Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah daerah gerah terhadap dampak negatif industri sawit.
Kontribusi industri sawit terhadap keuangan daerah dianggap rendah.
Berharap ada payung hukum untuk dana bagi hasil sektor sawit.
DUDUK di hadapan tamunya, Suahasil Nazara, Gubernur Riau Syamsuar langsung berkeluh kesah. Malam itu, Senin, 1 November lalu, Syamsuar menjamu Suahasil, Wakil Menteri Keuangan, di rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Pekanbaru, untuk beramah tamah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suahasil, yang sedang bersafari ke Bumi Lancang Kuning, datang bersama Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti. Syamsuar tidak mau melepas kesempatan emas berhadapan dengan dua pejabat yang mengurus keuangan negara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syamsuar langsung main tembak. Dia mengatakan butuh tambahan dana bagi hasil dari pemerintah pusat untuk membangun Riau. Duit itu bisa bersumber dari dana bagi hasil sawit. "Apalagi sekarang, dengan kondisi pandemi, kami harus menggeser fokus anggaran. Makin kurang anggarannya," kata Syamsuar menceritakan pertemuan itu kepada Tempo, Jumat, 12 November lalu.
Syamsuar punya seribu alasan untuk mendukung usulnya. Luas tutupan sawit di Riau mencapai 3,3 juta hektare, menjadikan provinsi ini sebagai daerah dengan tutupan sawit terluas di Indonesia. Namun kontribusi industri sawit terhadap keuangan daerah tak seberapa.
Gubernur Riau Syamsuar (kiri) melakukan pertemuan dengan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara di Pekanbaru, Riau 1 November 2021. riau.go.id
Dari perkebunan yang menggasak lahan dan hutan itu, Riau—juga daerah-daerah penghasil sawit lain—hanya menerima dana bagi hasil atas pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) perkebunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Itu pun tak semua pemilik kebun taat membayar pajak.
Dinas Perkebunan Provinsi Riau mencatat, hingga 2018, hanya 1,22 juta hektare perkebunan sawit di Bumi Lancang Kuning yang memenuhi kewajiban membayar PBB perkebunan. Rendahnya tingkat kepatuhan pajak di industri sawit ini ditengarai juga terdapat di provinsi lain. Hasil kolaborasi riset dan peliputan Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita, dan Auriga Nusantara memperkirakan potensi penerimaan PBB perkebunan yang hilang di sektor sawit saban tahun sekitar Rp 2,83-3,83 triliun.
Pemerintah Provinsi Riau mencatat realisasi pendapatan daerah hingga akhir 2020 sebesar Rp 8,62 triliun. Pendapatan senilai Rp 757,2 miliar di antaranya diperoleh dari dana bagi hasil pajak. Di pos pendapatan Riau yang terakhir ini, merujuk pada data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, dana bagi hasil PBB perkebunan hanya menyumbang Rp 32,19 miliar.
Terbatasnya kapasitas fiskal daerah itu jomplang dengan kebutuhan biaya pembangunan, termasuk pembangunan jalan yang turut dinikmati oleh industri sawit. Tahun lalu, Riau hanya bisa menganggarkan belanja modal untuk infrastruktur jalan, irigasi, dan jaringan sekitar Rp 447,9 miliar—yang hanya terealisasi 90 persen akibat refocussing anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19. Sedangkan dalam hitungan kasar Gubernur Syamsuar, kebutuhan untuk memperbaiki sekitar 330 kilometer jalan provinsi yang rusak, “Lebih dari Rp 10 triliun.”
Permasalahan yang sama dirasakan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, misalnya, dibebani rendahnya kapasitas anggaran untuk menutup kebutuhan pembangunan. Wakil Bupati Kuantan Singingi Suhardiman Amby mengungkapkan, saat ini hanya 500 kilometer dari sekitar 2.000 kilometer jalan kabupaten yang telah diaspal. Hampir separuh jalan aspal itu pun rusak. “Butuh dana sampai ratusan miliar rupiah untuk memperbaikinya,” tutur Suhardiman ketika ditemui Tempo, Jumat, 20 Agustus lalu.
Seperti Syamsuar, Suhardiman menyoroti aktivitas industri sawit yang ditengarai menjadi biang kerok kerusakan jalan di daerahnya. Sedangkan selama 2016-2020, Kuantan Singingi hanya menerima dana bagi hasil PBB perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (P3)—yang menjadi domain pemerintah pusat untuk ditransfer ke daerah—rata-rata sebesar Rp 6,7 miliar per tahun. Tahun lalu, di tengah situasi pandemi, penerimaan dana bagi hasil PBB P3 Kuantan Singingi bahkan jeblok, hanya Rp 3,2 miliar.
Suhardiman pantas kecewa. Hampir separuh dari luas wilayah Kuantan Singingi telah ditanami sawit, yakni mencapai 298,2 ribu hektare—sekitar lima kali luas daratan DKI Jakarta. Kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Indragiri Hulu ini juga menjadi rumah bagi 28 pabrik minyak sawit mentah (CPO) yang memasok kilang-kilang minyak sawit di Dumai, Riau.
Bongkar muat Tandan Buah Segar kelapa sawit di Desa Rantau Bais, Rokan Hilir, Riau, Maret 2021. ANTARA/Aswaddy Hamid
Kondisi jalan di Kuantan Singingi menggambarkan umumnya adimarga di Riau. Di Koto Taluk, ibu kota Kabupaten Kuantan Singingi, jalanan masih mulus dan rata. Namun, bergeser sedikit saja ke pinggiran pusat kota, jalan sudah bopeng di sana-sini, berlubang, atau bergelombang karena tanahnya mulai ambles. Tak sedikit pula jalan yang baru dicor pada satu lajur, sementara sisanya berkalang tanah, seperti di jalur Taluk menuju Desa Koto Cengar, Kecamatan Kuantan Mudik—sisi selatan kabupaten.
Medio Agustus lalu, ketika harga sawit mulai menggeliat naik, jalan-jalan itu ramai dengan truk beraneka ukuran yang berayun pelan, menggendong tandan buah segar dari perkebunan ke pabrik CPO. “Kami tidak dapat apa-apa,” ucap Suhardiman.
•••
KRITIK atas rendahnya kontribusi bisnis sawit sebenarnya sudah lama disuarakan oleh pemerintah daerah, terutama yang wilayahnya banyak dimakan oleh kebun Elaeis guineensis Jacq. Pada 2015, Cornelis, Gubernur Kalimantan Barat saat itu, menggagas penyusunan kesepakatan antargubernur se-Kalimantan untuk mendesak pemerintah pusat agar membuat skema bagi hasil sektor sawit yang lebih adil. Kala itu Cornelis baru terpilih menjadi Ketua Governors Climate and Forest Task Force Indonesia wilayah Kalimantan.
Sayangnya, tidak semua kepala daerah antusias. Hanya daerah penghasil sawit yang mendukung usul tersebut. Daerah yang tak bergantung pada komoditas sawit, seperti Kalimantan Timur yang kaya tambang, minyak, dan gas bumi, ogah-ogahan.
Perkebunan kelapa sawit dilihat dari atas di Siak, Riau, Februari 2017. TEMPO/Riyan Nofitra
Upaya menyuarakan usul ini di tingkat nasional juga mental. Daerah-daerah yang memiliki pelabuhan ekspor CPO pun tak satu suara. “Mereka yang sudah punya pelabuhan tidak ada masalah, jadi ndak keukeuh, lah,” ujar Gusti Hardiansyah, mantan Staf Ahli Gubernur Kalimantan Barat Bidang Perubahan Iklim, ketika dihubungi pada 17 September lalu.
Dana bagi hasil sawit praktis hanya bertumpu pada penerimaan pajak bumi dan bangunan perkebunan. Pemilik kebun wajib membayarnya ke Direktorat Jenderal Pajak. Selanjutnya dana ditransfer sebagian ke daerah. Meski tak ada skema bagi hasil atas penerimaan bea keluar kegiatan ekspor CPO ataupun produk turunannya, daerah-daerah pemilik pelabuhan punya tambahan penerimaan berupa pungutan lain, seperti retribusi pelayanan pelabuhan.
Itulah sebabnya Kalimantan Barat kini ngotot menyiapkan pelabuhan baru di Kabupaten Mempawah. “Selama ini CPO Kalimantan Barat dikirim ke pelabuhan di Jawa atau Sumatera, lalu diekspor dari sana,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sintang, Kartiyus, pada 21 September lalu. Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat salah satu yang getol menyorong peningkatan dana bagi hasil sawit untuk daerah penghasil.
Baca: Dari Hutan Lari ke Pasar
Belakangan, ketentuan bea keluar ekspor CPO berubah setelah diberlakukan pungutan dana perkebunan sawit, yang kini dihimpun oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Daerah-daerah penghasil sawit melihat besarnya dana sawit sebagai peluang bagi mereka untuk menambah pundi-pundi pendapatan.
Pada Januari 2020, sebanyak 18 kepala daerah penghasil sawit berkumpul di Pekanbaru. Selain bersepakat meminta pemerintah memperbaiki porsi bagi hasil PBB perkebunan sawit yang saat ini hanya 40 persen untuk daerah, mereka berharap ada ketentuan khusus dana bagi hasil sawit, layaknya pada sektor minyak dan gas bumi. Dana sawit itu, termasuk dari pungutan ekspor, bisa menjadi salah satu sumbernya.
BOROS LAHAN IRIT SETORAN
Tutupan sawit makin luas, saat ini diperkirakan mencapai 16,6 juta hektare—setara dengan 250 kali luas wilayah DKI Jakarta. Kendati begitu, kontribusinya terhadap penerimaan, baik bagi pemerintah pusat maupun daerah, dianggap rendah. Hasil riset dan peliputan Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita, serta Auriga Nusantara mengindikasikan rendahnya tingkat kepatuhan pajak di industri ini. Realisasi penerimaan pajak bumi bangunan perkebunan sawit, yang di dalamnya terdapat hak daerah, hanya sepertiga dari potensinya.
Terakhir kali Gubernur Syamsuar menyurati pimpinan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyuarakan usul tersebut pada 25 Agustus lalu. Komisi yang membidangi keuangan negara itu tengah membahas Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (RUU HKPD) yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. “Kita ini sekarang kurang uang. Kenapa uang yang sudah tampak ini, BPDPKS, tidak kita kerjakan?" tutur Syamsuar.
Suahasil Nazara tidak menjawab ketika dimintai klarifikasi tentang usul para kepala daerah penghasil sawit. Namun Astera Primanto Bhakti membenarkan adanya pertemuan pada 1 November lalu, juga tentang keluh kesah Gubernur Syamsuar. “Biasa, lah, kalau ketemu gubernur, mereka pasti menyampaikan kondisi di tempatnya,” kata Astera ketika dihubungi pada Jumat, 26 November lalu.
Menurut Astera, pemerintah akan menyerap usul pemerintah daerah dalam RUU HKPD. Pemerintah pusat, dia menambahkan, mempertimbangkan masukan dari daerah penghasil, yang mendapat eksternalitas dari eksploitasi sumber daya alam tapi tidak mampu melakukan perbaikan sendiri.
Selama ini daerah penghasil sawit selalu gigit jari. Undang-Undang Perimbangan Keuangan mengatur dana bagi hasil dari sumber daya alam. Namun sumber daya alam yang dimaksud hanya sebatas kehutanan, perikanan, pertambangan, minyak, gas bumi, dan panas bumi. Adapun perkebunan, termasuk sawit, tidak tercakup.
SUMBER: The Treemap (Nusantara Atlas), Sawit Swadaya Auriga Nusantara 2020, Data Penerimaan Pajak Sektor Perkebunan Sawit (KLU 01262) Direktorat Jenderal Pajak, Diolah Tim Kolaborasi
NASKAH: Agoeng Wijaya
Anggota panitia kerja RUU HKPD, Hendrawan Supratikno, mengatakan usul tentang dana bagi hasil sawit akan diserap dalam regulasi baru, kendati tidak disebutkan khusus dalam batang tubuh. Usul tersebut akan ditampung dalam penjelasan salah satu pasal. “Diletakkan di dalam penjelasan, bahwa pemerintah dapat mengembangkan skema bagi hasil antara lain untuk kelapa sawit,” ucap Hendrawan pada Jumat, 26 November lalu.
Dalam draf RUU HKPD, peluang adanya pengaturan dana bagi hasil (DBH) sawit tertuang dalam pasal 123 ayat 1. “Selain DBH yang sebagaimana dimaksud pada pasal 111 ayat (1), pemerintah dapat menetapkan DBH lainnya,” begitu bunyi ayat pada pasal tersebut. Adapun dalam draf penjelasan ayat 1 itu tertulis, “Jenis DBH lainnya antara lain berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit.”
Artinya, menurut Hendrawan, jadi atau tidaknya pengaturan dana bagi hasil sawit itu akan sangat bergantung pada kemauan pemerintah dan tekanan parlemen. “Kekuatannya kurang, karena itu ada di penjelasan,” ujar Hendrawan. “Kalau tercantum di batang tubuh, tanpa ditekan pun sudah otomatis jalan.”
Kepala Subdirektorat Dana Bagi Hasil Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Mariana Dyah Savitri mengatakan ada sejumlah pertimbangan sebelum dana bagi hasil sawit diberikan kepada pemerintah daerah. Salah satunya prinsip asal-muasal. Dalam penghitungan PBB perkebunan misalnya, pemerintah harus mengetahui letak kebun tersebut secara jelas untuk memastikan daerah penghasil menerima manfaat yang sesuai.
Prinsip by origin ini rupanya sulit dipenuhi jika dana bagi hasil diambil dari pungutan ekspor sawit. Sebab, ekspor bisa dilakukan di pelabuhan mana pun. Pemerintah sulit melacak dari daerah mana saja bahan baku CPO itu berasal. "Akhirnya daerah yang akan kami sasar untuk jadi penerima malah tidak menerima benefit," ujar Mariana pada Selasa, 2 November lalu. Pelik.
AVIT HIDAYAT
Laporan ini merupakan seri kedua hasil kolaborasi riset dan peliputan pajak sawit Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita, dan Auriga Nusantara yang terselenggara atas dukungan Perkumpulan Prakarsa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo