Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dana Bantuan Digoreng Dadakan

Menjelang tutup tahun, pemerintah menggulirkan program bantuan untuk industri perfilman menggunakan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN). Menuai reaksi pro dan kontra.

27 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Program bantuan PEN perfilman mulai bergulir.

  • Datang dari usul para pelaku industri perfilman.

  • Perubahan skema menuai pro dan kontra.

FANNY Chotimah tak bisa berlama-lama di Jakarta. Rabu malam, 24 November lalu, ia segera pulang menaiki kereta Argo Lawu menuju Solo, Jawa Tengah, setelah pada dinihari itu baru kelar meneken pengikatan komitmen dan perjanjian kerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. “Kamis pagi sampai Solo, siangnya syuting,” tutur Fanny saat dihubungi, Rabu, 24 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fanny tak punya waktu panjang. Yayasan Kembang Gula, komunitas film di Solo yang dipimpinnya, dipastikan mendapat bantuan dana produksi dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk perfilman. Masalahnya, Fanny dan tim kecilnya hanya punya waktu dua pekan untuk merampungkan film dokumenter berjudul Riwayatmu Kini, yang disetujui menerima bantuan dana tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dana bantuan PEN termin pertama baru akan cair pada 1 Desember, Rabu pekan ini. Setelah itu, mereka kudu melaporkan penggunaan dana dan perkembangan produksi sebagai syarat pencairan dana di termin kedua, 10 Desember mendatang. Semua penerima dana program ini harus menyetor laporan naratif dan pertanggungjawaban keuangan pada 15 Desember mendatang.

Untungnya, pengambilan gambar film dokumenter tentang musik keroncong yang disodorkan Fanny itu sebenarnya telah dimulai pada awal November lalu. “Kami sudah meriset sejak Oktober,” kata Fanny, yang sebelumnya menyutradarai You and I, peraih penghargaan film dokumenter panjang terbaik dalam Festival Film Indonesia 2020.

Pegiat sinema saat acara pengikatan komitmen dan penandatanganan perjanjian kerja sama bantuan pemerintah untuk promosi film Indonesia, di Hotel Morrissey, Jakarta, 25 Oktober 2021. Kemenparekraf

Walau begitu, penggarapan film, termasuk film dokumenter pendek, sebenarnya membutuhkan waktu cukup panjang. Idealnya, Fanny menjelaskan, diperlukan dua-tiga bulan untuk sampai ke tahap finalisasi produksi. "Tapi efektifnya kami punya dua minggu, jadi semuanya harus digarap bersamaan. Kalau tidak begitu tidak akan terkejar," ujar Fanny, yang juga menyatakan bantuan PEN ini sudah lama ditunggu komunitas perfilman.

Yayasan Kembang Gula adalah satu dari 56 rumah produksi dan komunitas film yang menerima bantuan skema produksi dari program PEN perfilman. Mereka terdiri atas 23 rumah produksi dan 33 komunitas film yang akan menggarap 29 film pendek serta 27 film dokumenter pendek. Setiap rumah produksi dan komunitas itu mendapat bantuan Rp 250 juta.

Selain skema produksi, ada dua skema yang disiapkan pemerintah untuk membantu industri perfilman, yakni promosi dan pra-produksi bagi film dan dokumenter panjang. Sebanyak 22 film akan menerima bantuan promosi masing-masing senilai Rp 1,5 miliar. Adapun bantuan pra-produksi akan digelontorkan ke 50 rumah produksi untuk 88 proyek film senilai Rp 860 juta per proyek.

Film Paranoia, Cinta Bete, Kadet 1947, Yowis Ben 3, dan Akhirat: A Love Story masuk deretan penerima bantuan promosi dari PEN perfilman. Skema ini dirancang untuk membantu mempromosikan film Indonesia yang siap tayang pada tahun ini atau awal tahun depan.

Mulanya, skema promosi disiapkan buat 40 film panjang layar lebar. Pendaftaran dibuka pada 1-10 Oktober lalu. Namun proses kurasi hanya meloloskan 22 film dari 48 rumah produksi yang mendaftar. "Ini belum banyak yang siap mengajukan, ditambah kami juga berusaha ketat mengkurasi proposal yang masuk," kata Edwin Nazir, salah satu kurator untuk skema promosi.

Bagi Shanty Harmayn, produser film Akhirat: A Love Story, dana PEN amat dibutuhkan rumah produksinya untuk mempromosikan film di tengah kondisi pandemi Covid-19. “Enggak peduli seberapa besar nilainya. Every single help we need,” tutur Shanty saat ditemui Tempo, Jumat, 26 November lalu.

Shanty memang mesti menaruh ekspektasi besar dalam hal target penonton yang bisa didatangkan dari film Akhirat: A Love Story. Film anyarnya itu bakal tayang di bioskop pada 2 Desember mendatang. Masalahnya, bioskop yang sudah lama sepi di masa pagebluk membuat penghitungan target penonton—yang biasanya bisa diproyeksikan dari ongkos promosi yang dikeluarkan—makin serba tak pasti. “Mesti bersiap di bawah ekspektasi. Itu konsekuensi yang harus dihadapi di masa pandemi,” ujar Shanty, yang juga Chief Executive Base Entertainment.

Proses produksi film Riwayatmu Kini di Solo, Jawa Tengah, 25 November 2021. Dokumentasi Kembang Gula

Produser Mira Lesmana, yang menggarap Paranoia, mengutarakan hal senada. Biaya promosi film biasanya sebanding, atau malah dua kali lipat, ongkos produksi. Terlebih ada banyak ongkos tambahan dalam produksi film di masa pandemi, seperti biaya tes usap rutin dan karantina selama syuting. “Ini bisa jadi faktor ongkos bikin film di masa pandemi lebih mahal,” kata Mira.

Adapun hasil program bantuan skema pra-produksi dari PEN perfilman diumumkan paling belakangan, 26 November, Jumat pekan lalu. Dananya dialokasikan untuk empat komponen pra-produksi, yaitu pengembangan skenario, pengembangan storyboard, survei lokasi, dan lokakarya pra-produksi. Dengan rampungnya seluruh kurasi untuk tiga skema bantuan tersebut, pemerintah diperkirakan baru akan menghabiskan Rp 122,68 miliar dari total alokasi PEN perfilman senilai Rp 266 miliar.

•••

BANTUAN untuk industri film melalui program pemulihan ekonomi nasional tak direncanakan di awal penyusunan anggaran 2021. Bermula dari obrolan di platform Clubhouse, pelaku industri perfilman yang tergabung dalam 14 asosiasi baru menyuarakan kebutuhan bantuan lewat surat kepada Presiden Joko Widodo pada Maret lalu. Sejumlah pertemuan pun digelar pemerintah bersama perwakilan beberapa asosiasi tersebut, di antaranya Badan Perfilman Indonesia dan Asosiasi Produser Film Indonesia.

Mulanya, pembahasan mengerucut pada rencana menggulirkan skema bantuan yang berfokus meramaikan kunjungan ke bioskop. Selama ini bioskop menyumbang 90 persen pemasukan industri film. Sejak pandemi Covid-19 datang, bioskop mati suri, pendapatannya anjlok hingga 97 persen setelah hanya menayangkan sembilan judul film sepanjang 2020. Sebelum wabah menyebar, pada 2019, bioskop di Tanah Air memutar 129 judul film yang ditonton oleh sekitar 51 juta orang, membuat industri film Indonesia masuk 10 besar pasar film dunia.

DANA PENYELAMATAN BISNIS SINEMA

PANDEMI Covid-19 sejak awal memukul bisnis bioskop, penyumbang pendapatan terbesar pelaku perfilman. Industri film nasional pun terkena imbasnya, kendati era digital menyediakan kanal distribusi lain. Lama didengungkan, desakan kalangan pelaku film agar pemerintah menyelamatkan industri ini akhirnya mulai terjawab. Yang terbaru, pemerintah mengalokasikan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk perfilman yang akan digulirkan dalam tiga skema bantuan.

Itu sebabnya beberapa waktu lalu muncul kampanye “Kembali ke Bioskop”. Adapun beberapa skema bantuan yang dirancang di awal berupa program beli satu tiket gratis satu atau kurasi film tentpole—produksi berbiaya besar tapi berpotensi mendatangkan banyak penonton. Dengan begitu, produser film kembali berkarya, mau memutarkan produknya di bioskop, dan langsung mendapat dana untuk menggarap film baru. “Jadi tidak ada dana yang bisa langsung diterima individu ataupun korporasi. Semuanya dibelanjakan kembali untuk stimulus ekonomi,” ucap Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia Chand Parwez Servia, Jumat, 19 November lalu.

Belum juga disetujui, rancangan skema-skema itu berantakan setelah pemerintah kembali memperketat kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Bioskop yang kembali ditutup menyebabkan skema bantuan untuk pembelian tiket urung terlaksana.

Belakangan, sejumlah skema baru muncul seiring dengan berlanjutnya pembahasan rencana bantuan untuk industri perfilman di lingkup internal pemerintah. Bantuan PEN perfilman dengan skema produksi film fiksi dan dokumenter pendek salah satu yang muncul belakangan. Semula skema produksi dirancang untuk membantu penggarapan film fiksi dan dokumenter panjang. Namun skema awal itu berubah lantaran produksi film tersebut bisa memakan waktu hingga enam bulan, tak akan bisa mengejar tuntutan merampungkan program pada tahun ini.

Selain itu, pemberian dana untuk produksi film fiksi dan dokumenter pendek yang banyak digawangi oleh komunitas dianggap lebih cocok dengan prinsip peruntukan dana PEN. "Fokus pendanaan PEN untuk yang paling rentan terkena dampak pandemi secara signifikan," ujar Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede, Kamis, 18 November lalu.

Jadilah tiga skema bantuan yang berlaku saat ini sebagai ujung pembahasan panjang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Kementerian Keuangan pada Juni, Agustus, dan terakhir Oktober lalu. Seorang pejabat Kementerian Pariwisata yang mengikuti pembahasan itu bercerita, pembahasan skema bantuan lewat dana PEN ini berlangsung lama lantaran beberapa kali dilakukan perombakan. Beberapa skema tak disetujui lantaran berbenturan dengan regulasi di Kementerian Keuangan. “Tiga skema yang ada saat ini ditetapkan berdasarkan komponen yang dapat dibiayai oleh bantuan pemerintah,” tuturnya.

*) Hasil kurasi tim yang dibentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

SUMBER: KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF, DIOLAH TEMPO
NASKAH: AISHA SHAIDRA

Perubahan skema bantuan ini membelah pendapat pelaku industri perfilman. Sejumlah sutradara kenamaan memilih tak ikut serta ketika Kementerian Pariwisata membuka pendaftaran untuk program bantuan PEN perfilman ini. Mereka tak hanya mempersoalkan perubahan skema bantuan, tapi juga tidak jelasnya perhitungan yang dipakai untuk menetapkan jumlah bantuan dalam setiap skema terbaru. “Ada juga kawan-kawan yang tetap ikut, daripada dana itu jatuh ke tangan yang tidak jelas,” kata seorang sutradara yang enggan disebutkan namanya.

Deddy Mizwar, aktor dan sutradara pendiri rumah produksi PT Demi Gisela Citra Sinema, salah satu yang enggan ikut serta. Dia menilai skema bantuan PEN perfilman saat ini tak punya arah dan tujuan yang jelas. Dia beranggapan bahwa program bantuan semestinya tetap berfokus pada upaya menarik masyarakat datang ke bioskop. “Kalau persoalannya mendatangkan penonton ke bioskop, promosikan jaminan keamanan di bioskop dan film yang benar-benar bermutu,” ujar Deddy, Sabtu, 27 November lalu.

Deddy juga khawatir akan pertanggungjawaban penggunaan dana PEN dalam skema-skema tersebut. Dengan skema promosi, dia mencontohkan, tak terang apakah program bantuan itu bakal sukses mendatangkan kembali penonton ke bioskop. Begitu pula bantuan dalam skema pra-produksi, yang ia nilai tak begitu jelas bagaimana pemerintah kelak akan memastikan proyek film yang didanai bakal benar-benar diproduksi. “Strategi semacam ini tidak ada, kesannya sporadis, yang penting duit keluar,” kata Deddy, yang juga Ketua Umum Persatuan Perusahaan Film Indonesia.

Pelaksana tugas Kepala Biro Komunikasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Cecep Rukendi, menyatakan pemerintah sudah mempertimbangkan tiga skema final tersebut bakal memenuhi tingkat urgensi dan nilai manfaat paling maksimal. Tingkat urgensi dan manfaat yang dimaksud adalah dalam waktu singkat dan terbatas dapat menyerap tenaga kerja serta menggerakkan ekosistem perfilman Indonesia.

Pemerintah, menurut Cecep, juga sudah mengatur mekanisme agar pemanfaatan dana program PEN terjaga dan tepat, dari hulu hingga hilir. “Sejumlah lembaga turut dilibatkan untuk mengawasi dan mendampingi para penerima program bantuan,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus