RRC kini tidak lagi tabu, bahkan layak untuk diseminarkan. Apalagi kalau dikaitkan dengan proses pemulihan hubungan diplomatiknya dengan RI. Itu pula yang terjadi Sabtu pekan silam, ketika Universitas Darma Persada Jakarta -- satu-satunya perguruan tinggi swasta yang membuka jurusan sastra Cina menyelenggarakan seminar sehari di Panti Surya Hotel Hyatt Aryaduta Jakarta. Temanya: "Hubungan RI-RRC, Prospek dan Permasalahannya Ditinjau dari Segi Politis dan konomis". Bekas Kepala Bakin Yoga Sugama -- sehari-hari Ketua Dewan Penyantun Universitas Darma Persada -- tampil sebagai salah seorang pembicara utama. Ia melihat tiga kemungkinan yang mesti dipertimbangkan. Pertama, kalau kelompok konservatif yang menang dalam pertarungan kekuasaan terakhir ini di RRC. Kedua, jika kelompok progresif yang unggul. Dan ketiga, bila RRC terbentur pada status quo. Peristiwa berdarah di Tiananmen awal Juni lalu, dan kemelut perebutan kekuasaan yang menyertainya, memang tak boleh diabaikan, demikian analisa Yoga. Sementara itu, Pemerintah RI -- melalui pernyataan Menlu Ali Alatas -- tak mengutuk peristiwa Tiananmen, seperti yang banyak dilakukan negara Barat. Alasan Indonesia, peristiwa yang mengorbankan ribuan nyawa itu merupakan urusan dalam negeri RRC. Kendati Yoga mengisyaratkan untung ruginya berhubungan dengan RRC dalam situasi sekarang ini, "semua itu tidak dimaksudkan untuk mengkritik keputusan pemerintah." Apalagi ia memperkirakan, "Kelompok progresif yang akan menang, sekitar 1993-1994." Jika itu yang terjadi, keadaannya akan menguntungkan RI, apalagi dalam hubungan ekonomi. Sebab, kelompok progresif yang reformis itu, kata Yoga, akan meneruskan kebijaksanaan pintu terbuka dan mempercepat modernisasi. Delegasi Kadin Komite Cina, yang mengikuti Beijing International Fair Juli lalu, sebenarnya menyiratkan optimisme. Konjen RI di Hong Kong Roestandi, dalam jamuan dengan delegasi itu, berkata, "Kita harus memanfaatkan momentum. Ketika sejumlah negara menjauhi RRC karena peristiwa Tiananmen, kita mestinya bisa memanfaatkan kekosongan itu untuk meningkatkan perdagangan kita. Khususnya ekspor nonmigas." Berdasarkan data, prospek perdagangan kedua negara boleh dibilang lumayan. Ini diungkapkan Direktur Eksekutif Kadin Indonesia Komite Cina (KIKC) R.A.M. Koesoemoadilogo dalam makalahnya. Statistik BPS 1988 menyebutkan, RI surplus US$ 53 juta, karena impornya dari RRC US$ 439 juta, sementara ekspor ke sana US$ 492 juta. Komoditi yang diekspor adalah kayu lapis (63,4%), urea (8,1%), besi baja (4,9%), karet (6,3%), dan kopi (4%). Angka itu menggembirakan, kendati belum bisa menebus defisit beberapa tahun sebelumnya. Terhitung sejak 1985, defisit kita terhadap RRC berturut-turut US$ 164,7 juta, lalu US$ 198,1 juta (1986), dan US$ 65,74 juta (1987). Sekarang agaknya banyak pihak yang bertanya-tanya, kapan realisasi hubungan diplomatik Rl-RRC. Sebelum itu terlaksana, Indonesia tetap dikenai tambahan tarif impor, yang diberlakukan RRC terhadap barang-barang dari negeri yang tak memiliki saluran diplomatik. Di pihak lain, ada yang melihat bahwa ancaman RRC lebih pada kekuatannya mengalahkan kita dalam menarik investor asing. Belakangan ini, misalnya, sejumlah pejabat RRC berkeliling ke banyak negeri, meyakinkan bahwa kondisi politiknya tetap menguntungkan buat investasi. Tampaknya mereka berhasil, karena sejumlah investor asing bertahan di sana. Lagi pula, jika betul deideologi terus berlangsung di RRC, maka Direktur PDBI Christianto Wibisono menilai, negeri itu memang masih menarik buat investor asing. "Dan juga menarik buat mereka yang masih bersemangat primordial, yang memperhatikan leluhur sebagai ikatan batin." Mohamad Cholid dan Sri Pudyastuti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini