Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Maksud hati masuk SMP, hilang ...

Sekitar 2000 murid madrasah ibtidaiyah di lamongan batal ikut ebtanas sd sebagai syarat diterima di smp. korban keteledoran administratif dan peraturan baru. kasus tersebut sudah sampai ke dprd lamongan.

20 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CITA-cita Amir Mahmud terpaksa kandas tahun ini. Murid Madrasah Ibtidaiyah Ma'arif di Babat, Lamongan, Jawa Timur, ini sudah lama ingin duduk di SMP. Ia telah merasa lulus dalam ujian negara madrasahnya. Untuk masuk ke SMP, sekolah umum yang setingkat madrasah tsanawiyah itu, Amir harus mengikuti Ebtanas SD. Memang demikianlah peraturan yang berlaku sejak 1985. Tapi bila tahun ajaran baru dimulai pertengahan Juli nanti, di SMP mana pun di Lamongan, baik swasta maupun negeri, Amir tak akan duduk menjadi siswa di situ. Ia akan masuk di salah satu madrasah tsanawiyah di Babat. Bukannya murid ini tak lulus Ebtanas SD, hak untuk ikut Ebtanas pun ia tak punya. Padahal, ia telah mendaftar sebagai peserta dengan membayar Rp 2.250 - Rp 250 adalah sumbangan administrasi pendaftaran. Sudah mengisi formulir sudah pula menyerahkan pasfoto yang diperlukan . Inilah pertama kali ketentuan - murid madrasah harus ikut Ebtanas bila ingin masuk SMP, dan sebaliknya murid sekolah umum harus pula ikut ujian negara madrasah bila ingin masuk sekolah agama - minta korban. Bukan cuma Amir. Di seluruh Kabupaten Lamongan sekitar 2.000 murid madrasah ibtidaiyah senasib Amir. Memang, bukan ketentuan yang berupa Surat Edaran yang diteken oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P & K dan Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama yang jadi sebab langsungnya. Hal ini sebenarnya sudah tercium, ketika menjelang Ebtanas yang diadakan pertengahan Mei lalu, petugas dari Madrasah Ibtidaiyah mau mengambil nomor Ebtanas murid-muridnya ke Kantor Departemen P & K Kabupaten, yang diperoleh jawaban yang mengejutkan. "Saya kaget, ketika mengambil nomor ujian anak-anak, oleh petugas dijawab terselip," kata M. aqih, Kepala Madrasah Ibtidaiyah Ihyaul Ulum. Ia mengaku tak bisa berbuat banyak. "Mau bagaimana lagi, kecuali memberikan penjelasan kepada wali murid?" Di permukaan, kecelakaan yang mengorbankan cita-cita ribuan murid ini tampak sebagai keteledoran administratif belaka. Yaitu, tahun ini merupakan tahun pertama bagi Penilik Pendidikan Agama Islam (PPAI) Kecamatan, Kantor Departemen Agama Kabupaten Lamongan, mengurus ikut sertanya murid madrasah ibtidaiyah menjadi peserta Ebtanas SD. Di samping belum memahami benar liku-likunya, PPAI harus pula menghadapi madrasah yang lambat menyetorkan daftar kolektif murid-muridnya. Sehingga, ada berkas yang tertinggal, atau malah terselip. "Sungguh memprihatinkan. Ini menyangkut masa depan anak," kata Salis Fahmi kepada TEMPO. Padahal, sebelumnya, urusan ini dipegang oleh Lembaga Ma'arif, dan tak ada masalah. Salis kini sedang mengumpulkan data, berapa persisnya siswa MI yang gagal ikut Ebtanas. Tak pelak lagi Kantor Departemen Agama Kabupaten Lamongan jadi sasaran. Tapi Kepala Kantor, Su'adi Asikin, menutup pintu kantornya rapat-rapat. Pertanggungjawaban dari kantor ini hanya berupa pernyataan tertulis, ditandatangani oleh Soekamdi, Kepala Subbagian Tata Usaha atas nama Kepala Kantor. Isi surat, "Pelaksana Ebtanas itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depag hanya sekadar mengkoordinasikan. Depag tidak punya wewenang menerima dan menolak." Kekisruhan itu, "karena salah mereka sendiri yang lalai akan jadwal pendaftaran." Soal jadwal dan keterlambatan memang diakui oleh madrasah-madrasah itu. Jelasnya, daftar kolektif sudah harus masuk selambatnya 29 November tahun lalu. Repotnya, pemberitahuan itu baru sampai sekitar tiga hari sebelum penutupan. Keruan saja para kepala madrasah ibtidaiyah kelabakan, terutama yang jauh dari Lamongan. Dan akibatnya, itulah. Tercecernya 2.000an murid dari sekitar 5.000 murid madrasah ibtidaiyah kelas VI di seluruh Kabupaten Lamongan, meski jadwal sempat diundur sampai Maret. "Mereka tetap tidak bisa melengkapi persyaratan," kata sebuah sumber di Kantor Departemen Agama Kabupaten. Repotnya, pihak madrasah merasa sudah memasukkan daftar sesuai dengan pengunduran jadwal. "Semua persyaratan sudah kami penuhi," kata Faqih dari Madrasah Ihyaul Ulum. Tak enaknya lagi, menurut sumber di sebuah madrasah di Babat, uang pendaftaran yang dikembalikan cuma Rp 2.000 sesuai dengan ketentuan Kantor Departemen P & K Lamongan. Tak jelas ke mana kelebihan pendaftaran yang Rp 250 per orang itu. Kepada wartawan TEMPO, Indrayati Menteri P & K Fuad Hassan memprihatinkan keteledoran ini. Ia akan menanyakan lebih terinci ke Jawa Timur. Namun, sejauh ini, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur merasa kasus ini "bukan tanggung jawab kami," kata Waloejo, Kepala Kanwil. Data sejumlah siswa madrasah calon peserta Ebtanas dari Kabupaten Lamongan memang tidak sampai ke pihaknya. Menarik, mendengar pengalaman Hadi Soesilo, Kepala Madrasah Nurul Ulum, Babat. "Bayangkan, dua bulan sebelum ujian semua peryaratan sudah masuk ke PPAI," kata Hadi, 26 tahun, mahasiswa tingkat akhir Universitas Putrajaya, Surabaya. Tapi dia baru tahu bahwa 22 murid Nurul Ulum ternyata tak masuk daftar peserta Ebtanas, seminggu sebelum ujian negara itu dimulai. Sebenarnya, bila kini murid-murid yang ingin masuk sekolah umum itu terpaksa meneruskan ke madrasah tsanawiyah (madrasah setingkat SMP), tak tertutup kemungkinan untuk masuk ke SMA setelah mengikuti Ebtanas SMP tiga tahun lagi. Masalahnya, di SMA persaingan tentu lebih ketat. Soal lain, ini bukan suara baru, tapi telah terdengar ketika ketentuan Ebtanas mulai diterapkan dua tahun lalu: berat bila harus mengikuti ujian negara tsanawiyah untuk kemudian mengikuti lagi Ebtanas (TEMPO 19 Januari 1985). Kandasnya cita-cita Amir dan kawankawannya ini kini telah sampai ke DPRD Lamongan. Kata H. Djuwari, ketuanya, "Ini soal masa depan generasi. Tidak boleh dibiarkan berlarut-larut." Ia akan segera menanyakan ke Kantor Departemen Agama. Yusroni Henridewanto, Laporan Choirul Anam (Biro Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus