Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Divestasi Freeport Selesai, Said Didu Ingatkan Soal Papa Minta Saham

Bekas Staf khusus Menteri ESDM Muhammad Said Didu mengingatkan pemerintah agar mengisolasi PT Freeport Indonesia dari kepentingan politik pasca rampungnya divestasi saham

22 Desember 2018 | 15.15 WIB

Ilustrasi infografis "Asal Mula 'Papa Minta Saham'". (Ilustrasi:KORAN TEMPO)
Perbesar
Ilustrasi infografis "Asal Mula 'Papa Minta Saham'". (Ilustrasi:KORAN TEMPO)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Bekas Staf khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Muhammad Said Didu mengingatkan pemerintah agar mengisolasi PT Freeport Indonesia dari kepentingan politik pasca rampungnya divestasi saham kepada PT Indonesia Asahan Alumunium alias Inalum. Pasalnya, persoalan perusahaan tambang emas dan tembaga itu rawan kepentingan politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bisnis ini adalah bisnis yang sangat besar dan berisiko tinggi. Saya berharap jangan lagi ada benalu atau pihak-pihak yang mau menumpang hidup di Freeport," ujar Didu di D'Consulate, Jakarta, Sabtu, 22 Desember 2018. 

Ia lantas merujuk kasus 'Papa Minta Saham' yang sempat hangat di kalangan masyarakat pada 2015. Istilah tersebut sempat mencuat saat Setya Novanto yang waktu itu menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ketahuan mencatut nama Presiden Joko Widodo untuk meminta imbalan saham PT Freeport Indonesia.

Menurut Said, ia sangat memahami duduk persoalan divestasi saham tersebut lantaran sempat ikut berunding. Ia juga sempat ikut membongkar perkara 'Papa Minta Saham' itu ke kalangan publik. Kasus tersebut dinilai sebagai puncak gunung es lantaran banyaknya tokoh yang bermain di PT Freeport.

"Jadi semua tokoh itu harus dibersihkan agar utang yang cukup besar oleh Inalum itu tidak rugi, Freeport itu enggak selalu untung," kata Didu.

Terlepas dari itu, Said Didu menilai proses divestasi itu sebenarnya biasa saja. Peristiwa serupa pernah terjadi saat Indonesia mengambil Inalum dari kepemilikan Jepang, melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja negara. "Jadi itu suatu langkah korporasi biasa."

Divestasi itu juga, menurut Didu, mau tidak mau memang kondisinya harus terjadi lantaran beberapa faktor. Misalnya, habisnya kontrak dan Freeport harus memperpanjang sebelum 2021, adanya kewajiban memenuhi Undang-undang Mineral dan Batubara.

Di samping itu, Freeport ternyata juga sedang mau menjual sahamnya, di saat Freeport memang mau menjual sahamnya. Tak hanya itu, kondisi tersebut juga didukung lantaran Inalum bisa mendapatkan utang untuk membeli dan kebijakan pemerintah yang mendukung. "Jadi lima hal ini sekaligus mendukung," kata dia. "Analisis saya, ini langkah terbaik dari pilihan yang banyak dan ribet."

 

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus