PEJABAT yang paling lega menyambut RAPBN 1986-1987 tampaknya baru Kepala Bulog Bustanil Arifin. Maklum, di saat banyak departemen dan instansi pemerintah mengalami penyunatan anggaran, Bulog justru akan mendapat injeksi dana Rp 417 milyar lebih. Dana sebesar itu, kata Presiden Soeharto mengantar nota keuangan dan RAPBN 1986-1987 pekan lalu, akan digunakan untuk membiayai pengadaan cadangan beras satu juta ton berikut membayar beban bunganya. Dengan demikian, pengadaan seluruh cadangan beras yang sebelumnya harus dibiavai kredit dari Bank Rakvat Indonesia (BRI), untuk 1986--1987 itu, sebagian pembiayaannya akan dipikul APBN. Kalau dananya ada, pembiayaan bagi cadangan beras yang sekarang berjumlah dua juta ton itu, seluruhnya harus ditanggung pemerintah - sementara Bulog hanya dibebani urusan pembiayaan pengadaan beras untuk keperluan operasional saja. Artinya, Bulog kelak hanya akan mengurusi pengadaan beras rutin untuk pegawai negeri, ABRI, maupun operasi pasar. Bagi Bulog, pengambilalihan sebagian pembiayaan cadangan beras itu tentu akan banyak membantu, mengingat sampai kini kebutuhan dana untuk pengadaan beras 3,5 juta ton seluruhnya ditutup dengan kredit BRI. Sampai Desember 1985 lalu, jumlah kredit yang diberikan bank ini ke Bulog sudah mencapai Rp 1,487 trilyun, dan akan jatuh tempo 1 April mendatang. "Tapi setiap bank dengan nasabah bisa mencapai persetujuan untuk memperpanjang pinjaman itu," ujar Direktur Utama BRI Kamardy Arief, seperti memberi isyarat. Menurut catatan pihak penyedia dana sampai kini Bulog belum tampak menghadapi kesulitan dalam mengembalikan pinjaman dan membayar bunga, sekalipun Bustanil pernah mengeluhkan akan besarnya suku bunga yang 6% itu. Di masa lalu, Bulog dikenal tidak pernah lambat membayar bunga Rp 9 milyar sebulan untuk pengadaan beras, gula, dan kedelai. "Tunggakannya hampir bisa dikatakan nol," kata Kamardy kepada wartawan TEMPO Yusroni Henridewanto. Tapi ledakan produksi beras, yang terjadi dua tahun terakhir ini, rupanya cukup mengkhawatirkan Bustanil Arifin. Di luar perkiraan banyak ahli, pada 1984, produksi beras mencapai 25,8 juta ton atau hampir 29% di atas produksi sebelumnya. Kemudian, tahun lalu, produksinya meningkat lagi jadi 26,3 juta ton. Tidak semua produksi beras ini habis dikonsumsi. Karena itu, Bulog, yang biasanya hanya menjadi penyalur beras Impor, cukup kelabakan ketika harus menampung banyaknya beras sisa konsumsi yang di luar perkiraannya. Apa boleh buat, gara-gara daya tampung gudang Bulog dan swasta terbatas, maka Bulog meminta KUD agar memperketat persyaratan pembelian beras dan gabah dari petani. Tidak ada perubahan persyaratan, memang, tapi ditolaknya ribuan ton gabah kering giling itu menyebabkan petani harus melepas hasil panennya di bawah harga dasar yang Rp 175 per kg. Untuk sementara Bulog bisa mengurangi tekanan terhadap penyediaan dana dan gudangnya. Sampai Desember lalu, untuk tahun anggaran 1985-1986, Bulog sudah membeli gabah dan beras 2.020 ribu ton. Jumlah kredit yang diambil untuk pengadaan beras sampai April nanti dianggarkan Rp 767 milyar. Tahun anggaran lalu, pembelian berasnya berjumlah 2.492 ribu ton, dan kredit yang diperlukan disitu sekitar Rp 777 milyar. Nah, supaya Bulog bisa menekan biaya, konon menyimpan lebih banyak beras bisa menghemat ongkos. "Tapi risikonya besar, sebab beras itu tidak tahan lama," kata H.M. Dahrif Nasution, Ketua Komisi VII DPR. Bulog tampaknya berusaha menempuh cara itu dengan menyimpan beras dalam kemas hampa sesudah diproses melalui pabrikasi di Sidoarjo. Upaya lain untuk mengurangi tekanan gudang dan menghemat pemakaian modal kerja juga dilakukannya dengan mengeluarkan beras impor. Tempatnya kemudian digantikan beras lokal, yang harganya tentu lebih mahal. Jadi, tidak heran, dalam usaha memutar cadangannya itu, kebutuhan kredit Bulog naik terus. Dan Bustanil mulai mengkhawatirkan pembelian beras dengan dana pinjaman itu pada akhirnya akan memojokkan Bulog. Pemerintah rupanya menyadari posisi Bulog terakhir itu. Menurut Kepala Negara, memang masih bisa dianggap wajar bila pengadaan beras untuk kepentingan rutin dibiayai dengan pinjaman bank. "Tapi sekarang, dengan cadangan beras yang makin besar, maka tidak mungkin lagi dibebankan pada kredit perbankan. Sebab, selain akan membebani Bulog dengan bunga bank yang makin besar -- yang akibatnya juga akan menaikkan harga beras dari Bulog - juga akan mengurangi kemampuan bank dalam memberikan kredit untuk sektor-sektor lainnya," kata Presiden Soeharto. Jadi, pemerintah memang harus mengambil alih sebagian tanggung jawab itu. Kata Kamardy Arief, tindakan itu lazim dilakukan sejumlah negara maju untuk memelihara cadangan penyangga guna menjamin kalau ada paceklik mendadak sewaktu-waktu. "Bahkan Jepang kabarnya melakukan hal ltu dengan menyimpan berasnya di bawah laut," katanya. Bagi pemerintah upaya itu memang sangat mahal, karena menyebabkan pengeluaran rutin bertambah banyak. Yang menjadi soal, mungkin, jika kelak beras yang harus dibeli untuk cadangan makin banyak, haruskah dana dari APBN juga dinaikkan. Untuk mengurangi ongkos, apakah tidak mungkin suku bunga diturunkan? Kalaupun bunga diturunkan, jawab Menteri Keuangan Radius Prawiro, hasil penghematannya tidak bisa digunakan untuk menutup kebutuhan dana bagi pembelian beras itu. "Suku bunganya 'kan cuma 6% setahun," katanya. Maka, secara sederhana bisa dikatakan, untuk mencapai swasembada beras itu, yang harus dibayar masyarakat memang tidak murah. Segala dana dan daya, baik lewat penyediaan pupuk bersubsidi maupun perbaikan irigasi, sudah dilakukan guna menjangkau cita-cita tadi. Sebagai penyedia pembiayaan, BRI tentu harus siap-siap di depan lacinya. Berapa besar Bulog tahun 1986--1987 akan membeli beras akan bergantung sepenuhnya "Pada daya tampung gudang Bulog," kata Dirut BRI Kamardy. Mudah-mudahan tidak banyak lagi beras yang harus diangin-angin di tempat terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini