Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA produsen kapas terkemuka di dunia, Amerika dan RRC, diam-diam sedang bertarung memperebutkan pasar Indonesia. Amerika, yang lima tahun terakhir ini menyuplai lebih dari separuh kebutuhan kapas industri pemintalan di sini, sangat khawatir pasarnya terdesak. Apalagi terbetik kabar bahwa Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) akan membeli 50 ribu ton kapas RRC. Bisa dipahami bila kemudian pihak Amerika berusaha bersikap manis. Hari Minggu lalu, dua utusan dari Cotton Inc., misalnya, mendarat di Jakarta. Rencananya, mereka akan menemui sejumlah pengusaha tekstil di sini sambil memberikan beberapa nasihat teknis yang berkaitan dengan soal pemakaian kapas. Lembaga independen tempat petani kapas Amerika bernaung itu, yang didirikan 1966, memang suka memberikan bimbingan bagi para konsumennya. Toh, Charles Lapidus dari Cotton Inc. terus terang mengakui bahwa kunjungannya memang berkaitan dengan usahanya, "Menjaga kelangsungan pembelian kapas Amerika oleh pihak Indonesia " Lembaga ini menganggap industri pemintalan di sini sebagai pelanggan penting, apalagi sesudah beberapa tahun terakhir pembelian kapas dari Amerika cenderung naik. Pada tahun 1979 impor kapas dari Amerika baru 57 ribu ton (68% dari seluruh pembelian), dan tahun lalu impornya sudah mencapai 86 ribu ton (69% dari seluruh pembelian). Tapi di tahun 1983 itu, RRC berhasil memasarkan 10 ribu ton kapasnya di sini. Dan tahun berikutnya naik jadi 16 ribu ton. Kenyataan ini, tentu, cukup mengkhawatirkan Amerika. Delegasi dagang kapas AS, yang mengunjungi Jakarta pertengahan Juli lalu, mengakui bahwa potensi kapas RRC untuk mengubah bisnis perkapasan dan tekstil dunia sangat besar. Produksi kapas RRC, tahun 1984-1985, ditaksir mencapai 6,3 juta metrik ton, atau sekitar 33% dari seluruh produksi dunia. Ternyata, konsumsi industri lokalnya cukup besar: lebih dari separuh produksi kapas itu disedot pasar dalam negeri. Yang bisa diekspor, tahun anggaran lalu, hanya sekitar 261 ribu ton - sisanya dimasukkan sebagai cadangan nasional. Maka, di awal tahun 1985-1986 ini, RRC diperkirakan mempunyai cadangan kapas 4 juta ton lebih (satu juta ton di atas produksi kapas AS tahun anggaran itu), yang siap dilepas ke pasar dunia. Hanya dalam soal mutu agaknya kapas RRC masih di bawah Amerika. Yang menarik, harga kapas eks RRC bersaing. Sayangnya, ketepatannya jadwal pengapalan kapas pesanan masih diragukan. Pengapalan dari Hong Kong ke Jakarta memang hanya makan 10 hari, cukup singkat dibandingkan dari Pantai Barat AS, yang menghabiskan 28-30 hari. Ketepatan waktu tiba kapal itu sangat penting bagi pengusaha untuk mengatur persediaannya. "Kalau kami membeli kapas dari Amerika, kami harus melakukan persediaan untuk masa 2,5 bulan," ujar Musa, presiden direktur PT Damatex. Bagi Damatex, "Persediaan yang bisa kami tolerir sekarang adalah untuk masa 40 hari," ujar Musa, yang juga ketua harian API. Karena itu, pabriknya yang tiap bulan memakan 8 ribu ton kapas tidak mau terlalu bergantung pada Amerika. Perusahaan tekstil terintegrasi ini (dari memintal sampai menghasilkan tekstil dilakukan sendiri) kemudian berusaha membeli kapas RRC. Sayang, kesepakatan harga sulit dicapai. Menurut Musa, mereka sangat sulit menurunkan harga US$ 0,25 per pon (0,454 kg). Namun, Damatex membeli juga kapas jenis Xinjiang (terbaik) sejumlah 100 ton dengan harga US$ 0,625 per pon, yang dikapalkan berangsur mulai Oktober mendatang. Transaksi dengan harga sebesar itu tampaknya dianggap sudah baik mengi-ngat pihak penjual mula-mula membuka penawaran dengan harga US$ 0,68. Selain Xinjiang, pihak penjual juga menawarkan kapas dari Hubei dan Jiangsu, dengan harga lebih rendah. Di luar dugaan RRC, yang sampai tahun 1979 masih dikenal sebagai pengimpor kapas, empat tahun berikutnya sudah mulai mengekspor kapasnya. Robert M. McConnel, konsul pertanian kedubes AS di Jakarta, tampaknya bisa memahami jika para pengusaha Indonesia mulai melirik kapas RRC. Menurut dia, soal harga pada akhirnya merupakan faktor penting dalam perdagangan kapas. Kalau para pengusaha swasta, sebagai pembeli terbesar kapas, ingin memperoleh keuntungan, "Ya . . . mereka pasti berusaha membeli kapas yang lebih murah," katanya kepada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. Kapas Amerika diakui oleh McConnel memang mahal karena upah buruh di sana tinggi, dan nilai dolar makin menguat. Kapas dari daerah California, misalnya, dijual dengan harga US$ 0,6925 per pon, akhir Juli lalu. Kapas dari wilayah Pantai Barat ini, terutama dari lembah San Joaquin, memang jadi andalan utama ekspor Amerika. Kabarnya, tahun lalu, lebih dari separuh kebutuhan kapas Jepang dipenuhi oleh kapas jenis San Joaquin Valley (SJV) Cotton. "Walaupun harganya mahal, Jepang tidak menghentikan pembeliannya," ujar Lapidus dari Cotton Inc. Usaha membuat harga kapas Amerika ini menarik pernah juga ditempuh dengan menawarkan pembelian lewat fasilitas kredit ekspor untuk pembayaran berjangka di atas tiga tahun. Yang tidak menarik, suku bunganya dikaitkan dengan suku bunga di AS atau suku bunga antarbank di London (LIBOR). Selain itu, pembeli juga dikenai biaya sepertiga dan 1% besarnya pinjaman per tahun - sebagai ongkos jaminan. Dari serangkaian kenyataan itu, porsi pembelian kapas RRC tampaknya akan makin menggelembung - sekalipun para pengusaha Indonesia akhirnya baru mau membeli 3.000 ton dari rencana 50.000 ton. Jika dikehendaki, kapas RRC ini sesungguhnya bisa digunakan untuk menekan Kongres AS yang, pekan ini, mulai membicarakan RUU Pembatasan Tekstil/Pakaian Jadi Impor. Sebab, kalau Jenkin Bill itu disetujui, ekspor Indonesia ke sana akan terpangkas 80%. Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo