Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA sangka Tahun Naga ini merupakan tahun kebangkitan tekstil Amerika. - Tanpa proteksi, industri tekstil ini berjuang mati-matian dan dalam tempo lima tahun, kini tampil secara meyakinkan. Kenyataan ini tidak bisa dipandang sebelah mata, tidak hanya oleh Taiwan, Kor-Sel, dan Hong Kong, tapi juga oleh Indonesia. Tahun 1987 bidang industri tekstil Amerika mampu meraih keuntungan bersih sekitar US$ 1,8 milyar. Satu peningkatan mencolok bila dibandingkan tahun 1982 yang hanya bisa menjaring sekitar US$ 850 juta dolar. AS sudah ketinggalan sejak tahun 1980, ketika mulai terjerat tekstil impor, yang volumenya tiap tahun tumbuh sekitar 17%. Tahun lalu saja, ketika dolar merosot, perdagangan tekstil dan pakaian jadi Amerika mengalami defisit sampai sekitar 25 milyar dolar. Separuh dari nilai itu merupakan impor pakaian jadi dan tekstil dari negara-negara yang upah buruhnya murah, seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Indonesia. Menurut Wien Dewanta, koordinator Sekretariat Bersama Industri Pakaian Jadi, jumlah ekspor Indonesia ke Amerika berkisar antara 60% dan 70%. Nilai ekspor tahun 1986 mencapai US$ 800 juta, tapi tahun 1987 diperkirakan naik menjadi US$ 900 juta atau bahkan semilyar dolar. Tapi apakah ekspor itu bisa dipertahankan, terutama kini sesudah AS berhasil dengan restrukturisasi industri tekstilnya? E. Pravinata, manajer umum PT Busana- Rama Textile & Garment, yang mengekspor lebih dari 70% produksinya ke AS, mengatakan, satu-satunya jalan harus ditangani secara profesional. "Pesanan-pesanan sudah terasa semakin ketat, harganya pun menurun." Jika membaca uraian majalah The Economist, terlihat bagaimana kejatuhan industri tekstil Amerika telah ditangani secara besar-besaran. Dalam tujuh tahun terakhir, 417 ribu buruh tekstil di-PHK-kan. Sebagian pabrik ditutup, termasuk bagian pemintalannya. Kapasitas pabrik terpangkas - tidak kurang dari 10%. Di samping PHK dan penutupan pabrik, pergantian manajer juga dilakukan gencar. Efisiensi ditempuh dengan memasang mesin-mesin otomatis. Sejak dua tahun silam tampak pabrik tekstil AS berupaya menangkap mode-mode mutakhir yang digemari konsumen. Hebatnya mereka menyuplai toko-toko berdasarkan pesanan yang tak lebih dari 7.500 yard, dalam jangka pendek, dan tanpa banyak stok. Untuk mendukungnya, jaringan komputer dipasang, demi mengkoordinasikan toko (retailer), pabrik pakaian jadi, sampai dengan pabrik pemintalannya. Jadwal produksinya jadi ketat. Dengan cara itulah, perusahaan seperti "Springs Industries" berhasil menjalankan mesin-mesin di pabriknya sehingga mencapai 95% dari kapasitas terpasang, antara lain memproduksi seprai dan sarung bantal. Maka, tak heran kalau pembeli dari Amerika menawar tekstil di Hong Kong dengan kesan seperti tak butuh. Seperti diungkapkan Pravinata, mereka, selain menawar dengan harga rendah, waktunya pun mendesak. Toh, tidak semua perusahaan ditodong penawaran seperti itu. Dan Liris di Solo, misalnya, malah gembira menerima permintaan tekstil dari,luar negeri. "Sampai-sampai kami kewalahan melayani permintaan itu," ujar Eko Purwanto, humas Dan Liris. Tahun lalu saja Dan Liris sempat mengekspor sekitar 6 juta yard, atau 80% dari produknya, yang sebagian besar dilempar ke Amerika. Ini bukti mengapa Indonesia tidak perlu khawatir, tentu asal tahu kiatnya. Seperti dikatakan Dewi Motik Pramono, yang punya PT Arish Rulan itu. "Saya melihat ada jendela-jendela yang bisa kita masuki," ujarnya. Yang juga penting ialah agar Indonesia memenuhi semua kuota, bukan sekadar berebut sebagian kuota yang laris seperti kemeja pria. Suhardjo Hs., Kastoyo R.(Yogya), Jenny R.S. (Bandung), Yopie H.(Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo