Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kekecewaan terhadap Joe Biden menjadi pemicu kemenangan Donald Trump.
Donald Trump diperkirakan akan merilis kebijakan proteksionis.
Negara berkembang akan kesulitan menghadapi kebijakan Trump.
SETELAH hiruk-pikuk pemilihan Presiden Amerika Serikat usai, debu pun mengendap. Banyak analisis beredar tentang apa yang membuat Donald Trump menang telak. Tentu ada kombinasi berbagai sebab. Namun umumnya para analis sepakat: urusan perut alias biaya hiduplah yang dominan. Inflasi tinggi empat tahun terakhir membuat pemilih menyalahkan Presiden Joe Biden serta Partai Demokrat dan memenangkan Trump.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilih tak peduli inflasi tinggi di Negeri Abang Sam sebetulnya bukanlah buah kebijakan Biden, melainkan cenderung terjadi karena pandemi Covid-19. Untuk menyelamatkan ekonomi dari keruntuhan, bank sentral The Federal Reserve harus mengambil kebijakan moneter yang pada akhirnya membuat angka inflasi di Amerika melambung tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Fed “mencetak dolar” secara besar-besaran untuk membeli obligasi pemerintah Amerika Serikat ataupun korporasi. Istilah kerennya quantitative easing atau QE. Baik pemerintah maupun korporasi lantas membelanjakan dolar itu untuk berbagai keperluan. Ekonomi pun tetap berputar. Sejak awal penyebaran Covid-19 hingga program QE berakhir pada Maret 2022, The Fed total menginjeksikan US$ 4,7 triliun ke ekonomi Amerika Serikat.
Injeksi dolar itu memang menyelamatkan ekonomi Amerika Serikat. Namun ada harga mahal yang harus dibayar. Lonjakan jumlah uang yang beredar sudah pasti memicu inflasi. Itulah keniscayaan yang kemudian benar-benar terjadi. Angka inflasi tahunan di Amerika yang pada 2020 hanya 1,4 persen langsung melesat menjadi 7 persen dan 9,1 persen pada 2021 dan 2022.
Berikutnya, datang pukulan lebih berat: The Fed juga harus menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi. Selama periode Biden, The Fed menaikkan bunga hingga sebelas kali. Bunga The Fed yang nyaris 0 persen, persisnya dalam rentang 0,25-0,5 persen pada Maret 2022, meroket menjadi 5,25-5,5 persen pada Juli 2023, naik sepuluh kali lipat. Akibatnya, segala macam bunga pinjaman di Amerika ikut naik. Beban hidup pun kian berat.
Sebetulnya, menjelang pemilihan umum, pengetatan likuiditas dan bunga tinggi mulai berhasil menjinakkan inflasi. Akhir 2023, tingkat inflasi sudah turun menjadi 3,4 persen dan makin rendah menjadi 2,4 persen per September 2024. The Fed juga sudah dua kali menurunkan bunga, yang sekarang 4,5-4,75 persen. Ekonomi Amerika Serikat tampak tangguh, masih tumbuh 2,8 persen secara tahunan per akhir September 2024, termasuk tinggi menurut standar negara maju.
Dalam kacamata ekonom, Biden dan The Fed berhasil mengelola ekonomi Amerika Serikat dengan baik karena negara itu bisa keluar dari dampak pandemi tanpa terpuruk ke dalam resesi. Namun mayoritas pemilih di Amerika adalah orang awam yang tak peduli akan kata statistik, apalagi analis ekonomi. Pertimbangan yang lebih penting saat memasuki bilik suara adalah kenyataan sehari-hari: hidup susah karena harga-harga masih mencekik.
Statistik memang menunjukkan inflasi sudah mereda. Tapi inflasi rendah tidak berarti harga-harga sudah turun. Efek residu inflasi tinggi yang berlangsung pada 2021 dan 2022 tetap melekat. Sebagai gambaran, harga rata-rata seporsi Big Mac, burger buatan restoran McDonald's, yang pada awal 2020 sebesar US$ 4,39 sekarang menjadi US$ 5,24 atau ada lonjakan 21 persen. Harga yang sudah telanjur naik itu tidak akan turun. Sedangkan upah atau penghasilan tidak tumbuh setinggi itu. Mayoritas pemilih merasa lebih miskin selama Biden memerintah.
Ironisnya, kekecewaan itu malah membuat Trump naik takhta. Pemilih seolah-olah tak peduli bahwa kebijakan ekonomi Trump, jika sesuai dengan janji kampanyenya, justru akan membuat hidup mereka memburuk satu-dua tahun ke depan. Penaikan tarif impor, penambahan defisit anggaran, pemangkasan pajak, itu semua bakal berujung naiknya tingkat inflasi dan bunga.
Bukan cuma orang Amerika Serikat yang bakal lebih susah. Periode kedua kekuasaan Trump atau Trump 2.0 juga akan menyusahkan ekonomi negara berkembang. Bagi Indonesia, efek buruk Trump setidaknya merambat lewat dua jalur. Perang dagang yang dikobarkan Trump berisiko menggencet surplus neraca dagang Indonesia. Lewat pasar finansial, bunga The Fed yang lebih tinggi akan memicu dana investasi kabur dari Indonesia.
Akibatnya, rupiah akan terus tertekan. Gelagat buruk itu bahkan sudah terasa, nilai rupiah merosot melampaui 15.900 per dolar Amerika Serikat, akhir pekan lalu. Investor wajar cemas karena ini sebenarnya baru babak pembukaan Trump 2.0.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ancaman di Era Trump 2.0"