NASIB Sugema Wahab masih belum berketentuan. Setelah dipecat
dari jabatannya sebagai supervisor gudang di PT General Food
Industry yang memproduksi coklat Van Houten di daerah Bogor,
tujuh bulan lalu, ketua Basis SBMM FBSI (Serikat Buruh Makanan
dan Minuman) ini, sampai sekarang terpaksa menganggur. Dan
karena biaya hidup yang semakin sulit, bulan lalu ia terpaksa
mengungsikan dua orang anaknya ke rumah mertuanya di Jatinegara,
Jakarta Timur.
Sebagai ketua SB, Sugema Wahah, 30 tahun, dikenal dekat dengan
buruhburuh lainnya. Tapi dengan jabatannya itu ternyata ia tidak
disenangimajikannya. Sebuah sumber mengatakan ia dituduh
menghasut beberapa karyawan agar tidak bekerja. Akhir 1979 ia
dikenakan PHK (pemutusan hubungan kerja), yang kemudian disusul
delapan orang rekan sekerjanya.
Usaha pihak DPP-PBSI untuk mencoba mendamaikan pertikaian itu
tak berhasil. Pihak GFI pernah dinyatakan menghalang-halangi
kunjungan beberapa orang pengurus Departemen Pembelaan DPP-FBSI.
Mereka ini datang berusaha mencari perdamaian.
Kejadian ini menyebabkan Oka Mahendra, SH, sekretaris Pembelaan
DPP-FBSI meminta DPR agar menggunakan Hak Interpelasi mengenai
perusahaan-perusahaan PMA. Namun usaha ini kemudian tak
terdengar kelanjutannya.
Akibatnya, perkara Sugema harus jatuh ke tangan P4D (Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) di Bandung. Dan
dalam keputusannya 12 Maret lalu, P4D mengizinkan PT GFI
melakukan PHK terhadap Sugema, dengan ketentuan perusahaan itu
harus memberi uang PHK sebesar Rp 1,5 juta kepada bekas buruhnya
itu.
Tapi Sugema menolak. "Karena saya tetap merasa tidak bersalah,"
katanya pekan lalu kepada TEMPO. Karena itu ia melangsungkan
perkaranya ke P4P di Jakarta. Ia masih harus menunggu
penyelesaian hingga hari ini. Adapun dela,oan orang aktivis SBMM
lainnya yang dipecat setelah Sugema, masih dalam penyelesaian
FBSI.
Peristiwa Sugema dkk adalah keributan untuk kedua kalinya di
pabrik yang sama. Sebelumnya, pertengahan 1978, sebanyak tiga
puluh empat karyawannya dikabarkan disekap pimpinan perusahaan
itu dalam ruang berukuran 2 x 3 meter. Para buruh itu menuntut
perbaikan nasib. (TMPO, 29 Juli 1978).
Tapi semua itu hanya contoh: FBSI belum begitu saja masuk ke
tiap perusahaan dengan kata putus. Satu perkara harus berbuntut
panjang dan menelantarkan sang buruh.
Tapi jangankan organisasi buruh, aparat pemerintah dalam bidang
pertikaian perburuhan ini, yaitu P4D maupun P4P, masih sering
terbentur pada kebandelan pengusaha, maupun buruh sendiri.
Memang belum pernah terjadi, izin usaha satu perusahaan dicabut
karena dianggap telah menyia-nyiakan buruhnya. Meskipun
demikian, Dirjen Aneka Industri Departemen Perindustrian, K.
Hadinoto, belum lama ini telah memanggil dan memperingatkan
seorang pemilik pabrik. Pengusaha ini ternyata patuh. Ia
bersedia menlbayar uang lembur karyawannya, yang selama ini
dituntut Perkaranya sempat diputus P4P dengan kekalahan di pihak
pengusaha.
Hadinoto memang tak ingin membuat kesan, seolah-olah instansinya
adalah tingkat terakhir dalam menyelesaikan setiap sengketa
perburuhan. Sebab yang berhak mengurus soal itu adalah
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Juga ada P4P (Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat), P4 Daerah, FBSI dan
akhirnya yang paling bawah, SB Basis. Bahwa pemanggilan terhadap
pengusaha di atas (yang tak disebutkan namanya) dilakukannya
juga itu karena keputusan berbagai pihak yang berwenang mengurus
perselisihan perburuhan tak dihiraukan si pengusaha.
Dirjen Aneka Industri mengakui "Dalam menghadapi pengusaha,
saya lebih punya gigi dari Dirjen Binalindung (Depnakertrans,"
katanya setengah bergurau Hanya kalau Ditjen Binalindung
kewalahan menghadapi kebandelan pengusaha, biasanya instansi ini
menyurati Ditjen Aneka Industri agar si pengusaha diperingatkan.
"Dan biasanya seteiah pengusaha itu kami panggil, ia menurut,"
ungkap Hadinoto lagi.
Keruwetan menyelesaikan pertikaian perburuhan selama ini memang
lebih banyak muncul karena para pengusaha banyak mengabaikan
FBSI maupun instansi-instansi yang bertanggungjawab untuk itu.
Mungkin beralasan, mungkin tidak, baik SB maupun
instansi-instansi itu biasanya dipandang dengan curiga oleh
sebagian pengusaha. Kejadian di pabrik coklat Van Houten tadi
atau perselisihan di PT Djabesmen (Jakarta) adalah contoh-contoh
yang cukup jelas tentang hal itu.
Di Djabesmen perselisihan timbul karena soal hari kerja.
Sebanyak duabelas orang buruh aktivis SB di sana menolak
perubahan hari libur yang disodorkan perusahaan secara sepihak.
Tapi sebelum FBSI turut menangani, pihak pengusaha mencoba
menekan para pekerja itu melalui POM-ABRI. Mereka dituduh akan
membuat kekacauan dan lalu dipecat.
Keadaan telah demikian buruk, sehingga P4P menetujui duabelas
orang buruh tadi dikenakan PHK dengan mewajibkan pengusaha
membayar pesangon dan ganti rugi kepada buruh-buruh tadi. Tapi
dalam vonisnya, P4P tak lupa menyesalkan tindakan pengusaha
pabrik ini -- yang telah mengikutsertakan POM-ABRI. Berarti,
telah masuk satu instansi yang tak ada hubungannya dengan
penyelesaian perselisihan perburuhan.
Tapi mengikutsertakan pihak ketiga, yang dianggap tak ada
hubungan langsung dengan perburuhan, tidak hanya dilakukan oleh
pihak pengusaha. Mengadu ke DPR, sebagaimana yang sering
dilakukan kaum buruh akhir-akhir ini, dianggap Menteri
Nakertrans, Harun Zain, sebagai "mengadukan nasib kepada pihak
ketiga." Dan karenanya, kata Harun Zain, mengabaikan
"Undang-undang dan Peraturan yang berlaku. " Ketika melantik P4P
6 Juni lalu, Menteri Nakertrans menyelsaikan hal itu. Pada
tingkat pertama, Harun Zain meminta agar FBSI tetap diberi
kepercayaan untuk memperjuangkan perbaikan nasib kaum pekerja.
Mengandalkan FBSI untuk itu memang menjadi harapan organisasi
itu sendiri. "Dan kami sudah berbuat semaksimal mungkin untuk
itu," kata Wakil Ketua DPP-FBSI, Taherransyah Karim, "tapi
karena berbagai faktor banyak usaha FBSI tidak begitu
tangguh."Ia tak menjelaskan faktor-faktor itu, kecuali
"Semuanya -- yang menyebabkan persoalan buruh menjadi lingkaran
setan. "
Tapi kemudian Taherransyah menggambarkan posisi FBSI yang serba
terjepit. "Terlalu dekat pada buruh, FBSI dicurigai," tambah
Taherransyah, "tapi jika terlihat agak berbaik-baik dengan
pengusaha, buruh curiga."
Tapi menggantungkan nasib kaum buruh, bagi Oka Mahendra, S.H.
sebaiknya tak hanya pada FBSI. "Ada tiga hal penting," tutur
Oka, "yaitu melaksanakan secara tegas peraturan hukum yang ada
tentang perburuhan, mencipta kan iklim politik yang sesuai
dengan GBHN dan barulah serikat buruh yang kuat dan dengan
pengurus yang tahan bujukan pengusaha." la menunjuk, misalnya,
keputusan P4P 12 Mei 1980 tentang pemecatan 12 buruh Djabesmen
sebagai menyalahi Peraturan Menteri Nakertrans No. 02/1978.
Karena dalam keputusan itu P4P menerima pemecatan yang dilakukan
PT Djabesmen terhadap 12 karyawannya. Padahal dalam peraturan
perburuhan, dalam kasus serupa itu, tak diperkenankan melakukan
PHK.
FBSI memang banyak dipandang sebagai SB yang belum seluruhnya
bulat. Di samping di dalam tubuhnya masih sering terdapat
berbagai benturan (antara berbagai SB lama), juga menurut sumber
TEMPO beberapa pengurus daerah FBSI ternyata mempunyai "kapling"
di berbagai perusahaan. "Ongkang-ongkang di rumah, setiap bulan
dapat upeti dari perusahaan itu," kata sumher TEMPO.
KETUJUHBELAS kasus perburuhan yang ditangani Departemen
Pembelaan DPP-FBSI hingga pertengahan 1980 ini, umumnya
berpangkal pada pemutusan hubungan kerja (PHK), masalah upah dan
status buruh. Dan kasus-kasus itu terjadi baik di perusahaan
yang sudah memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB/CLA) maupun
yang belum. PKB, yang diharuskan ada di tiap perusahaan berdasar
UU No. 21/1954, disusun bersama buruh dan perusahaan. Ia memuat
hak serta kewajiban kedua pihak, dan juga mencantumkan cara-cara
menyelesaikan perselisihan.
Namun bukan saja soal hak atau kewajiban di dalam PKB yang
sering dilanggar. Ketentuan cara menyelesaikan perselisihan juga
tak jarang dilangkahi kedua pihak. "Sebab tak ada sanksi
hukumnya bila tak menaati atau pun tak membuat PKB," kata Kepala
Elumas Depnakertrans, Soebagyo. Rahlan tambah Soebagyo, dalam
Peraturan Menteri Nakertrans No. 02/1978 yang mewajibkan
perusahaan yang belum memiliki PKB agar membuatnya, juga tak ada
sanksi hukum bila tidak dilakukan. Karena itu mudah dipahami
bila suatu perselisihan dapat berakibat panjang. Akhirnya nasib
seorang buruh terkatung selama bertahun-tahun.
Karena PKB tak punya sanksi hukum, menurut Soebagyo setiap
perselisihan diharapkan selesai antara SB Basis dengan pihak
majikan. Jika ini tak beres, salah satu pihak dapat mengadu ke
kantor Dep. Tenaga Kerja setempat. Bila di instansi ini tak juga
rampung, pihak yang dirugikan bisa mengadu ke P4D dan bila perlu
terus ke P4P. Jika di instansi ini kedua pihak masih ada yang
belum puas, Menteri Nakertrans dapat menggunakan hak vetonya
untuk menjatuhkan vonis paling akhir. Tapi, "selama ini belum
pernah Menteri nlenggunakan hak veto itu," ungkap Soebagyo.
HAMPlR separuh dari hampir lima ratus kasus perselisihan dan
perburuhan yang ditangani P4P selama 1979/1980 terjadi di
perusahaan asing (PMA). Dan hingga tahun lalu tercatat hampir
400.000 buruh hekerja di sekitar sembilan ratus empat puluh
perusahaan asing di Indonesia. Terbesar di antaranya adalah
perusahaan obat-obatan. Menyusul pengolahan logam, kayu dan
tekstil.
Perusahaan asing tentu saja mendapat inceran utama dari para
pencari kerja. Sebab umumnya perusahaan dengan modal luar itu
dikenal biasa memberi gaji lebih tinggi dibanding perusahaan
nasional atau sejenisnya. Tapi dalam UU No. 1/1967 tentang
Penanaman Modal Asing, tak disinggung secara khusus hubungan
perburuhan perusahaanperusahaan jenis ini. Sebab sepanjang yang
menyangkut perburuhan, semua UU dan Peraturan Perburuhan yang
ada diberlakukan -- juga di perusahaan-perusahaan asing itu.
Namun menurut beberapa tokoh SB Basis, justru di perusahaan
asing ini perselisihan paling sulit diselesaikan. Barangkali
karena mereka benar-benar menerapkan prinsip mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya. "Atau karena umumnya mereka tak memahami
situasi pekerja-pekerja Indonesia," seperti pendapat Ahmad Akbar
(bukan nama sebenarnya), seorang buruh di pabrik obat-obatan
Bayer di jalan raya Bogor-Jakarta.
Sepengetahuan Akbar, di pabrik ini sudah berdiri SB Farmasi
Basis Bayer sejak beberapa tahun lalu, dengan anggota lebih dari
400 orang -- kebanyakan wanita. Ia bahkan rela kena pungutan Rp
100 tiap bulan sebagai iuran pada SB yang dipotong lewat
pembayaran gaji. "Tapi sampai sekarang di sini belum ada
Perjanjian Kerja Buruh," tambah Akbar. Ia dan beberapa kawannya
mengeluh karena di pabrik obat itu pengobatan karyawan hanya
diganti perusahaan 50 hingga 75% dari kuitansi yang diajukan.
"Kami ingin 100% diganti," kata Akbar.
Meskipun begitu, Akbar tampaknya cukup puas dengan penghasilan
tiap bulan yang diterimanya. Bahkan, katanya, selain gaji tetap,
setiap tahun karyawan menerima bonus sebesar 1« bulan gaji, uang
lembur, uang transpor, makan siang dan cuti selama 18 hari
setiap 3 tahun. Selain itu tiap karyawan juga mendapat Jaminan
asuransi tenaga kera (Astek dengan membayar 1% dari gaji tiap
bulan. "Dan perusahaan menambah 2%," katanya pula.
Kondisi yang dianggap memuaskan - tapi masih diminta
disempurnakan itu - tak selamanya berlaku di perusahaan asing
lain. Januari 1980 lebih dari dua ratus limapuluh buruh tenaga
harian lepas (THL) pabrik tekstil PT SCTI (Southern Cross
Textile Industry) mengadukan nasib ke DPR-RI. Mereka merasa
diperlakukan tak wajar oleh pihak perusahaan. Antara lain karena
sudah bekerja tiga hingga delapan tahun masih tetap berstatus
THL. Untunglah perjuangan mereka berhasil, sebagian besar tak
lama kemudian diangkat menjadi pegawai tetap.
Tapi Sarju, 28 tahun (nama samaran) seorang di antara pengadu ke
DPR dan yang statusnya hingga sekarang tetap THL. Ia sendiri
sudah lebih lima tahun bekerja di pabrik milik Jepang itu.
Sebagai THL setiap hari upahnya tak sampai Rp 850 -- dan ini
segala-galanya. Artinya uang transpor dan pengobatan sudah
termasuk di dalamnya. Jika lembur ia mendapat Rp 125 per jam.
Dengan ijazah SD-nya, tampaknya ia sudah menyerah pada nasib.
Tapi bila melihat anak-anaknya yang semakin besar, pikirannya
kacau balau. "Bagaimana mereka nanti," keluhnya seperti pada
diri sendiri. Sebab itu, tambahnya "saya lebih banyak tidur di
masjid untuk menenangkan pikiran."
Di SCTI itu sampai sekarang belum ada PKB. Menurut Idris (juga
nama samaran), teman Sarju, pengurus SB di sini pernah menyusun
PKB. "Tapi konsepnya hilang begitu saja, sampai kepengurusan SB
berganti tangan," tutur Idris, "dan pengurus sekarang tak
melanjutkannya." Karena itu ia mengusulkan agar kepengurusan SB
lebih dari satu atau dua tahun, "agar sempat berbuat, sebelum
masa jabatannya habis." Di pabrik ini bekerja sekitar 1.600
buruh, 40% di antaranya wanita.
Sebagian buruh tekstil PT Evershineex di Kedunghaur, Bogor, saat
ini sedang gelisah. Tak lama setelah Mulani ketua SBTS/FBSI
(Serikat Buruh Tekstil dan Sandang) di sana diberhentikan dengan
tuduhan merusak mesin pabrik -- dan kini persoalannya sedang
ditangani P4P -- beberapa buruh perusahaan milik Taiwan itu
menyatakan diri makin ditekan. Terutama yang berkulit sawo
matang. Kata-kata kasar sering dilontarkan oleh seorang teknikus
berkebangsaan Taiwan di pabrik itu. Misalnya ketika kelingking
tangan seorang pekerja putus digilas mesin. Yang diterima buruh
itu ternyata hanya caci maki dan bukan pengobatan yang
semestinya.
SEMUA itu dikeluhkan Karmani (nama samaran) yang sudah bekerja
di pabrik itu sejak lebih 4 tahun lalu. Cerita karmani mungkin
tak seluruhnya benar. Pimpinan pabrik sendiri tak bisa dihubungi
untuk memberikan keterangan. Banyak pimpinan perusahaan memang
tak bersedia bicara.
Karmani sendiri masih berstatus buruh mingguan, dengan upah tak
sampai Rp 550 sehari, tanpa premi mingguan. "Ini pun sudah
dinaikkan setelah sebuah tim dari DPR-RI meninjau pabrik itu
Januari lalu, dan meminta agar penghasilan buruh diperbaiki "
kata Karmani.
Meskipun demikian, ia masih belum puas dengan penghasilannya.
Untuk itu sudah berkali-kali ia mengajukan usul perbaikan lewat
SBTS, namun belum ada hasilnya. "Saya sendiri melihat SBTS di
sini belum berfungsi," tuturnya, "sebab masalah-masalah
perburuhan selalu diurus sendiri oleh bagian personalia
perusahaan."
Buruh-buruh kasar yang rumahnya jauh dari pabrik tekstil ini
ditampung dalam bedeng yang dipetak-petak berukuran 2 x 3 meter,
tak jauh dari pabrik itu. Semua ada 131 petak dan dihuni oleh
676 jiwa, termasuk keluarga para pekerja. Mereka bekerja
seminggu penuh, masing-masing 8 jam. Bila tak masuk kerja pada
hari Minggu, dipotong upah untuk 2 hari kerja. Meskipun dengan
memberitahu, bila 3 hari berturutturut tak masuk kerja, sang
buruh tak perlu kaget kalau menerima PHK, tanpa pesangon
apa-apa. Gaji buruh terendah di sini Rp 517 sehari, plus makan
siang dan sepotong kue seharga Rp 25 jika giliran bekerja malam.
Tapi nasib buruh Sariman, di pabrik sepeda motor Honda, PT
Federal Motor, Jakarta, ternyata lebih baik. Memang sampai
sekarang ia pulang pergi bekerja dengan sepeda tuanya seraya
harus puas memandangi puluhan truk setiap hari mengangkut sepeda
motor keluar pabrik. Namun ia cukup puas dengan penghasilan yang
diterimanya setiap bulan.
Bekerja di pabrik ini sejak 1973, Sariman kini setiap bulan
digaji hampir mencapai Rp 40 000, ditambah uang transpor Rp
7.500. Tapi sebagaimana karyawan-karyawan lainnya di pabrik ini,
ia juga menerima 15 bulan gaji dan dana pengobatan penuh.
Sebelum harga BBM naik, ia masih dapat menyisakan penghasilannya
untuk ditabung. "Tapi setelah BBM naik, pas-pasan," katanya
sambil tersenyum.
Selain mampu membayar kontrak rumah Rp 75.000 setahun, Sariman
bersama istri dan kedua anaknya, kini memiliki sebidang tanah
kapling. "Saya akan menyekolahkan anak saya setinggi-tingginya,"
ungkapnya, "karena dengan begitu kedudukan mereka tak akan
serendah saya." la hanya menelan pendidikan SD.
Walaupun belum memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB),
buruh-buruh di pabrik susu Indomilk di jalan raya Bogor-Jakarta,
selalu bekerja dengan tenang. Setidak-tidaknya karena mereka
boleh minum susu sesuka hati dan dapat membelinya dengan harga
lebih murah. Malahan Salim (bukan nama sebenarnya) dengan
menabung uang lemburnya, kini memiliki rumah yang cukup bagus
dan sebidang kebun cengkih di daerah Bogor.
Bekerja sebagai pegawai tetap sejak 10 tahun lalu, Salim kini
bergaji lebih dari Rp 80.000 tiap bulan, dibayar setiap 2
minggu. Penghasilannya dari jamjam lemburnya terkadang hampir
separuh dari pendapatannya setiap bulan.
Di pabrik susu milik perusahaan patungan Australia-lndonesia itu
bekerja 385 orang buruh. Mereka terbagi dalam 11 bagian dan
masing-masing bagian mengirim wakilnya untuk duduk dalam
kepengurusan SB Indomilk/FBSI. Beherapa masalah perburuhan
pernah timbul tapi menurut Bambang Utoro, ketua SB Indomilk,
berhasil diselesaikan secara musyawarah. Bahkan satu persoalan
yang sempat masuk ke P4D, berhasil ditarik kembali "dan selesai
secara intern".
Bambang mengakui PKB belum ada di pabrik ini. Tapi baik pihak
buruh maupun pengusaha, kim sedang menggodok konsep
masing-masing. "Dalam waktu dekat ini kami akan mempertemukan
konsep kami," tambah Bambang.
Terjadi keresahan buruh atau tidak di suatu perusahaan, umumnya
para pimpinan SB Basis setempat mengharapkan hubungan yang lebih
dekat dengan induk mereka yaitu FBSI. Sebab seorang pimpinan SB
Basis di Jakarta, mengungkapkan, sampai sekarang belum seorang
pun pengurus FBSI wila! ah maupun pusat yang mengunjungi
Basisnya. "Padahal kunjungan itu perlu, agar kami merasa
diperhatikan dan sekaligus disegani pengusaha," kata pimpinan
SB Basis itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini