Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Biar Gelap Tapi Manis

Beberapa daerah di Indonesia banyak dijual gula putih selundupan buatan muangthai, malaysia, cina, filipina dan india dengan harga bersaing. Gula bulog mahal, sebab dibebani aneka biaya.

3 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GULA pasir selalu manis -- biarpun gula selundupan -- tapi heboh yang ditimbulkannya tentu akan terasa pahit bagi Bulog. Ramai gula impor itu baru terjadi dua bulan terakhir ini, padahal konsumen di berbagai provinsi sudah lama menik mati gula putih buatan Malaysia, Muangthai, Cina, Filipina, dan India. Di beberapa pasar swalayan di Banjarmasin sejak satu tahun terakhir gula eks Malaysia, Thailand, dan Filipina dijual terang-terangan. Harganya lebih tinggi Rp 200 ketimbang gula lokal yang hanya Rp 1.300 per kilo. Hal yang sama bisa ditemukan di Sumatera Utara dan Sumatera Barat, yang menampung arus gula Malaysia dan Muangthai. Menurut Ketua Asosiasi Penyalur Gula di Sum-Ut, para penyelundup -- tidak membayar bea masuk yang Rp 400 per kilo -- mampu menjual gula kepada grosir dengan harga sangat murah. Namun, seperti di Banjarmasin, harga jual eceran dipasang lebih tinggi ketimbang harga gula lokal, minimal Rp 1.400 per kg. Masalah yang kemudian muncul adalah: gula selundupan di beberapa tempat dijajakan dengan harga lebih miring. Di Tarakan, Kalimantan Timur, harganya antara Rp 1.000 dan Rp 1.100 per kg. Pada saat yang sama, gula Dolog malah menghilang di pasar Tarakan. Padahal tingkat konsumsi gula di kota ini sekitar 1.900 ton per bulan. Masuknya gula eks Tawao itu tidak dibantah oleh Kadaryanto, Kepala Dolog Kalimantan Timur. Katanya, di Samarinda dan Balikpapan, gula gelap masih dipasarkan secara tersamar. Tapi di Tarakan atau Berau, para pedagang berani langsung menjual tanpa mengganti karungnya. Gula gelap yang masuk ke sana diperkirakan mencapai 150 ton per bulan. Bahkan bulan lalu pernah 800 ton. Para pedagang di KalTim tampak sangat bergairah memasarkan si manis asal Tawao itu. Maklum, labanya bisa lebih besar. Gula yang disalurkan Dolog dijual seharga Rp 60 ribu per karung (50 kilo), gula Tawao hanya Rp 40 ribu-Rp 50 ribu. Kendati persaingan cukup gencar, Dolog Kaltim bersikap lebih tenang ketimbang Dolog Sumatera Utara. Dua pekan lalu, Dolog Sum-Ut minta agar Kanwil Bea Cukai Wilayah I segera menyetop gula selundupan. Gula gelap dari Port KlangMalaysia itu disinyalir masuk melalui Teluk Nibung, Tanjung Balai, Asahan. Jumlahnya mengejutkan: 150 ton per hari. Akibatnya, gula yang disalurkan Dolog (11.500 ton per bulan), kini lebih banyak menumpuk di gudang. Agustus lalu, dari jumlah tersebut hanya terealisasi 50%. "Itu pun dengan susah payah," kata Padamulia Lubis, Kadolog SumUt. Kegawatan serupa terjadi pula di Sumatera Selatan. Sejumlah penyalur gula di Palembang mengakui omzetnya turun sampai 30% dalam dua bulan terakhir. Ancaman si manis gelap itu bisa ditangkal sejak aparat Pemerintah turun tangan. Setidaknya sejak dua pekan belakangan ini. Namun untuk selanjutnya produsen gula nasional ataupun Bulog tak boleh lagi bersantai ria. Biarpun sejak dulu tata niaga gula dikuasai Bulog dan konsumen selama bertahun-tahun tidak punya alternatif lain, dalam era globalisasi ini orientasi bisnis tentu berubah. Beras saja bisa diimpor, mengapa gula tidak? Lagi pula konsumen Indonesia sangat pantas memperoleh komoditi lebih bermutu dengan harga lebih murah -- ya, seperti gula selundupan itulah. Kini perlu dipertanyakan mengapa gula Bulog mahal. Gula di pasaran dunia hanya Rp 800 per kg, tapi Bulog memasang harga Rp 1.300 per kg. Setelah periksa kanan kiri ternyata komoditas gula dibebani aneka biaya, yang sebagian terdengar aneh. Selain dikenakan PPN 10% dan Cukai 4%, ada biaya-biaya sampingan yang menakjubkan. Biaya bank Rp 6.956 per kuintal, biaya "proyek khusus Pemerintah" Rp 100, asuransi Rp 20, fee KUD Rp 5, karung Rp 1.600, dan fee "manajemen Bulog" Rp 500. Budi Kusumah, Laporan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus