PERANG antarindustri kretek bukan tercetus di Kediri atau Kudus, tapi malah di gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta. Dua pekan lalu, seusai Raker Komisi APBN, ada anggota komisi yang angkat suara. "Kenapa pajak penghasilan (PPH) yang diperoleh dari pabrik-pabrik kretek menurun, sementara produksinya dari tahun ke tahun terus menanjak?" demikian ia bertanya kepada Menkeu J.B. Sumarlin. Nah, itu pertanyaan yang bagus. Bukankah kalau produksi naik, penjualan pun ikut naik? Berarti keuntungan ikut terkerek, yang kemudian berdampak pada naiknya pendapatan pemerintah dari Pph. Tapi kenyataan membuktikan lain. Pph industri kretek selama empat tahun belakangan (periode 1985/86 hingga 1988/89), tetap belum bisa melampaui pendapatan Pph tahun 1984/85 yang Rp 50,9 milyar. Tahun 1985/86, Pph itu hanya Rp 12,85 milyar. Tahun-tahun berikutnya, biarpun ada kenaikan, tetap jauh di bawah Rp 50 milyar. Tahun lalu, misalnya, Pph dari pabrik-pabrik rokok cuma mencapai Rp 35,5 milyar. Padahal, dari tahun ke tahun, angka produksi terus naik. Tahun 1986, produksi seluruh pabrik mencapai 121 milyar batang. Tahun 1988 menjadi 141 milyar batang. Tahun ini pun, angka produksi pasti lebih menggelembung, karena pada semester I/1989 saja produksi telah mencapai 70,6 milyar batang. Tapi kenaikan produksi tidak identik dengan kenaikan Pph. Ada apa? Beberapa faktor yang menghambat kenaikan Pph rokok sudah ditemukan. Menurut seorang pejabat di Departemen Keuangan, kecilnya Pph rokok empat tahun terakhir (dibandingkan 1984/85) tak lain karena semakin membengkaknya biaya promosi mereka. Akibatnya, laba kian tipis. Hal ini dibenarkan oleh Budi Santoso, Wakil Direktur Produksi Djarum. "Biar produksi naik dua kali lipat, itu tidak berarti keuntungan kami naik dua kali lipat pula," ujarnya. Menurut dia, sering perusahaan rokok mengorbankan sebagian keuntungannya untuk kegiatan promosi. Djarum, contohnya. Ia rela mengorbankan sekitar Rp 70 milyar setahun -- 7% dari total penjualannya -- untuk promosi. Begitu pula Gudang Garam (GG). "Biaya promosi kami dari tahun ke tahun terus meningkat," kata Jhoni Mongi, Manajer Promosi GG. Alasannya: persaingan antar pabrik rokok semakin ketat. "Kalau promosi kami tidak gencar, bisa susah, dong," ujar Jhoni. Langkah serupa diikuti oleh PT M Sampoerna, perakit rokok Djie Sam Soe. Produsen rokok yang biasa tertutup ini sejak dua tahun lalu gencar berpromosi. Iklan-iklannya muncul berwarna dengan luas minimal satu halaman. Selain itu, hampir setiap kegiatan seminar di Surabaya, atau pengiriman para pemanjat tebing ke luar negeri, selalu disponsori Sampoerna. Karena itu, biaya promosinya tahun lalu naik 75%, menjadi Rp 11 milyar. Promosi macam apa yang dilakukan oleh tiga besar, GG-Djarum-Bentoel? Promosi hiruk-pikuk barangkali, karena dimeriahkan oleh dentuman musik rock di berbagai penjuru Nusantara. Dan masih diramaikan dengan balap mobil, reli sepeda motor, atau balap gokart. Semua itu pasti muncul pula di layar TVRI. Biayanya sungguh tidak kecil. Pergelaran musik rock, sekali pentas menghabiskan Rp 50 juta. Di luar itu GG harus membayar Rp 12 juta pada TVRI untuk acara penayangannya di layar kaca stasiun Surabaya. Untuk acara olahraga, GG juga mengalokasikan dana buat TVRI. "Jalan satu-satunya untuk mengatrol penjualan memang hanya dengan menggalakkan promosi," kata Ir. Yani, Direktur Produksi Bentoel. Tapi, dengan promosi yang jor-joran itu, bukan berarti perusahaan rokok hendak berkelit dari Pph. "Semuanya masih termasuk wajar. Dan yang lebih penting lagi, kami tidak melanggar undang-undang," kata Budi Santoso dari Djarum. Memang, kalau dibandingkan dengan biaya promosi rokok di luar negeri -- yang besarnya sekitar 30% dari total penjualan -- biaya promosi kretek termasuk kecil (maksimal 10% dari omset). Tapi karena Pph jadi menurun, Pemerintah berketetapan untuk mengatur biaya apa saja yang layak masuk ke dalam promosi dan biaya apa yang tidak. Namun, Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad tampaknya belum berkenan untuk mengumumkan, biaya apa saja yang akan dilarang masuk ke dalam pos pemasaran. "Kalau disebutkan sekarang, pabrik-pabrik rokok itu nantinya siap-siap dengan cara lain," kata Mar'ie. Entah apa yang dimaksudkan dengan "cara-cara lain" itu. Yang pasti, "Pemerintah mengharapkan ongkos dibuat sekecil mungkin, dengan harapan perusahaan melaba besar, hingga pada akhirnya Pph-nya juga akan besar," kata H.M. Djuffan, Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia. Budi Kusumah, Wahyu Muryadi, Bandelan Amarudin, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini