SESUDAH berhasil ditekan selama beberapa bulan terakhir ini,
inflasi pada bulan Juli kemarin tiba-tiba melonjak menjadi
1,54%. Ini satu tingkat yang tertinggi sejak Januari. Dengan
demikian inflasi selama tahun ini sampai Juli sudah mencapai
6,4%. Jadi masih lebih rendah dari tingkat 9,6% selama periode
yang sama tahun lalu. Dan tingkat pertahun juga sudah turun dari
12,2% pada bulan Mei, menjadi 10,9% Juli ini.
Faktor utama di belakang lonjakan inflasi bulan Juli tersehut
ternyata kenaikan sebagian besar harga bahan makanan. Dari 29
bahan makanan yang terdapat dalam indeks 62 bahan dan jasa, 22
bahan makanan naik harganya, 6 tak mengalami perobahan harga,
dan hanya harga minyak kelapa yang turun. Harga beras naik
dengan 0,2% dan harga beberapa bahan pokok lainnya seperti gula,
teh, daging, susu naik antara 2 - 3% Kopi dan telur bahkan naik
dengan hampir 8%.
Sementara kalangan menduga kenaikan harga ini disebabkan karena
dihapuskannya "pungli" yang ironisnya justru menaikkan biaya
pengangkutan. Dan naiknya biaya pengangkutan ini juga agaknya
yang merupakan penyebab kenaikan indeks harga bahan-bahan
lainnya: indeks harga bahan pakaian naik dengan 1,18%. Kenaikan
tarip bis kota dan oplet sebanyak 25% - seperti yang diputuskan
Gubernur DKI 6 Juli kemarin -- merupakan penyebab utama
kenaikan indeks bahan lain denRan 1,33%.
Satu atau dua bulan mendatang ini, nampaknya sulit bagi
pemerintah untuk mengendalikan laju inflasi. Lebaran sudah di
ambang pintu. Seperti biasanya ini menimbulkan tekanan terhadap
persediaan beberapa bahan makanan tertentu, eperti telur dan
gula dengan adanya kenaikan permintaan. Tekanan juga terjadi
pada bahan pakaian, tapi nampaknya ini tak menimbulkan masalah
serius.
Dana Menumpuk
Demikian pula musim kering sudah berlangsung, dan kemungkinan
besar beberapa jenis palawija akan mengalami kemunduran produksi
dan ini akan ikut mendorong indeks biaya hidup ke atas. Dengan
sendirinya sulit bahwa inflasi pada Agustus dan September akan
bisa dibendung. Siklus yang sama rupanya juga terjadi tahun
lalu, di mana inflasi Agustus dan Septelnber merupakan tingkat
yang paling tinggi selama setahun. Yang menjadi pertanyaan
adalah: Akan, berhasilkah inflasi ditekan menjadi hanya 10%,
seperti yang menjadi sasaran pemerintah? Salah satu alat yang
digunakan untuk menekan inflasi ini biasanya adalah
kebijaksanaan kredit ketat. Ini nampaknya masih terus
berlangsung. Jumlah kredit yang diberikan bank-bank peserta
clearing Jakarta selama kwartal kedua ini hanya naik dengan 2,.
Kenaikan pada kwartal ke empat tahun lalu dan kwartal pertama
tahun ini masing-masing adalah 6% dan 4%. Jadi memang terjadi
penciutan perkembangan kredit bank, dan ini agaknya faktor yang
mengerem laju inflasi tahun ini dibanding dengan tahun lalu.
Di lain pihak arus dana yang menumpuk di bank jauh melebihi
kemampuan bank dalam menyalurkan kredit. Selama kwartal pertama
tahun ini rekening giro di bank-bank peserta clearing Jakarta
bertambah 23% jauh melebihi jumlah kredit yang disalurkannya.
Ini jelas merupakan beban yang tak kecil bagi bank yang
bersangkutan. Untuk mengurangi arus dana ini beberapa bank
pemerintah malah sejak Maret kemarin sudah tak menerirna
deposito berjangka lebih dari 6 bulan, sekalipun hal ini tak
pernah diputuskan secara resmi oleh Bank Indonesia.
Demikianlah selama kwartal pertama ini, deposito berjangka 18
bulan dan setahun merosot dengan masing-masing 26% dan 13%.
Sedang deposito berjangka 6 bulan naik dengan 29%. Ada dugaan
ini merupakan tindakan yang disengaja. Maksudnya untuk
menggiring dana yang berlebihan di masyarakat dari deposito
berjangka ke tempat yang selama ini lebih dikehendaki
pemerintah: Pasar Modal.
Tapi selama bunga dari deposito masih lebih menarik dari prospek
keuntungan pembelian saham, maka orang tentunya masih lebih
menyukai deposito. Maka bukan mustahil sebentar lagi bunga
deposito berjangka akan diperkecil lagi, seperti pernah
dikemukakan Menteri Ekuin Prof. Widjojo Nitisastro belum lama
berselang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini