Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi
Pencucian Uang

Berita Tempo Plus

Lembaga Kurang Darah

Revisi undang-undang belaka tak akan meloloskan Indonesia dari sanksi berat. Tapi badan antipencucian uang masih berjalan terseok-seok.

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Lembaga Kurang Darah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SECARIK kertas ditempel seadanya di pintu sebuah ruangan di lantai empat gedung lama Bank Indonesia. Tertera di situ: Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Melongok ke dalam, kondisi serba seadanya itu makin terkonfirmasi. Suasananya adem-ayem, tak ada kesibukan luar biasa, sebagaimana lazimnya kantor pemerintah.

Padahal, mestinya PPATK menjadi sebuah lembaga yang mahapenting. Dibentuk akhir tahun lalu, dan langsung bertanggung jawab ke presiden, instansi ini diberi tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang alias money laundering.

Apalagi kini Indonesia sedang disorot dunia akibat dianggap tak serius menerapkan undang-undang antipencucian uang. Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering, lembaga internasional yang bermarkas di Prancis, bahkan sudah menyuarakan ancaman. Jika sampai Oktober nanti masih saja membandel, sanksi (counter measures) akan dijatuhkan.

Saat ini FATF masih menempatkan Indonesia, bersama Myanmar, Mesir, Guatemala, Filipina, Nauru, Ukraina, Nigeria, dan Kepulauan Cook, dalam daftar hitam mereka, sebagai negara yang tak bersungguh-sungguh memerangi praktek pencucian uang.

Organisasi itu kini keras mendesak agar UU No. 15/2002 tentang Pencucian Uang, yang dinilai masih kelewat lembek, segera direvisi. Tenggatnya jatuh bulan Oktober itu, saat digelar sidang pleno FATF di Stockholm, Swedia.

Seiring dengan itu, pun telah datang ancaman dari Amerika Serikat. Jika rekomendasi FATF tak segera diikuti, negara adidaya itu akan ikut menjatuhkan sanksi. Sebagai landasannya adalah US Patriot Act 311, UU Anti Terorisme AS, yang mewajibkan semua perusahaan di negeri itu mengambil tindakan tegas terhadap negara yang dianggap merugikan perekonomian AS.

Syukurlah, parlemen telah menyatakan kesanggupannya untuk menyelesaikan amendemen paling lambat September nanti. Jadi, beres?

Jelas belum, kata Ketua PPATK Yunus Husein. Kalaupun proses di Senayan mulus, ia masih pesimistis Indonesia bisa lolos dari incaran FATF. Penyebabnya, yang dituntut bukan hanya perbaikan di atas kertas. Ada syarat yang lebih penting: Indonesia harus juga terbukti telah menggelar berbagai tindakan nyata untuk melawan kejahatan transnasional itu. Dan yang pertama-tama akan dijadikan tolok ukur adalah seberapa konkret PPATK memainkan perannya.

Yunus menunjuk contoh Filipina. Meski telah memiliki beleid antipencucian uang yang bagus, negeri Arroyo itu masih saja mendekam di lis hitam FATF. Penyebabnya, itu tadi, pelaksanaan di lapangan masih dinilai payah. "Kalau masih seperti sekarang, meski undang-undangnya sudah diamendemen, kami tetap tak bisa bekerja maksimal," Yunus mengeluh.

Masalah PPATK kini ibarat kurang darah karena dicekik seretnya anggaran. Sejak berdiri, seluruh bujet mereka masih ditanggung BI, yang hingga semester pertama telah mengucurkan Rp 7 miliar. Mestinya, sejak Juli lalu bujet sudah penuh ditanggung pemerintah. Tapi sampai sekarang dana Rp 35 miliar untuk keperluan semester kedua tak kunjung dicairkan Departemen Keuangan. Alasannya, Sekretariat Negara belum mengeluarkan surat perintah pencairan. "Saya tidak bisa berkomentar kalau masalahnya menyangkut keputusan presiden," kata Menteri Keuangan Boediono.

Problem fulus itu berbuntut panjang. Teknologi dan sistem on-line yang dibutuhkan untuk mengefektifkan pengawasan belum bisa diadakan. Padahal rentang pemantauan PPATK begitu luas, menyangkut semua transaksi perbankan serta nonbank seperti asuransi, efek, ataupun reksadana. Sementara ini, apa boleh buat, semua pekerjaan masih dilakukan manual dulu.

Repotnya, pegawai PPATK kini hanyalah 24 orang. Itu pun 15 orang berstatus karyawan yang dibayar BI, dan sisanya staf honorer. Karena ketidakjelasan anggaran, rencana menambah personel hingga 60 orang terpaksa ditunda.

Bagi Yunus, staf yang ramping sebenarnya tak jadi masalah jika perangkat teknologi informasi PPATK sudah memadai. Lembaga sejenis di AS dan Inggris pun hanya didukung 200-an personel. Di Australia hanya 60-70 karyawan. Unit investigasi finansial di Malaysia malah lebih sedikit, karena secara struktural mereka berada di bawah bank sentral.

Situasinya berbeda di Indonesia. Menurut UU 15/2002, PPATK dibuat terpisah dan merupakan lembaga baru sepenuhnya. Semula, telah dirancang agar sumber daya lembaga ini ditopang berbagai instansi pemerintah yang telah ada, misalnya dari Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.

Masalahnya, sampai saat ini instansi yang sudah meneken nota kesepahaman dengan PPATK baru BI. Yang lain belum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan Departemen Kehakiman. Karena itulah, dari 236 transaksi yang telah dideteksi PPATK, baru 36 yang dapat diteruskan ke kepolisian, dan hanya empat di antaranya sampai ke kejaksaan.

Selain itu masih ada kendala lain. Empat keputusan presiden yang teramat penting untuk menopang tugas PPATK juga masih tertahan di Sekretariat Negara. Setahu Yusuf, dua di antaranya—tentang struktur kelembagaan dan kepegawaian—sudah selesai didraf sejak 15 Agustus lalu untuk diteken Presiden. Tapi yang dua lagi, ihwal kewenangan dan penggajian, masih tak jelas nasibnya.

Karena itulah, kepatuhan dari bank swasta belum bisa terlalu diharap. Dari total 145 bank umum yang beroperasi, baru 27 bank yang rutin melapor.

Direktur Citigroup Asset Management Indonesia, Frederik Wattimena, menyatakan pihaknya kini ketat menerapkan prinsip KYC (know your customer), untuk mencegah praktek pencucian uang. Apalagi setelah tragedi 9-11. "Citibank sering menolak transaksi atau pembukaan rekening," katanya tanpa bersedia memerincinya.

Masalahnya, ia menilai kewajiban untuk membuka data nasabah dan berbagai informasi krusial lainnya itu belum diimbangi jaminan keamanan yang memadai. Salah satunya, misalnya, belum adanya mekanisme perlindungan saksi.

Soal ini diamini pengamat perbankan Pradjoto. Menurut dia, banyak bank enggan melaporkan transaksi janggal karena tak ingin direpotkan dengan proses hukum yang biasanya rumit berbelit. Selain itu, seperti yang digarisbawahi Frederik, pelapor juga umumnya takut karena undang-undang perlindungan saksi belum ditetapkan. Padahal, mereka tahu, yang bakal dihadapi bukanlah penjahat sekelas maling jemuran, tapi mafia kelas berat yang tangannya menjulur jauh ke kantor polisi, markas tentara, dan gedung pengadilan.

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus