Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dewi Sri dari Pasuruan

Pudjo Sakti sukses berbisnis wig dan sanggul. Ia pernah gulung tikar, tapi kini produknya merambah ke Sumatera dan Kalimantan.

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki setengah baya itu tampak tekun mengawasi pekerjaan anak buahnya. Sesekali ia memberi contoh cara yang benar mencuci rambut dengan campuran bahan kimia. "Di bagian ini, keberhasilan pembuatan sanggul dan wig ditentukan. Jika pemrosesannya jelek, hasilnya pun akan jelek," ujar Pudjo Sakti, nama pria tersebut.

Pudjo, 53 tahun, adalah pemilik sekaligus pendiri usaha kerajinan sanggul dan wig "Dewi Sri". Nama ini, selain tersohor di Jawa Timur, juga bergaung sampai ke Jakarta. Tak terhitung rombongan istri pejabat yang berkunjung ke ruang pamer sekaligus bengkel kerja "Dewi Sri" di Sukorejo, Pasuruan, Jawa Timur. Ny. Yusril Ihza Mahendra dan Ny. Bagir Manan, contohnya, pernah datang ke sana. "Awal Agustus lalu, Ibu Agum Gumelar datang dengan rombongan sebanyak dua bus," ujarnya, bangga.

Pudjo tentu senang menyambut rombongan dari Jakarta itu. Soalnya, setelah melihat-lihat, mereka pasti berbelanja. Dan biasanya ada saja yang terus terpikat sehingga menjadi pelanggan tetap.

Untuk urusan wig dan sanggul, Dewi Sri memang bisa diandalkan. Beragam model tersedia di sana. Tangan Pudjo yang kukuh sangat terampil menata aneka sanggul. Sedemikian mahirnya hingga sampai kini ia telah menghasilkan lebih dari 100 jenis sanggul dan 50 jenis wig, plus 25 macam ornamen sanggul. Ada sanggul Kartini, Makassar, Sunda, Madura, bahkan sanggul Bali yang khas itu.

Selain sanggul tradisional, Pudjo juga membuat sanggul kreasi. Sanggul ini tidak meniru bentuk sanggul daerah tertentu, tapi berdasar kreasi sendiri. ''Sanggul kreasi sangat banyak peminatnya,'' tuturnya. Yang juga disukai adalah wig sanggul, yaitu sanggul berbentuk wig dan mudah dipakai. ''Ibu-ibu pejabat sangat menyukai wig sanggul.''

Wig buatan Dewi Sri juga bervariasi. Ada wig setengah jadi (half wig), ada wig ekor kuda, wig pendek, dan wig panjang. Harga wig dan sanggul itu bervariasi. Sanggul kecil dijual seharga Rp 5.000-Rp 50 ribu, sedangkan wig sanggul dijual Rp 200 ribu-Rp 400 ribu. Harga wig bahkan mencapai Rp 100 ribu-Rp 300 ribu.

Dalam sehari, Dewi Sri bisa membuat 300-400 buah sanggul, 50 buah wig, dan 60 buah ornamen sanggul. Semua kegiatan itu ditopang oleh 180 pekerja dan 40 mesin jahit. Pudjo memang belum mengekspor, tapi pasarnya sudah merambah kota-kota di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Omzetnya pun lumayan, sekitar Rp 120 juta per bulan.

Namun, kisah sukses Pudjo tak diraih dalam semalam. Pusaran nasibnya berawal sebagai buruh pabrik wig di daerah Ngagel, Surabaya, pada tahun 1967. Bekalnya cuma ijazah SMP. Di tempat ini ia bekerja serabutan. Terkadang di bagian pemrosesan, lalu pindah ke bagian produksi, dan lain waktu sebagai teknisi mesin jahit.

Setahun kemudian Pudjo keluar karena pabrik tutup. Ia lantas bekerja di sebuah salon. Namun, hanya bertahan sebentar, Pudjo kembali bekerja di pabrik wig yang lain di daerah Pucang, Surabaya. Lagi-lagi ia tak ditempatkan secara khusus di bagian tertentu. ''Saya bekerja di bagian mana saja yang membutuhkan," ujarnya. Tapi hal itu membuka peluang baginya untuk mengetahui seluruh proses produksi. "Saya beruntung sekali," katanya terus terang.

Nasib Pudjo mulai terangkat setelah menikah. Bermodal uang tabungan dan pesangon, ia memutuskan membuat wig sendiri. Hasilnya ia jual ke salon-salon di Surabaya. Sebagian lagi ia titipkan di toko-toko di Pasar Turi, di kota pahlawan ini.

Usaha Pudjo menuai hasil. Dalam tempo dua tahun ia sudah memiliki 20 mesin jahit dan 38 karyawan. Produksinya pun merambah ke Pasar Tanah Abang, Jakarta. ''Waktu itu nilai penjualan ke Jakarta mencapai Rp 1 juta,'' ujarnya mengenang. Sayang, sukses ini tak bertahan lama. Tahun 1979, ia gulung tikar karena modalnya lemah. Semua investasinya ludes, termasuk mesin jahit. ''Saya tak mampu memenuhi pesanan sehingga pelanggan lari ke tempat lain,'' tuturnya mengingat-ingat episode yang pahit itu.

Setahun kemudian, Pudjo ditantang oleh mantan pembelinya di Jakarta untuk membuat sanggul. Mantan pelanggannya itu berjanji akan membeli hasil karya Pudjo jika ia mampu membuat 3.000 sanggul dalam tempo satu bulan. Merasa tertarik, ia pun belajar membuat sanggul.

Kali ini modalnya satu mesin jahit dan uang Rp 250 ribu. Kegigihannya membuahkan hasil. Sanggul buatannya diserbu pembeli sehingga tak jadi dikirim ke Jakarta. Sejak itu, usahanya terus berkembang.

Namun, sukses itu tak membuat Pudjo terlena. Ia hidup sederhana dan tak pernah membeli barang yang dianggapnya tak terlalu diperlukan, termasuk mobil. Bila bepergian, ia selalu menumpang angkutan umum. "Handphone juga saya tak punya," katanya merendah. Laba yang diperoleh selalu diinvestasikannya kembali. Sebagai wirausahawan yang merangkak dari bawah, ia mencitrakan pribadi yang ulet dan pantang menyerah.

Nugroho Dewanto, Bibin Bintariadi (Pasuruan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus