DI sebuah desa pelosok, Desa Besito namanya, 7 km di utara Kota
Kudus, terdapat sebuah pabrik pemintalan benang, PT Tubantia.
Menempatkan pabrik di sebuah desa yang jauh dari keramaian ini,
tentu saja dengan alasan dapat memperoleh tenaga kerja yang
murah.
Dan memang benar. Sejak berdiri 4 tahun lalu, perusahaan
patungan India, Inggris, Belanda dan Indonesia itu, sampai
sekarang mempekerjakan 960 buruh, wanita dan laki-laki. Sebagian
besar berstatus tenaga harian lepas (THL). Upah buruh THL yang
berpendidikan SD/SLTP minimal Rp 430 sehari, maksimal Rp 480,
termasuk uang perangsang. Berpendidikan SLA, minimal Rp 550 dan
maksimal Rp 650, juga termasuk uang perangsang. Berpendidikan
apapun juga, jika sedang dalam masa percobaan (3 bulan) diupah
Rp 325 sehari, satu jumlah yang disana masih dianggap wajar
mengingat standar upah regional sebesar Rp 265 per hari.
Tapi, Sugeng, pemuda lulusan STM yang telah 2 tahun bekerja di
pabrik itu baru-baru ini berontak. Ia tak puas dengan upahnya
yang hanya Rp 460 sehari. Dengan berbagai cara ia maju seorang
diri menuntut perbaikan. Usahanya sia-sia. Malahan ia
dirumahkan. Urusannya sekarang sedang ditangani P4D.
Begitukah gambaran buruh perusahaan asing? Tak selalu. Seorang
pemuda (tak menyebutkan narna) lulusan STM bergaji lebih dari Rp
50.000 tiap bulan. Ini terjadi di pabrik PT German Motor yang
merakit mobil mewah merk Mercedez di Tanjung Priok, Jakarta
Utara. Seperti Sugeng, pemuda ini juga berstatus bujangan,
dengan masa kerja yang hampir sama. Bedanya, selain
penghasilan, si pemuda bekerja setelah melalui masa pendidikan
khusus selama beberapa bulan -- dan Sugeng tidak.
Tapi perbedaan yang lain adalah sang pemuda dapat menabung hasil
lemburnya dengan utuh, dan Sugeng harus bergelut dengan
pendapatan bersihnya yang tinggal Rp 360 sehari setelah dipotong
uang transpor Rp 100 sehari. Dan dari sisa bersih itulah Sugeng
harus makan 3 kali sehari dan membeli beberapa batang rokok
kretek tanpa merk di kota kretek Kudus.
Dan karena itu Sugeng berontak, sementara si pemuda setiap malam
Mhggu dengan tenang dapat menonton bioskop.
Tubantia maupun German Motor, sama-sama memiliki SB dan PKB
meskipun di perusahaan pertama baru ada beberapa bulan terakhir
ini. Bedanya, SB di German Motor tak banyak aktivita,. Mereka
merasa perusahaan telah memberikan hak yang sewajarnya kepada
para karyawan. Sedang di Tubantia, SB yang ada bergelut
memperjuangkan uang jasa produksi, uang rekreasi dan THR.
Hasilnya memang ada jasa produksi Rp 1.500, uang rekreasi Rp
1.000 dan THR 1 bulan upah kotor -- semua untuk tiap buruh
selama satu tahun.
Tak lama setelah Kenop-15, buruh-buruh di Tubantia pernah mogok.
Mereka menuntut kenaikan upah, agar sesuai dengan kenaikan harga
waktu itu. Tuntutan mereka berhasil dengan kenaikan 7% hingga
8%. Dan setelah kenaikan harga BBM 1 Mei lalu, buruh-buruh
pemintalan itu menuntut kenaikan upah 40%. Pihak pengusaha
tegas-tegas menolak. Dan karena belum juga terdapat persesuaian
pendapat, persoalan itu diambil alih pihak kantor Ditjen
Binalindung di Pati.
Berhasilkah tuntutan itu? Kepala Ditjen Binalindung Pati,
Soemitro tak berani meramalkan. "Tapi saya kenal betul pada
pengusaha India," itu saja jawabnya. Yang Soemitro kurang paham
agaknya, adalah pengusaha asing di sini kenal juga akan
kelemahan kaum pekerja Indonesia -- yang masih berpegangan pada
"lebih baik bekerja daripada nganggur".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini