DIAM-DIAM bank-bank pemerintah harus mengakui bahwa mereka sangat berpotensi untuk menjadi pihak yang kalah. Sejak deregulasi perbankan turun bertubi-tubi -- mulai tahun 1983 -- sedikit demi sedikit pangsa mereka digerogoti oleh bankbank swasta nasional dan asing. Dulu bank pemerintah adalah market leader, kini tidak lagi. Dan tampaknya akan mustahil bagi mereka untuk merebut kembali posisi itu. Sejak Paket Oktober 1988 (Pakto) digulirkan, tak kurang dari 80 bank baru ikut meramaikan persaingan. Jumlah bank meningkat sampai 200 buah. Ini pun masih akan bertambah. Soalnya, UU Perbankan yang baru mengharuskan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) berganti status menjadi bank. Sedikitnya 11 LKBB yang telah mengajukan permohonan untuk ini. Ditambah dengan naiknya status bank-bank papan menengah menjadi bank devisa, perebutan tidak hanya terjadi di sektor penjualan jasa keuangan dalam negeri, tapi melebar ke sektor pembiayaan ekspor impor. Dalam situasi yang penuh semangat perkelahian itu, maka bank-bank pemerintah -- tak terlatih untuk bersaing -- tampak kedodoran. Baik dalam upaya menghimpun dana pihak ketiga maupun dalam penyaluran kredit. Memang empat tahun lalu bank-bank swasta nasional belum agresif seperti sekarang. Tapi tiga tahun terakhir -- hingga Maret 1992 -- dana pihak ketiga yang dikumpulkannya melonjak empat kali lipat menjadi Rp 43 trilyun lebih. Dalam hal ini pepatah Belanda yang berbunyi, "Roti bagi yang satu berarti kematian bagi yang lain," agaknya tepat untuk menggambarkan posisi sulit bank-bank pemerintah. Hingga Maret tahun ini bank-bank pelat merah baru mampu menghimpun Rp 42,5 trilyun. Mundurkan bank pemerintah? Mungkin saja. Sebab pangsa kredit yang diberikan bank swasta selama empat tahun terakhir mengalami kenaikan dari 24% lebih pada tahun 1988 menjadi 36%. Sementara pangsa bank pemerintah turun sekitar 12% menjadi 53%. Pengalihan pangsa juga terjadi dalam penarikan dana pihak ketiga. Bank-bank swasta nasional pada Maret 1992 menguasai pangsa 45,14%. Bank pemerintah yang pada tahun 1988 masih leader dengan pangsa 60% harus puas dengan pangsa 44,4% pada Maret 1992. Meskipun sepertiga pangsa pasar bank pemerintah jelas-jelas diserobot bank swasta, Direktur Muda Bank Indonesia Paul Sutopo tidak menganggapnya sebagai hal yang mengkhawatirkan. "Mereka kan sedang konsolidasi. Tidak ada apa-apa," kata Paul. Namun Rizal Ramli, staf pengajar Universitas Indonesia, tidak melihatnya demikian. "Bank pemerintah kurang efisien dan tidak inovatif," katanya. Ramli mungkin benar. Lihatlah pendapatan yang diperoleh ketujuh bank pemerintah hingga Juni kemarin. Dari laporan keuangan pada semester I, laba yang diperoleh bank-bank pemerintah turun 20%, dari Rp 393 milyar menjadi Rp 314 milyar. Bahkan dilihat dari rasio pendapatan bunga per aktiva produktif, lima bank pemerintah menunjukkan pertumbuhan negatif. BBD, misalnya. Dengan penghasilan bunga Rp 1,1 trilyun dan aset yang berjumlah Rp 22,4 trilyun, maka rasio pendapatan bunga per aset BBD hanya 5%. Padahal dalam periode yang sama tahun lalu rasio itu masih 5,5%. Kesehatan bank pemerintah juga ternyata rapuh. Mungkin sebab itu pula Bank Dunia memberi saran, selain Bank Eksim dan Bank BNI 46, bank-bank pemerintah yang lain sebaiknya tidak melakukan ekspansi. Bahkan larangan itu, untuk BBD dan BDN, berlaku sampai tiga tahun mendatang. Saran Bank Dunia tentu bukan sekadar saran. Dalam hal pemenuhan CAR, Maret lalu, hanya BTN yang melampaui 5%. Lalu jika dilihat dari ROA (return on aset) -- kemampuan dalam menghasilkan keuntungan -- rata-rata efisiensi bankbank pemerintah juga rendah. Tidak satu pun bank pemerintah yang memenuhi ketentuan ROA yang ditetapkan BI, yakni 1,5%. "Bahkan tidak satu pun dari bank pemerintah yang melewati ROA 1%," kata seorang pejabat moneter. Dia juga mengungkapkan, dalam hal pemenuhan LDR (loan to deposit ratio), hanya dua bank yang memenuhi ketentuan 110%. Yang paling mengkhawatirkan pejabat tadi adalah kredit macet. Katanya, kredit macet di bank-bank pemerintah sudah di atas 10%. Bahkan seorang pengamat mengatakan bahwa kredit macet bank pemerintah sudah mencapai 15%. Kalau itu benar, berarti trilyunan rupiah cadangan tambahan harus dihimpun oleh bank pemerintah. Berpegang pada pedoman Bank Indonesia, maka cadangan yang harus disediakan oleh bank pemerintah adalah Rp 6,89 trilyun. Jika angka itu dibandingkan dengan cadangan aktivanya (Rp 2,9 trilyun) berarti ada kekurangan cadangan sebesar Rp 4 trilyun kurang. Jelas, tidak enak menjadi orang kalah. Meski begitu, belum tentu bank pemerintah sudah harus masuk kotak. Apalagi UU Perbankan yang baru memungkinkan mereka mengubah statusnya menjadi persero. Dengan status itu tentu bisa lebih lincah, efisien, agresif. Lebih penting lagi, mereka bisa mengeluarkan dan menjual sahamnya di bursa. "Go public memang syarat utama. Tapi kami tidak tahu, kapan izin itu akan diberikan," kata Direktur Utama Bank Eksim, Salahuddin N. Caoy, di London kepada Reza Rahadian dari TEMPO. Nah, lagilagi soal izin. Bagaimana bisa lincah dan efisien? Bambang Aji dan Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini