Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maraknya peredaran daging ilegal menjelang Lebaran membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara. Tak tanggung-tanggung, dia menyampaikan unek-unek di kantor Menteri Pertanian Suswono.
Yudhoyono memerintahkan agar impor daging sapi, juga sapi potong, yang melanggar hukum dibasmi. "Kementerian Pertanian harus melakukan investigasi," katanya seusai sidang kabinet di gedung Kementerian Pertanian, Senin sore pekan lalu.
Kepolisian dan Kementerian Perdagangan tak luput dari tugas mengenyahkan impor haram tadi. Kalangan pengusaha juga diminta menghentikan kebiasaan mengimpor barang ilegal. "Kami capek-capek mengatur kebijakan, anggarannya. Kemudian ada yang ilegal."
Suswono, yang berdiri di dekat Presiden, tak bereaksi. "Kami siap melaksanakan arahan Bapak Presiden, bekerja sama dengan kepolisian," katanya seusai acara.
Penjelasan Suswono agak berbeda dengan empat hari sebelumnya. Kepada Tempo, yang menemuinya di rumah dinasnya di kompleks Perumahan Menteri, Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan, dia berkeras belum mengetahui maraknya peredaran daging sapi asal India di pasar. Suswono mengaku belum menerima laporan dari bawahannya. "Saya baru dengar dari Anda," ujarnya di sela-sela acara buka puasa bersama itu.
Ketika Tempo mengulang pertanyaan, Suswono langsung menyergah, "Saya belum mendapat laporan, bagaimana?" Dia hanya meminta masalah daging India ditanyakan kepada bawahannya, yakni Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Syukur Iwantoro dan Kepala Badan Karantina Banun Harpini.
Impor daging dari India melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Beleid ini hanya mengizinkan impor dari negara-negara yang bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak serta sapi gila (mad cow). India tak bebas kedua penyakit itu.
Indonesia sendiri baru merdeka dari PMK setelah 100 tahun dengan kerugian begitu besar. Adapun penyakit sapi gila, yang dikenal dengan sebutan bovine spongiform encephalopathy, menyerang otak manusia dengan membuat perlubangan di jaringan otak. Pemerintah lantas memutuskan hanya mengimpor daging sapi dari Australia dan Selandia Baru (baca: "Agar Sapi Tetap Bergizi").
Sejumlah importir dan distributor daging di Jakarta sudah mengeluhkan beredarnya daging India di pasar sejak menjelang Ramadan. Namun Banun memastikan Jakarta dan sekitarnya bebas daging India. "Tak ada di Jakarta. Sudah kami periksa," ujarnya mantap kepada Tempo akhir Juli lalu. Tapi, dia mengakui, daging India jamak beredar di Sumatera.
Banun menjelaskan, pada April lalu, kementeriannya memusnahkan 6 ton daging dan sebulan kemudian 12 ton lagi dibakar di Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Ia mengakui, dalam beberapa tahun terakhir, terutama menjelang Hari Raya, banyak daging ilegal yang masuk dari pelabuhan-pelabuhan di Tarakan, Kalimantan Timur; Dumai, Riau; dan Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Ia menampik anggapan bahwa daging India dikemas dengan menyaru kemasan daging Australia.
Badan Karantina menyisir beberapa lokasi dan pasar di daerah-daerah rawan itu. Petugas menemukan daging India di rumah penduduk dekat laut di Tarakan. Pengetatan pemeriksaan dilakukan di pintu-pintu masuk, meliputi dokumen, fisik, dan uji laboratorium.
Wilayah-wilayah yang diketatkan pengawasannya meliputi perairan Sumatera Utara, Riau, Sumatera Timur, Bakauheni, Cilegon, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Tarakan. Kepolisian Tebingtinggi, Sumatera Barat, pun memusnahkan 359 kotak daging sapi asal India yang masuk via Malaysia seberat 7,9 ton pada 3 Juli lalu.
Seorang distributor di Cengkareng, Jakarta Barat, menunjukkan seonggok daging kepada Tempo. "Daging India ini sudah beredar sejak awal bulan puasa," katanya akhir Juli lalu. Ia menerangkan, kemasan daging India berbeda dengan kemasan daging lokal dan daging asal Australia atau Selandia Baru.
Biasanya daging India dikemas dengan kantong plastik transparan disertai cap dan angka Arab. Adapun kemasan daging lokal polos tanpa cap tapi disertai rekomendasi halal dari Majelis Ulama Indonesia di daerah pemotongan. Kemasan daging impor Australia/Selandia Baru berupa kardus yang sangat rapi dilengkapi merek dan barcode. "Orang awam sulit membedakan fisik dagingnya. Tapi pemain daging pasti tahu," kata si distributor, yang tak mau disebut namanya.
Daging India yang ditunjukkan itu jenis 95 CL, yakni tetelan daging bagian paha depan dan paha belakang dengan kandungan lemak 5 persen. Jenis ini berharga murah dengan pengguna kalangan industri dan masyarakat kalangan bawah. Sementara harga daging sampil (chuck atau blade) Rp 75-85 ribu per kilogram, harga 95 CL Rp 65-70 ribu.
Seorang importir membisikkan, daging India itu sesungguhnya daging kerbau, bukan sapi. Dia menunjuk serat daging yang tebal dan warnanya yang lebih gelap. Daging India itu diperolehnya dari sebuah gudang di Pulogadung, Jakarta Timur, pertengahan Juli lalu. Harganya Rp 63 ribu per kilogram, padahal di pasar harga daging Rp 75-85 ribu. Maklum, sudah memasuki Ramadan. "Saya menyuruh orang pura-pura beli," katanya.
Rencana kedatangan daging India sudah tersebar sejak Maret lalu di kalangan pedagang daging. Ia bahkan mendapat kepastian dari seorang distributor besar bahwa pada akhir Mei akan datang dua kontainer daging (24 ton) dari Medan. "Dia bilang, kalau penjualan bagus, jumlahnya akan ditambah."
Sejumlah importir mencurigai pemain utama dalam peredaran daging India adalah Basuki Hariman, pemilik beberapa perusahaan importir daging, antara lain CV Sumber Laut Perkasa. Sejumlah distributor yang menjadi rekanan penyebaran daging India juga diketahui "orang dekat" Basuki.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) periode 2003-2008 ini pernah terjerat masalah serupa pada akhir 2004. Ketika itu terungkap bahwa ribuan ton daging yang diimpor dari Amerika Serikat ternyata berasal dari India. Tapi kasusnya dipetieskan dan Basuki masih dipercaya sebagai importir resmi Kementerian Pertanian.
Basuki enggan menanggapi tudingan miring itu. "Tak usah ditanggapi," ujarnya Rabu pekan lalu. Ia menuturkan gudang miliknya sudah diperiksa tiga kali sejak pekan lalu. Hasilnya? "Tak ada temuan daging India." Pemilik PT Rita Jaya Beef di Cengkareng, Jakarta Barat, Agus Kholik, membantah berkongsi dengan Basuki menjual daging India. "Bisa dicek ke gudang," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Agus hanya mengakui berbisnis daging legal dengan Basuki. "Kadang kalau ada barang, (ambil dari Basuki) satu-dua kontainer," ucap Agus. Sumber Tempo di Bea dan Cukai menuturkan adanya pemain baru daging, baik lokal maupun asal India. "Dulu memang Basuki, sekarang ada orang lain," katanya.
Serbuan daging India diduga dipicu oleh program pemerintah mengurangi kuota impor daging sapi. Pemerintah menargetkan pengurangan volume impor secara bertahap. Pada 2010, impor masih 50 persen dari total kebutuhan, lalu secara bertahap dikurangi. Tahun berikutnya impor sebanyak 30 persen dari total kebutuhan, sedangkan pada 2014 ditargetkan impor turun hingga di bawah 20 persen. "Saya optimistis semua ini akan tercapai asalkan produksi dalam negeri meningkat," kata Presiden Yudhoyono pekan lalu.
Meski begitu, Kementerian Pertanian mengklaim pasokan daging tak berkurang, justru bertambah. Lonjakan harga daging murni karena psikologi pasar dan situasi pangan dunia. Menurut Syukur Iwantoro, stok daging impor sisa semester I per 26 Juli 2012 sebanyak 694 ton. Jumlah ini belum termasuk alokasi semester II sebesar 8.000 ton, yang baru sebagian kecil masuk pelabuhan. "Sebagian lagi dalam perjalanan," katanya. Pemerintah pun telah mengalokasikan tambahan impor daging 7.000 ton untuk industri. Sedangkan impor sapi bakalan di tempat penggemukan sebanyak 124.027 ekor dan pasokan sapi lokal 25.750 ekor.
Aspidi mengajukan data lain, yang juga mengacu pada statistik dari Kementerian Pertanian. Konsumsi daging per kapita 2,46 kilogram per tahun sehingga kebutuhan daging nasional 484 ribu ton setahun. Angka ini belum memperhitungkan konsumsi orang asing di Indonesia, seperti pekerja, turis, lembaga internasional, dan diplomat, yang mengkonsumsi daging lebih banyak ketimbang orang Indonesia. "Sehingga kebutuhan riil nasional sekitar 540 ribu ton per tahun," ujar Ketua Umum Aspidi Thomas Sembiring, Kamis pekan lalu.
Rata-rata impor daging per bulan 7.000 ton. Pada semester II tahun ini semestinya impor 42 ribu ton ditambah 7.000 ton untuk memenuhi kebutuhan Idul Fitri, Natal, dan akhir tahun. Faktanya, kuota semester II tinggal 8.300 ton lantaran sebagian sudah diambil pada semester I. "Minusnya 40.700 ton," ucap Thomas.
Agus Kholik memberi acungan jempol kepada niat pemerintah untuk swasembada daging. Namun ia menilai momentumnya kurang pas jika program pengurangan impor diberlakukan seketika. Agus berharap program ini dilaksanakan selangkah demi selangkah. "Kuota impor justru mendesak untuk ditambah."
Saat ini, menurut Agus, pasokan daging masih ada meski jumlahnya tak fantastis. Pada saatnya nanti, stok daging akan dikeluarkan seiring dengan kebutuhan masyarakat. Tentu dengan harga lebih tinggi. Agus menampik tengah terjadi penimbunan daging. "Bukan penimbunan. Pada akhirnya harga yang bicara," katanya.
Seorang importir menuturkan, jika pemerintah ingin swasembada sapi, semestinya Kementerian Pertanian tidak memberlakukan sistem kuota impor untuk para pengusaha. "Seharusnya transparan. Yang terjadi sesungguhnya adalah jual-beli kuota," ujar pria yang menolak dikutip namanya ini.
Kalaupun pemerintah tetap berpegang pada kuota, seharusnya dibagi rata berdasarkan kemampuan tiap perusahaan. Ia mencontohkan, harga daging di Indonesia mencapai Rp 80 ribu per kilogram, tapi di Australia harganya hanya Rp 50 ribu. Dalam keadaan kesulitan pasokan seperti sekarang, ia tak menyalahkan jika pengusaha memasukkan daging India, yang harganya lebih murah. "Semua orang kan butuh hidup," ucapnya.
Sistem kuota dinilainya menciptakan pengusaha bandel. Ia menyebutkan kebanyakan daging India masuk dari Malaysia lewat Sumatera. Setelah kebutuhan di sana terpenuhi, barulah daging mengalir ke Jakarta. Kementerian Pertanian juga memiliki temuan yang sama. "Di Malaysia tak ada ketentuan yang melarang impor daging dari India," kata Banun Harpini. Sebanyak 7,9 ton daging India bermerek Allana yang disita kepolisian Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 22 Juni lalu juga masuk lewat Malaysia.
Seorang importir yang getol melawan peredaran daging India ragu daging yang beredar di Jakarta datang lewat jalan darat dari Medan atau wilayah lainnya di Sumatera. Daging sebanyak 24 ton yang sejak Mei lalu dikabarkan masuk Jakarta harus berkali-kali diangkut jika menggunakan truk, yang berkapasitas 6-7 ton.
"Saya curiga daging masuk lewat Pelabuhan Tanjung Priok," ujarnya. Modus agar daging India bisa lancar jaya masuk Indonesia antara lain dengan memalsukan dokumen impor. "Di dokumen ditulis impor itik atau ikan," kata importir lainnya.
Jobpie Sugiharto, Retno Sulistyowati, Eka Utami, Rosalina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo