AKAN saya catat itu." Kata-kata yang dilontarkan Presiden Soeharto akhir September silam ini seakan terngiang-ngiang di telinga pengusaha mebel kayu. Ketika itu -- saat Presiden meresmikan 158 industri kayu olahan dan barang jadi rotan di Semarang -- ada pengusaha mebel yang mengeluh. Katanya, sulit memperoleh bahan baku berupa kayu jati. Konon, Perhutani, yang menguasai hutan jati milik negara, lebih suka mengekspor ketimbang menjual di pasar lokal. Serta-merta Presiden berjanji akan memperbaiki arus kayu, yang selama ini lebih banyak mengalir ke mancanegara itu. Janji Presiden ditepati akhir pekan lalu, ketika Menteri Keuangan menurunkan SK No. 1134/KMK.013/1989. Isinya? Sungguh membuat para pengusaha hulu itu seperti terbanting. Mengapa? SK tersebut secara tidak langsung telah melarang ekspor kayu olahan. Disebut melarang, karena pajak ekspor (PE) kayu-kayu itu dinaikkan berlipat ganda. Kalau diperhitungkan dengan harga yang berlaku di pasar internasional, maka tak mungkin lagi eksportir bersaing, dengan pajak sebesar itu. Kayu jati, yang termasuk ke dalam kelompok kayu semimewah, misalnya. Dalam SK Menkeu yang diturunkan Maret 1989, PE-nya hanya 85 dolar per meter kubik. Tapi dalam tarif yang baru, PE kayu jati dinaikkan menjadi 1.000 dolar per meter kubik. Ini berarti PE-nya naik sampai 1.000% lebih. Begitupun kayu-kayu dari jenis lain, tak ada yang luput dari jegalan PE. Contoh: kayu jeungjing, karet, waru, pinus, yang semula hanya terkena 100 sampai 150 dolar per kubik, kini disamaratakan menjadi 1.000 dolar. Total, ada 105 jenis kayu olahan setengah jadi, berbentuk kayu gergajian yang sudah dibentuk maupun belum, yang PE-nya "diperbarui". Lebih dari itu, kayu melur, cempaka, dan rengas burung, yang semula tidak terkena PE, kini dibebani 250-500 dolar per kubik. Tujuannya, ya, itu. "Sesuai dengan petunjuk Presiden, untuk memacu pertumbuan industri kayu di hilir," kata A. Gunawan Suratno, Direktur Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak. Maka, hiduplah industri hilir! Yang di hulu lantas bagaimana? Diduga, 2.000-an pengusaha yang bergerak di bidang ekspor kayu gergajian dan kayu olahan tak lama lagi akan gulung tikar. Soalnya, harga rata-rata kayu model ini di pasaran ekspor hanya sekitar 500 dolar per meter kubik. Sementara itu, biaya produksi total per meter kubik sudah mencapai 300 dolar AS. Artinya, dibebani PE termurah saja -- yang 250 dolar -- kayu-kayu itu takkan lagi mampu bersaing. "Tidak ada jalan lain bagi kami, kecuali menutup pabrik," kata Albert Tjahjadi wakil dari PT Mutiara Timber Sakti di Kalimantan dan PT Wapoga Timber di Irian Jaya. Satu hal lagi, bukan hanya eksportir yang akan terpukul, tapi juga kalangan perbankan. Sebab, kata Albert, hampir sebagian besar eksportir berutang pada mereka, baik berupa utang kredit ekspor maupun investasi. "Jadi, jangan salahkan kami, kalau bank akhirnya menanggung kredit macet," ujarnya lagi. Padahal, kalau saja pemerintah terlebih dulu berdialog dengan asosiasi, tentu akibatnya takkan separah itu. "Sebab, kami pun sedang mengarah ke industri hilir. Tapi itu kan membutuhkan waktu," kata Albert. Akankah para eksportir kayu bergeser ke hilir, masih harus ditunggu. Yang pasti, ekspor kayu gergajian, seperti yang dilakukan selama ini, termasuk jenis usaha yang "basah". Lihat saja. Pada 1986, nilai ekspor kayu gergajian baru mencapai sekitar 378 juta dolar. Tapi tahun lalu angka itu melejit 46o, menjadi sekitar 554 juta dolar. BK, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini