Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Diplomasi Naga Di Tahun Macan

Impor minyak Jepang dari Indonesia semakin menurun jepang mencari pengganti, perjanjian ditangani karena RRC gencar memasarkan minyak ke Jepang.

18 Januari 1986 | 00.00 WIB

Diplomasi Naga Di Tahun Macan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BERBEDA dengan ramalan Kishocho (Badan Meteorologi Jepang) yang diumumkan pada musim gugur tahun yang silam, musim dingin di Negeri Sakura awal tahun ini terasa menggigit. Kabar baik buat Indonesia? Mestinya begitu. Tapi data-data yang dikumpulkan koresponden TEMPO di Jepang, tampaknya, tak akan membuat Jepang meningkatkan jumlah impor dan konsumsi minyaknya. Meskipun, sebenarnya, lebih mudah bagi Jepang untuk memborong minyak, kalau mereka mau, karena mata uang yen yang meningkat keras terhadap dolar AS. Beberapa suara di kalangan perminyakan di Tokyo malah memperkirakan ekspor minyak dari Indonesia ke Jepang, selama tahun 1985 yang baru kita lewati, berkurang karena selalu disaingi oleh minyak dari RRC yang kurang lebih semutu dengan minyak jenis Mingas. Meskipun belum siap mengumumkan statistik resmi tentang jumlah impor minyak Jepang pada tahun kalender 1985, menurut Japan Natural Resources and Energy Agency - sebuah lembaga di bawah MITI - jumlah minyak mentah yang diimpor awal Januari sampai dengan akhir Desember 1985 bisa dipastikan, berada jauh di bawah angka 200 juta kiloliter. Selama periode Januari sampai dengan November 1985, Jepang hanya mengimpor 180 juta kiloliter, dan pada bulan berikutnya ada tambahan sekitar 17 juta kiloliter. Jumlah impor di tahun 1984 masih mencapai 206 juta kiloliter, atau 16 juta kiloliter lebih banyak dari impor total di tahun yang baru lewat. Gambaran impor minyak yang menurun ini baru pertama kali terjadi sejak 1970. Waktu itu impor total minyak oleh Jepang mencapai 195 juta kiloliter. Sewaktu pecah kejutan minyak yang pertama, Oktober 1973, impor minyak Jepang membubung cepat, hingga mencapai 286 juta kiloliter. Tapi angka itu menurun sekali setelah kejutan minyak kedua, 1981, rata-rata sekitar 210 juta kiloliter setahun sampai akhir 1984. Berkurangnya impor minyak sebenarnya akibat beleid pemerintah Jepang yang tak ingin lagi negerinya bergantung sekali kepada itu emas hitam. Maka, Jepang amat berusaha mencari sumber energi yang lain, seperti tenaga atom, batu bara, dan LNG. Berbagai industri, terutama perusahaan-perusahaan pembangkit listrik di Jepang, belakangan ini makin mengurangi pembelian minyak mentah sebagai sumber pembangkit listrik. Selama delapan bulan, antara April dan November 1985, konsumsi minyak perusahaan listrik berkurang banyak, hingga 15,5 persen, dibandingkan konsumsi minyak mentah mereka dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Kalau ditelusuri lebih dalam, maka penggunaan jenis minyak berat, yang biasanya paling disukai oleh perusahaan-perusahaan pembangkit listrik tadi, turun lebih tajam. Menurut data MITI, dalam kurun waktu delapan bulan di atas, impor minyak berat oleh Jepang berkurang 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun 1984. "Dan kecenderungan yang makin menurun itu akan terus berlangsung di tahun-tahun berikutnya," kata sebuah sumber perminyakan di Tokyo. Jepang tampaknya akan semakin bergantung pada tenaga atom yang relatif jauh lebih murah. Selama tahun 1985 saja, sebanyak lima stasiun pembangkit listrik bertenaga atom dibangun di Jepang. Akan halnya aliran minyak dari negeri Deng Xiao-ping, yang selalu membanting harga satu dolar lebih rendah dari minyak kita, dengan sendirinya semakin mendapat angin di antara para pembeli minyak di Jepang. Begitu gencar mereka memasarkan minyaknya ke Jepang, sehingga, seperti kata beberapa sumber minyak di Tokyo, mulai terasa sebagai "ancaman" bagi Indonesia daripada "saingan". Suatu perjanjian antara Jepang dan RRC, yang baru saja ditandatangani awal tahun ini, menyatakan kesediaan Jepang untuk mengimpor lebih banyak minyak mentah dan batu bara dari RRC. Menurut perjanjian baru tersebut, selama lima tahun berturut-turut sejak 1986, jumlah impor minyak dari RRC akan mencapai 8,8-9,3 juta ton per tahun, dan impor batu bara 3,7-4,1 juta ton per tahun. Sebelumnya, yang juga diikat dengan perjanjian antara pemerintah Tokyo dan Beijing, impor itu berkisar 8 - 8,6 juta ton untuk minyak. Konon, pihak Jepang sendiri tadinya tak ada niat untuk membeli lebih banyak minyak dari RRC, apalagi batu bara. Tapi rupanya beberapa utusan dari Peking melakukan serentetan perundingan, yang, oleh sebuah sumber di Tokyo yang mengetahui, digambarkan cukup "gencar". Mereka, demikian sumber tadi, terus saja ngotot, dan senantiasa menyodorkan perbandingan perdagangan bilateral antara kedua negeri, yang membawa defisit sangat besar bagi RRC, rata-rata 500 juta dolar setiap bulan. Ini didukung oleh statistik departemen keuangan Jepang: Selama Januari-November 1985, defisit perdagangan RRC terhadap Jepang mencapai 5,4 milyar dolar, demikian menurut statistik resmi pemerintah Jepang. Alkisah, diplomasi yang disemburkan sang naga dari Peking, akhirnya, berhasil membuahkan keuntungan yang lumayan: Jepang bersedia menambah sekitar 10 persen impor minyak dari RRC. Kalangan importir minyak di Tokyo percaya, tambahan 10 persen tadi dilakukan pihak Jepang dengan mengurangi pembelian dari Indonesia sebanyak itu pula. Sebab, menurut mereka, Jepang tak akan membeli lebih banyak minyak dalam tahun ini. Fikri Jufri Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus