Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi dan politik, Faisal Basri meninggal dunia pada Kamis, 5 September 2024, pukul 03.50 WIB di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta. Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) itu masuk ke Intensive Care Unit (ICU) RS Mayapada, Jakarta, akibat kelelahan setelah menemui petani di Sumatera Utara. Almarhum juga memiliki riwayat penyakit diabetes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Telah berpulang ke rahmatullah hari ini, Kamis, 5 September 2024, pukul 03.50 WIB di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta,” kata ekonom Indef Tauhid Ahmad melalui pesan singkatnya di Jakarta, Kamis. 5 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri turut berduka atas berpulangnya ekonom senior itu. Dia menuliskan ucapan duka cita sekaligus mengunggah foto terakhir bersama Faisal Basri di media sosial X. Menurut Chatib, kepergian Faisal Basri adalah kehilangan besar untuk Indonesia.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun. Telah meninggal dunia kawan, senior dan guru saya Bang Faisal Basri. Kehilangan besar buat negeri ini,” tulis Chatib di akun X @ChatibBasri, dikutip Tempo, Kamis, 5 September 2024.
Faisal Basri dikenal sebagai pengamat yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Berikut beberapa kritik yang pernah disampaikan Faisal Basri kepada Presiden Jokowi.
1. Soroti Kenaikan Pajak jadi 12 Persen
Dalam diskusi Indef bertajuk Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa, Faisal Basri mengkritik rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025.
Menurut dia, kebijakan itu hanya akan merugikan rakyat kecil. Faisal Basri menaksir tambahan pendapatan negara yang akan diperoleh negara melalui kenaikan tarif itu tidak akan sampai Rp 100 triliun. Alih-alih menaikkan PPN, kata Faisal Basri, pemerintah seharusnya menerapkan pajak ekspor batu bara untuk meningkatkan pendapatan negara.
“Itu coba bayangkan tambahan pendapatan dari menaikkan dari 11 ke 12 persen itu enggak sampai Rp 100 triliun. Padahal kalau kita terapkan pajak ekspor untuk batu bara itu bisa dapat Rp 200 triliun,” ucap dia, Selasa, 20 Agustus 2024.
2. Sebut Tujuan Pembangunan Bukan Hanya Bangunan Fisik
Dalam Diskusi Publik: Tanggapan Atas Debat Kelima Pilpres, ekonom senior itu mengkritik keras pemerintahan Presiden Jokowi. Menurut dia, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kualitas manusia, dan tak semata-mata dilihat dari pembangunan fisik.
“Pembangunan itu kan ujung-ujungnya adalah meningkatkan kualitas manusia, bukan berapa kilometer jalan yang dibangun, tapi manusianya itu berkualitas (atau) tidak,” ujar Faisal Basri pada Senin, 5 Februari 2024.
Dia juga mempersoalkan bantuan sosial (bansos) yang belum dijadikan mekanisme terpadu di dalam pengelolaan ekonomi menjadi jaring pengaman sosial (social safety net). Menurutnya, peningkatan anggaran bansos tidak terbukti mampu meningkatkan angka harapan hidup manusia di Indonesia.
Karena bansos tidak menjadi mekanisme terpadu dalam pengelolaan ekonomi, akhirnya angka harapan hidup di Tanah Air dianggap masih tergolong rendah. “Bansos itu tidak temporer, (bukan hanya saat) pemilu saja,” ujar Faisal Basri.
3. Kritik Kebijakan Ekspor Benih Lobster
Di bidang perikanan dan kelautan, Faisal Basri pernah mengkritisi kebijakan ekspor benih lobster. Dia mengatakan, pembukaan kembali keran ekspor bayi atau benih lobster akan berpengaruh buruk, baik terhadap iklim dagang maupun lingkungan. Ia memandang kebijakan itu bakal memberi celah mafia untuk bergerilya.
Seumpama diberi keleluasaan untuk mengirimkan benih lobster ke luar negeri, Faisal Basri memperkirakan, mafia bakal bermunculan untuk meraup keuntungan besar. Sebab, harga beli benih lobster saat ini telah mencapai 5.000 yen per ekor.
Adapun terhadap lingkungan, ekspor benih lobster dikhawatirkan bakal menimbulkan eksploitasi besar-besaran. “Telur-telur lobster itu rusak. Dia enggak peduli laut kita rusak lagi,” ucap Faisal Basri.
4. Banyak Kartu yang Diberikan Pemerintah
Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri mempertanyakan banyaknya kartu yang diberikan kepada masyarakat di era pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Hal itu disampaikan Faisal Basri saat berbincang dengan mantan Ketua KPK Abraham Samad melalui channel YouTube Abraham Samad Speak Up.
“Sekarang yang namanya dompet orang miskin itu tebal. Bukan tebal karena uangnya, tebal karena banyak kartunya,” ujar Faisal Basri dikutip Jumat, 5 Januari 2024.
Faisal Basri menuturkan, tidak ada negara lain yang mempraktikkan langkah yang sama dengan Indonesia. “Ini apa-apaan, di dunia ini enggak ada yang begini,” tuturnya.
Faisal Basri kemudian mengungkapkan soal Kartu Sehat yang dimilikinya. “Sebetulnya itu kartu BPJS Kesehatan saja. Namun diklaim sebagai karya Jokowi. Itu undang-undang, kewajiban kita BPJS Kesehatan kan, tapi di era Jokowi dibilang Kartu Sehat, seolah-olah baru,” ucapnya.
5. Ekspor Ingot, Timah Setengah Jadi
Dalam sebuah diskusi publik yang diunggah melalui kanal YouTube ASANESIA TV pada video berjudul ‘LIVE | Diskusi Publik Seri 1: Indonesia dan Ancaman Krisis Ekonomi Global’, Faisal Basri mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tentang ekspor bijih nikel.
Menurut Faisal Basri, Jokowi menyamakan bijih nikel dengan bijih timah. Sejak dulu, ekspor bijih timah sudah dilarang di Indonesia. Tetapi, Jokowi justru akan melarang ekspor ingot, batang timah yang sudah 70 persen jadi.
“Jadi yang mau kita ekspor itu timah batangan, (tapi) itu yang mau dilarang. Kalau dilarang, Aneka Tambang (Antam) mau nyalurin ke mana tuh? Belum ada industri, cuma lima persen,” ucap Faisal Basri dalam diskusi publik itu, 21 Oktober 2022.
6. Mimpi Kembangkan Kendaraan Listrik Sendiri
Dalam diskusi daring pada Minggu, 21 Mei 2023, Faisal Basri kembali melayangkan kritiknya kepada pemerintah yang bermimpi ingin mengembangkan kendaraan listrik sendiri. Faisal Basri menyarankan, hal yang perlu dikembangkan dengan kecepatan tinggi seharusnya adalah energi terbarukan. Salah satunya adalah listrik energi surya.
Menurut Faisal Basri, pengembangan energi matahari di Indonesia masih sangat kecil. “Cina getol mengembangkan energi listrik, energi suryanya juga berkembang pesat (254.355 MW), paling pesat di dunia,” ujar dia dalam diskusi daring pada Minggu, 21 Mei 2023.
Kemudian negara dengan pengembangan energi surya paling pesat kedua adalah Amerika Serikat (75.572 MW), Jepang (67.000 MW), lalu Jerman (53.783 MW). “Tapi tengok Indonesia, hanya kecil, kalah dengan Kamboja, Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Vietnam kembangkan mobil listrik, kembangkan surya juga,” kata Faisal Basri.
Faisal Basri menilai di Indonesia cukup parah, karena pengembangan energi surya masih berjalan tapi sudah ingin mengembangkan mobil listrik. Seharusnya, kata dia, yang menjadi sumber masalah diselesaikan lebih dulu, yaitu fokus pada energi terbarukan.
“Jadi kesimpulannya, ini mensubsidi rakyat untuk memperoleh mobil listrik atau mensubsidi pengusaha agar untungnya banyak. Sudah beruntung mereka tapi untungnya kurang banyak. Inilah ketamakan para oligarki itu,” tutur Faisal Basri.
7. Konglomerasi Telah Menjadi Oligarki
Saat mengisi diskusi virtual yang digelar Core Indonesia, pada Selasa, 16 Mei 2023, Faisal Basri membeberkan apa yang terjadi pada perekonomian di Indonesia setelah 25 tahun reformasi. Menurutnya, kini konglomerasi pada era sebelum reformasi telah berubah bentuk menjadi oligarki.
“Waktu itu konglomerat tidak menguasai sumber daya alam seperti sekarang. Sumber daya alam itu dikuasai oleh negara, tidak seperti saat ini,” kata Faisal Basri dalam diskusi virtual yang digelar Core Indonesia pada Selasa, 16 Mei 2023.
Tahun lalu, Faisal Basri mencatat nilai ekspor batu bara mencapai Rp 850 triliun. Tetapi, pemerintah tidak mendapatkan keuntungan dari besarnya nilai ekspor tersebut. Sebab, pemerintah tidak mengambil pajak ekspor, sehingga tidak ada windfall profit yang diterima.
Kondisi ini membuat celah korupsi terbuka semakin lebar. Pengusaha, kata dia, tinggal menyetor uang misal Rp 100 triliun kepada partai politik untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
“Jadi begitu dikasih Rp 100 triliun untuk Pilpres 2024 selesai, dialah yang menentukan calon presidennya,” tutur Faisal Basri. Dengan demikian, siapapun pemimpin Indonesia akan tunduk pada pihak oligarki.
8. Indonesia Terlalu Banyak Investor, tapi....
Pada kesempatan berbeda, Faisal Basri menyebutkan jika minat investasi Jepang di Indonesia semakin menurun. Padahal, kata dia, Indonesia pada tahun 1990-an pernah menjadi nomor satu sebagai negara yang paling banyak menerima investasi Jepang. Namun, peringkat sebagai negara tujuan investasi Jepang kini semakin menurun.
“Sudah tiga tahun Indonesia di nomor 6, sudah lima tahun lebih sudah disusul oleh Vietnam. Jadi dari nomor 1 turun nomor 3, nomor 4,” kata Faisal Basri di Jakarta, Rabu, 7 Juni 2023.
Faisal Basri mengungkapkan, salah satu alasan Jepang lebih tertarik berinvestasi di Vietnam dibanding Indonesia adalah hasil investasi di Indonesia tidak sebanyak di Vietnam. Selain itu, minimnya perkembangan industri di Indonesia juga membuat sejumlah negara tidak berminat berinvestasi di Tanah Air.
Faisal Basri juga menilai jika Indonesia terlalu banyak menampung investor, namun industri yang berkembang sedikit. “Jadi apa sih masalah kita? Investasinya banyak hasilnya sedikit. Investasinya boros, makanya investor enggak ada yang mau datang bikin produk pasar ekspor,” ujar dia.
Ekonom senior Indef ini menambahkan, investasi di Indonesia tergolong paling besar di kawasan Asia Tenggara atau ASEAN. Meski demikian, hasil yang didapatkan dari investasi tersebut sedikit. “Kok hasilnya dikit, banyak bocor. Bocornya dalam bentuk apa, milih proyeknya tidak dengan kajian yang seksama,” ucap Faisal Basri.
Beberapa proyek investasi pemerintah dinilai dilakukan tanpa kajian yang seksama, di antaranya adalah monorel Lembang hingga kereta cepat Jakarta-Bandung.
Istiqomatul Hayati, Grace Gandhi, Rio Alpin Pulungan, Han Revanda, Riri Rahayu, Francisca Christy, Defara Dhanya, Raden Putri, Julnis, Khory Alfarizi, dan Amy Heppy berkontribusi dalam penulisan artikel ini.