Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Manis di Rapat, Pahit di Aturan

Pemerintah akan mengatur ulang importasi gula rafinasi. Namun rancangan peraturan Menteri Perindustrian dianggap tak sejalan dengan rapat kabinet yang semula hendak memberikan izin impor langsung oleh industri pengguna. Ada aturan yang berpotensi membuat sektor ini makin oligopolistik.

14 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Jokowi memimpin rapat kabinet membahas pasokan garam dan gula khusus untuk industri secara virtual di Istana Merdeka, Jakarta, 5 Oktober lalu. Foto: setkab.go.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah merancang aturan baru yang mengatur pasokan gula khusus industri.

  • Banyak manfaat impor langsung oleh pengguna.

  • Isi draf yang tak sejalan dengan hasil rapat kabinet.

RUMUSAN draf aturan baru tentang gula rafinasi ramai diperbincangkan di kalangan pelaku usaha makanan dan minuman sepanjang pekan lalu. Tapi keriuhan pembicaraan rancangan regulasi yang bakal berdampak terhadap bisnis mereka itu masih sebatas kasak-kusuk. “Pemerintah tidak melibatkan kami dalam pembahasan draf,” kata Ketua Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi Dwiatmoko Setiono, Rabu, 11 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari selentingan pula Dwiatmoko mendengar kabar bahwa pembahasan rancangan peraturan Menteri Perindustrian itu sudah memasuki tahap sinkronisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pembahasan antar-kementerian teknis belum final. “Kabarnya, ada poin yang belum disepakati antar-kementerian,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyusunan rancangan peraturan Menteri Perindustrian tersebut merupakan tindak lanjut hasil rapat kabinet terbatas yang membahas importasi gula dan garam khusus industri. Seusai pertemuan yang dipimpin Presiden Joko Widodo, Senin, 5 Oktober lalu, itu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa ada dua keputusan penting yang mendasar berkaitan dengan pengadaan dua komoditas tersebut.

Aktivitas bongkar muat gula impor asal Filipina di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 18 Februari lalu./ Tempo/Tony Hartawan

Presiden, menurut Luhut, setuju impor garam dan gula dilakoni langsung oleh industri pengguna. Dia mencontohkan, produsen kaca bisa mengimpor langsung garam bila industri kaca membutuhkan garam dengan spesifikasi tertentu. “Gula nanti yang mengimpor hanya industri pangan, yang memerlukan. Jadi tidak dari orang lain sehingga tidak menjadi permainan,” ucapnya.

Tentu, ia menambahkan, permohonan izin impor harus disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian sebagai kementerian teknis yang mengetahui detail jenis industri berikut volume kebutuhan bahan bakunya saban tahun. “Kalau dia membocorkan bahan baku itu ke pasar tradisional sehingga membuat harga garam rakyat anjlok, izin akan dicabut,” tutur Luhut, mewanti-wanti.

Menurut Luhut, Kementerian Perindustrian akan mendaftar perusahaan yang memerlukan dua komoditas tersebut, juga menyiapkan aturan teknisnya. “Nanti diterbitkan ke publik sehingga publik akan ikut mengawasi, benar enggak jumlah (volume)-nya.”

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan rancangan peraturan menteri yang akan menjelaskan teknik dan mekanisme importasi gula khusus industri masih disusun. “Diharapkan (peraturan) bisa keluar secepatnya,” katanya, Rabu, 4 November lalu.

•••

MENTERI Luhut sampai memberikan penegasan bahwa rapat kabinet terbatas pada 5 Oktober lalu juga memutuskan soal importasi gula untuk industri. Pasalnya, dalam konferensi pers virtual di hari yang sama, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita cuma memaparkan ihwal komoditas garam untuk industri. “Saya ingin menambahkan, ini bukan hanya garam, lho, ini gula juga,” ujar Luhut. “Jadi nanti, Pak Agus, gula pun industri yang mengimpor. Tidak ada lagi importir-importir gula. Industri makanan yang mengimpor.”

Ia menjelaskan, keputusan itu diambil untuk menyederhanakan proses. Dengan begitu, “Nanti tidak ada lagi harga gula yang bikin gila-gilaan. Semua industri pangan bisa mengimpor,” ucapnya.

Menurut Staf Khusus Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Bidang Kelembagaan dan Media Jodi Mahardi, kebijakan baru ini bertujuan menghindari adanya bahan baku hasil impor pihak ketiga yang merembes ke pasar. Rembesan gula impor yang semestinya untuk industri dikhawatirkan membuat harga komoditas petani, baik gula maupun garam, jeblok. “Akan ada mekanisme verifikasi yang ketat untuk industri yang mendapatkan izin dimaksud,” katanya, Rabu, 4 November lalu.

Keputusan rapat kabinet itu sempat menghebohkan kalangan industri makanan-minuman. Sebab, selama ini mereka mendapat pasokan bahan baku gula dari pabrik gula rafinasi. Adapun perusahaan gula rafinasi mengolah bahan baku berupa gula mentah hasil impor.

Presiden Jokowi (kiri atas) memimpin rapat kabinet membahas pasokan garam dan gula khusus untuk industri secara virtual di Istana Merdeka, Jakarta, 5 Oktober lalu. Foto: setkab.go.id

Dwiatmoko salah satu yang sumringah menyambut keputusan itu. Pemilik pabrik pengolahan cokelat ini hakulyakin bisnisnya, yang masuk kategori menengah, tak akan kerepotan menggelar pengadaan secara langsung gula rafinasi. Sebaliknya, dia menilai impor langsung oleh industri pengguna akan lebih efisien, berbiaya murah, lantaran prosedurnya sederhana. “Sektor makanan-minuman akan lebih kompetitif bersaing di pasar dalam negeri ataupun mancanegara,” tuturnya.

PT Indolakto, produsen susu merek Indomilk di bawah bendera Grup Indofood, memilih menunggu aturan teknis yang konkret. “Apakah akan memakai sistem kuota yang perizinannya dikeluarkan beberapa kementerian?” ucap Direktur Teknik dan Operasi Indolakto Sonny Effendhi. Menurut dia, jika mekanisme masih sama dengan sebelumnya, artinya belum ada perkembangan positif. “Cara lama banyak kendala, proses lama, dan biayanya tinggi.”

Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai positif keputusan rapat kabinet. Komisioner KPPU, Guntur Syahputra Saragih, mengatakan dibukanya kesempatan mengimpor bagi industri pengguna akan memberi pelaku usaha pilihan membeli secara langsung atau tidak. “Industri akan makin kompetitif,” ujarnya.

Adapun anggota Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih, menilai, untuk jangka pendek, rencana itu akan jauh lebih efisien. Selama ini, kata dia, industri gula rafinasi tak berkembang dan hanya menjadi rente dalam mata rantai industri gula.

Guru besar ilmu ekonomi pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, punya perhitungan bagaimana rente ekonomi gula rafinasi sangat menggiurkan. Ia mencontohkan, pada pertengahan Oktober 2020, harga gula mentah dunia US$ 14 sen per pound free on board atau sekitar US$ 309 per ton. Jika ongkos angkut, asuransi, dan pengolahan (CIF) gula impor itu sekitar US$ 200 per ton, harga gula rafinasi di pabrik berkisar US$ 509 per ton. Dengan kurs Rp 14.800 per dolar Amerika Serikat, harga gula rafinasi di pabrik hanya Rp 7.530 per kilogram.

Di Indonesia, harga eceran gula tertinggi mencapai Rp 12.500 per kilogram. Bayangkan berapa margin yang diraup importir. Karena itu, Bustanul menyebutkan masa depan industri gula domestik berbasis tebu benar-benar dipertaruhkan lantaran rente ekonomi gula rafinasi tersebut.

Mantan Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, mengakui pemberian izin impor gula langsung kepada industri pengguna akan lebih efisien. Sebab, produk yang didatangkan akan persis sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan pengguna. Harganya bisa lebih murah. Cara ini juga bakal lebih efektif mencegah gula rafinasi, yang bahan bakunya didatangkan dari luar negeri, merembes ke pasar.

Namun model ini akan merugikan industri rafinasi. “Ini juga industri nasional yang telah berinvestasi besar,” ucap Bayu. Selain itu, nilai tambah yang ditimbulkan dari pengolahan gula mentah di dalam negeri bakal hilang.

•••

BELUM diketuk, draf rancangan peraturan Menteri Perindustrian bertajuk “Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional” sudah membikin pelaku usaha makanan dan minuman menelan pil pahit. Ketentuan baru impor gula rafinasi agaknya tak semanis woro-woro yang disampaikan Menteri Luhut tentang keputusan hasil rapat kabinet 5 Oktober lalu.

Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian Supriadi mengatakan mekanisme pengadaan gula industri tak akan berubah. Kementerian Perindustrian masih akan melibatkan perusahaan rafinasi untuk mengimpor gula mentah dan kemudian mengolahnya menjadi gula industri. “Yang diimpor kan gula mentah, diolah di pabrik gula rafinasi agar nilai tambahnya ada di dalam negeri,” tuturnya, Selasa, 3 November lalu.

Bedanya, ia menambahkan, pemerintah bakal mempercepat waktu penerbitan izin agar industri tidak kesulitan memperoleh bahan baku. Kementerian Perindustrian yakin mekanisme itu tak bertentangan dengan hasil rapat kabinet terbatas yang memutuskan impor dilakukan langsung oleh industri makanan dan minuman.

Menurut Supriadi, saat ini pun kebijakan importasi gula mentah dan gula rafinasi spesifikasi khusus untuk bahan baku dan bahan penolong industri hanya diberikan kepada importir produsen atau industri. “Tidak kami berikan kepada importir umum.”

Sejumlah sumber Tempo di lingkungan pemerintah yang mengetahui perumusan rancangan aturan ini mengungkapkan bahwa posisi Kementerian Perindustrian tak sejalan dengan niat Kementerian Perdagangan, yang menginginkan pasar lebih efisien. Kementerian Perdagangan, kata sumber tadi, ingin mendorong importasi langsung gula rafinasi oleh pengguna, yang dianggap bisa memperkecil potensi bocornya produk impor ke pasar konsumen.  

Sejumlah sumber tersebut mengungkapkan, Kementerian Perdagangan belum menyepakati beberapa pasal dalam draf rancangan peraturan Menteri Perindustrian yang dianggap kontroversial. Pasal 5, misalnya, yang mengatur impor gula mentah untuk memproduksi gula rafinasi hanya dapat dilakukan oleh perusahaan industri gula rafinasi yang memiliki izin usaha industri sebelum 25 Mei 2010. Tanggal ini merujuk pada terbitnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, yang dikenal dengan daftar negatif investasi.

Masalahnya, pasal itu klop dengan konsep yang diusung Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Dalam dokumen yang diperoleh Tempo, perhimpunan perusahaan pengolah gula mentah menjadi gula rafinasi ini mengusulkan ketentuan tentang pemberian rekomendasi persetujuan impor gula mentah. Dalam usulnya, AGRI berharap pemerintah memberikan batas yang tegas antara produsen gula kristal rafinasi dan produsen gula kristal putih.

AGRI mendefinisikan produsen gula kristal rafinasi adalah pabrik pengolahan yang didesain hanya untuk mengolah gula mentah menjadi gula rafinasi. Perusahaan kategori ini mengantongi izin prinsip sebelum peraturan presiden tadi berlaku, yakni pemain lama impor gula yang sekarang tergabung dalam AGRI.

Sedangkan produsen gula kristal putih (gula konsumsi) merupakan perusahaan yang memproduksi gula kristal putih berbasis tebu dan terintegrasi dengan perkebunan tebu. Selama ini, meski bukan anggota AGRI, pabrik-pabrik gula ini juga mengimpor gula mentah untuk diolah menjadi gula rafinasi.

Ketua AGRI Bernardi Dharmawan menampik adanya lobi terhadap Kementerian Perindustrian. Bernardi membantah kabar bahwa ia pernah mengajukan usul tersebut. Yang ada, menurut dia, AGRI menyampaikan keluhan kepada Kementerian Perindustrian sejak dua tahun lalu bahwa komoditas ini dibagi menjadi dua, yakni gula untuk industri dan gula konsumsi rumah tangga.

Masalahnya, Bernardi mengatakan, selama ini pemerintah juga memberikan izin impor gula mentah kepada pabrik rafinasi di luar anggota AGRI. “Kami hanya memonitor anggota. Bagaimana dengan perusahaan non-AGRI? Bagaimana memastikan gula yang mereka produksi masuk ke industri?” ucapnya, Jumat, 13 November lalu.

Bernardi berdalih, kapasitas produksi dari sebelas anggota AGRI sudah berlebih, totalnya mencapai 5,5 juta ton per tahun. Padahal, dia menjelaskan, kebutuhan industri hanya sekitar 3 juta ton. Artinya, masih ada kapasitas yang belum terpakai. Di sisi lain, dia mengingatkan, gula konsumsi masih defisit. “Seyogianya, ketika ada industri gula baru, mereka mengisi defisit dari kebutuhan konsumsi. Kalau gula industri sudah terpenuhi oleh AGRI.”

Dwiatmoko Setiono waswas. Bila draf rancangan aturan baru mengabulkan pasal tersebut, praktis pemasok gula industri akan dibatasi sebelas perusahaan anggota AGRI saja. Kekhawatirannya bertambah lantaran pabrik-pabrik rafinasi tersebut sebagian besar terafiliasi dalam kelompok usaha. “Pada dasarnya, mereka hanya empat atau lima grup,” ujar Dwiatmoko, yang menilai kondisi ini sangat berpotensi membentuk pasar oligopoli.

Dwiatmoko berharap pemerintah menjadikan momentum ini sebagai titik balik untuk membuat peta jalan ketahanan pangan baru. “Kecuali kalau mau melanggengkan praktik oligopoli,” katanya.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha sudah lama mencium aroma oligopoli di industri gula. Komisi antimonopoli ini menyelidiki rantai bisnis gula ketika harga gula konsumsi melambung menembus Rp 18 ribu per kilogram pada awal 2020. Hasilnya, KPPU mengungkap adanya kecenderungan pasar yang oligopolistik karena pemenuhan pasokan dan distribusi gula dilakukan oleh beberapa pelaku usaha saja.

Sejumlah pejabat Kementerian Perdagangan tak bersedia menjelaskan rencana aturan baru ini. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi hanya memberikan respons singkat. “Sekarang Kemendag sudah punya jubir (juru bicara). Jadi please ke Pak Wisnu, ya,” ujarnya, Selasa, 10 November lalu.

Wisnu Wardhana, anggota staf ahli Menteri Perdagangan yang juga mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, tak merespons permohonan konfirmasi Tempo. Begitu pula Direktur Impor I Gusti Ketut Astawa. 

Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga juga enggan memberikan penjelasan. Ranah impor gula, kata dia, berada di luar tugas pokok fungsi dan wewenangnya sebagai Wakil Menteri. “Saya diberi tugas pokok fungsi berikut wewenang khusus untuk mempercepat penyelesaian perjanjian dagang luar negeri dan peningkatan ekspor,” tuturnya, Kamis, 12 November lalu.

RETNO SULISTYOWATI, AISHA SHAIDRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus