langkah-langkah yang penting untuk meredam gejolak. Salah satunya untuk meredam gejolak transaksi berjalan yang kini terus melebar. Adapun untuk meredam itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mengenai penggunaan bauran minyak sawit dalam solar (B20), mengelola industri petrokimia lewat restrukturisasi PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), juga mengerem komponen impor.
Baca: Darmin Nasution Jelaskan soal Pengertian Kebocoran Ekonomi
"Nah, jadi dengan itu, ditambah dengan kebijakan secara umum di bidang pariwisata atau perindustrian dan pertanian. Rasanya dalam beberapa bulan ke depan defisit transaksi berjalan tidak terlalu berat," kata Darmin.