Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERANG memperebutkan nama Bill board, merk dagang untuk kaset rekaman lagu Barat dan Indonesia, rupanya masih berlangsung cukup seru. Kapak peperangan mula-mula diayunkan PT Indo Semar Sakti, yang mengaku pemakai pertama merk Billboard dan King's Billboard. Klaim dalam iklan di dua koran Jakarta, akhir Agustus itu, perlu dikemukakan karena di pasaran beredar kaset merk serupa dengan kualitas rekaman di bawah standar - dua bulan sebelumnya. Indo Semar agaknya harus menjelaskan posisinya supaya konsumen tidak terkecoh. Yang lebih penting, agar porsi penjualan kaset lagu Barat dan Indonesia Billboard dan King's Billboard, yang diduga mencapai 800 ribu sebulan, tidak terganggu dengan masuknya merk serupa. Konsentrasi perusahaan ini, terutama, memang menghasilkan dan mengedarkan rekaman lagu Barat. Beberapa bulan terakhir, rekaman lagu Indonesia (rock) mulai dimasukinya, dan ternyata album Jarum Neraka itu baik penjualannya. Ada yang iri ? Tidak jelas benar. Yang pasti, usaha Indo Semar itu menyebabkan PT Metro Utama Raya Electronics Industry (MUREI) membuat iklan balasan. Penghasil pita kaset merk HDX ini, dulu bernama Master, balik mengklaim bahwa merk dagang Billboard itu sudah terlebih dulu didaftarkan ke Departemen Kehakiman, 16 Februari 1980, untuk pita kaset, video, magnetik dalam bentuk reel ataupun cartridge. Argumentasi dan bukti-bukti MUREI ternyata menggoyahkan nyali Indo Semar. Buktinya, beberapa hari kemudian Indo Semar memasang iklan permintaan maaf besar-besar. Musyawarah kemudian ditempuh. Sebagai pemegang merk, MUREI tentu saja di atas angin. Pabrikan pita kaset ini ternyata tetap mengizinkan Indo Semar menggunakan merk dagang Billboard, seperti bunyi iklan bersama di Sinar Harapan, pekan lalu. Tapi syaratnya ada: mulai Oktober, Indo Semar harus memakai pita HDX, dan menyingkirkan pita BASF dari rak-raknya. Perdamaian seperti itu harus ditempuh karena MUREI mengancam akan memper-karakan Indo Semar kalau masih saja menggunakan merk dagangnya. Selain itu, pabrikan ini juga akan membanjiri pasar dengan kaset lagu yang memakai merk Billboard. Dan, siapa tahu, suatu saat nanti keluar rekaman lagu-lagu dangdut. Jika itu terjadi, "Pasaran bisa kacau, dan konsumen serta pengecer bisa bingung," ujar Wijanarto, direktur Indo Semar. Supaya mereka tidak bingung, sejak itu MUREI setuju tidak lagi mengedarkan hasil rekamannya. Selesai? Belum. Sebab, di situ ada pihak yang kesodok: BASF. Dari Indo Semar, PT BASF Indonesia kehilangan pasar bagi 800 ribu pita kaset kosongnya setiap bulan. Jumlah ini kira-kira hampir sama dengan 23% dari seluruh penjualannya tiap bulan, yang mencapai 3,5 juta pita kaset kosong. Danny Jozal, direktur pemasaran BASF, mengaku "cukup sempoyongan karena kecolongan pasar yang cukup lumayan". Persaingan antara kedua penghasil pita itu memang sudah berlangsung lama. Semula, di tahun 1970-an, pasar pita kaset di sini boleh dikata dikuasai MUREI (khusus untuk lagu Indonesia), Maxell (untuk lagu Barat), dan sisanya dibagi antara pabrikan-pabrikan kecil. Peta mulai berubah ketika tahun 1977 BASF memasuki pasar, dan mulai mendekati para perekam lagu Barat. Sejak mulai bisa menancapkan kukunya, PMA dari Jerman Barat ini secara berangsur mendongkrak penjualannya dan mencoba mengekspor produksinya. Pasarnya meluas sesudah PT Alpha One, perusahaan pengganda kaset rekaman, juga banyak memakai pita merk ini. Supaya para perekam tadi betah memakai merk itu, sudah tiga kali ini para produser dan penyanyi diundang ke Jerman Barat, mengunjungi obyek wisata dan pelbagai pabrik BASF di sana. MUREI tentu tak ingin pasarnya digerogoti. Ia, misalnya, membantu memikul separuh dari biaya promosi yang dikeluarkan para perekam dalam mengampa-nyekan lagu-lagu barunya. Sebuah perusahaan perekam, yang paling banyak menggunakan pita HDX, bahkan diberinya bonus Rp 30 untuk setiap pita kaset yang dibelinya. Potongan Rp 10 juga diberikannya untuk perekam yang membeli di atas 100 ribu. Sejauh ini memang hanya JK Records yang paling besar menyerap produksinya - sekitar 500 ribu setiap bulan - dari dua juta kaset setiap bulan itu. Mungkin karena kualitas suara yang dihasilkan berbeda, harga kaset kosong masing-masing pabrik itu jauh berbeda. HDX I misalnya dijual ke perekam Rp 360, sedangkan BASF Ferro Extra Rp 500. Lalu HDX II dijual Rp 420, dan BASF Ferro Super Rp 700. Supaya biaya bisa ditekan, penggandaan rekaman biasanya dilakukan perusahaan lain. Alpha One, misalnya, mengutip Rp 485 Per kaset. Nah, dari situ kelihatan jelas, pindahnya Indo Semar memakai HDX akan banyak menghemat biaya pokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo