Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Djarum di TV-7? Belum Ada, tuh

TV-7 mencari investor yang memiliki integritas. Djarum ternyata belum masuk ke sana, konglomerat hitam juga ditolak.

11 Mei 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah August Parengkuan sumringah belakangan ini. Invasi Amerika ke Irak telah mendatangkan rezeki tak terduga bagi stasiun televisi yang dipimpinnya: TV-7. Stasiun televisi kepunyaan Kelompok Kompas-Gramedia ini memang memperlihatkan penampilan berbeda, terutama ketika perang sedang seru-serunya berkecamuk. Pada saat stasiun lain gencar mengutip berita perang dari media seperti CNN, FoxNews, dan BBC, TV-7 justru merelai berita dari stasiun Al-Jazeera yang berkedudukan di Qatar. Strategi itu terbukti jitu. Jumlah penonton TV-7 meroket. Mayoritas masyarakat Indonesia umumnya memang mendukung Irak dalam perang yang tak berimbang itu. Mereka kecewa terhadap berita-berita dari media pro-Amerika yang cuma menonjolkan keunggulan militer negara superpower itu dan dengan sengaja menutup-nutupi penderitaan rakyat Irak. Nah, berita-berita yang disiarkan Al-Jazeera—stasiun televisi yang namanya melambung gara-gara mengekspos pidato Usamah bin Ladin—dianggap lebih berimbang. Peningkatan jumlah penonton dengan sendirinya menambah pemasukan iklan. Demikian pula TV-7, yang tadinya sepi iklan, mendadak kebanjiran order. Perdarahan dalam keuangan perusahaan pun sementara agak berkurang. "Makanya saya sedih, kok perangnya cepat sekali berlangsung," kata August dengan nada bercanda. Sejak mengudara tahun lalu, duit yang tersedot oleh TV-7 tak kurang dari Rp 200 miliar. Namun pendapatan dari iklan sangat minim. Jangankan untuk mengembalikan investasi, buat menutup biaya operasional saja tak mencukupi. Sampai akhir tahun lalu, kata August, sulit sekali bagi bagian marketing untuk mencari iklan. "Sudah sampai pada taraf menjengkelkan," ujarnya terus terang. Peruntungan TV-7 berubah berkat perang di Irak itu. Kontrak iklannya terus meningkat. Kini pendapatan iklannya sudah mencapai 40 persen dari biaya operasionalnya. "Program-program bagus kami sudah disela iklan," kata August berseri-seri. Perkembangan yang baik itu membuat dia optimistis bahwa perdarahan TV-7 akan segera terhenti. Paling lambat pada tahun 2005. Ini berarti roda bisnis TV-7 berputar normal seperti stasiun televisi lain, yang mencapai break even point dalam waktu 3-5 tahun. Di bawah manajemen Kelompok Kompas-Gramedia yang terkenal konservatif, TV-7 memang sangat teliti mengelola duit. Buktinya, kendati sudah mendapat persetujuan kredit dari Bank Mandiri Rp 100 miliar, duit itu tak kunjung diambil. "Kami ingin melihat dulu pendapatan yang bisa diperoleh. Jangan asal pinjam, ujung-ujungnya tak bisa membayar," tutur August pula, penuh kehati-hatian. Selain itu, TV-7 tampaknya masih berusaha mencari sumber pendanaan lain yang lebih murah dan rendah risiko, misalnya dengan mengundang penanam modal. Opsi ini tampaknya diutamakan, walaupun tindakan itu bakal membuat berkurangnya porsi kepemilikan saham Kompas-Gramedia yang kini mencapai 82 persen. Mitra berkantong tebal itu diharapkan bisa ikut menanggung biaya untuk membuat program. Saat ini, TV-7 memang sering kalah bersaing dalam menampilkan program yang lebih bervariasi. Penyebabnya, antara lain, tak mampu membayar mahal artis yang bersedia tampil untuk acara khusus. "Kami," ujar August memberi contoh, "tak bisa membayar Krisdayanti atau Inul yang honornya ratusan juta rupiah." Mungkin lantaran adanya keinginan menggandeng mitra baru, belakangan terbetik kabar masuknya Djarum ke TV-7. Perusahaan rokok yang berpusat di Kudus, Jawa Tengah, itu disebut-sebut akan membeli saham milik Kompas-Gramedia 42 persen. Namun August menampik kabar tersebut. Menurut dia, sejauh ini belum ada orang dari pihak Djarum yang pernah menawarkan diri masuk TV-7, baik sebagai perusahaan maupun pribadi. Bantahan juga datang dari Kudus. "Tak benar Djarum membeli 42 persen saham TV-7," ujar Direktur Hubungan Masyarakat PT Djarum, Soewarso Siraad. Kendati begitu, August mengaku sudah ada beberapa pengusaha yang menawarkan diri untuk menyuntikkan modal ke TV-7. Tapi pihaknya menolak. Mengapa? "Soalnya mereka tergolong konglomerat hitam," ujarnya. Ia curiga pengusaha itu cuma ingin memakai nama Kompas-Gramedia untuk mencuci namanya sendiri yang sudah tercemar. "Jadi, berapa pun mereka mau kasih…, sorry-sorry aja. Kita tak mau ikut tercemar." Menurut August, TV-7 cuma membuka diri bagi konglomerat putih. Bisa juga pengusaha biasa asal sumber duitnya jelas. "Kalau mereka yang masuk, monggo saja," ujarnya. Syukurlah. Tuntutan bisnis yang berorientasi pada perolehan laba memang semakin mendikte media elektronik, akhir-akhir ini. Di tengah kompetisi yang semakin tajam, sikap TV-7 yang tidak asal menjajakan jam tayang tentu perlu dipertahankan. Nugroho Dewanto, Febrina Siahaan, Eduardus Karel Dewanto, Bandelan Amarudin (Kudus)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus