Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ingatlah Sugema

Sugewa, buruh van houten dipecat padahal merasa tak bersalah, kasusnya kini dalam penyelesaian. fbsi ternyata belum begitu masuk ke tiap perusahaan dan menelantarkan buruh.

21 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB Sugema Wahab masih belum berketentuan. Setelah dipecat dari jabatannya sebagai supervisor gudang di PT General Food Industry yang memproduksi coklat Van Houten di daerah Bogor, tujuh bulan lalu, ketua Basis SBMM FBSI (Serikat Buruh Makanan dan Minuman) ini, sampai sekarang terpaksa menganggur. Dan karena biaya hidup yang semakin sulit, bulan lalu ia terpaksa mengungsikan dua orang anaknya ke rumah mertuanya di Jatinegara, Jakarta Timur. Sebagai ketua SB, Sugema Wahah, 30 tahun, dikenal dekat dengan buruhburuh lainnya. Tapi dengan jabatannya itu ternyata ia tidak disenangimajikannya. Sebuah sumber mengatakan ia dituduh menghasut beberapa karyawan agar tidak bekerja. Akhir 1979 ia dikenakan PHK (pemutusan hubungan kerja), yang kemudian disusul delapan orang rekan sekerjanya. Usaha pihak DPP-PBSI untuk mencoba mendamaikan pertikaian itu tak berhasil. Pihak GFI pernah dinyatakan menghalang-halangi kunjungan beberapa orang pengurus Departemen Pembelaan DPP-FBSI. Mereka ini datang berusaha mencari perdamaian. Kejadian ini menyebabkan Oka Mahendra, SH, sekretaris Pembelaan DPP-FBSI meminta DPR agar menggunakan Hak Interpelasi mengenai perusahaan-perusahaan PMA. Namun usaha ini kemudian tak terdengar kelanjutannya. Akibatnya, perkara Sugema harus jatuh ke tangan P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) di Bandung. Dan dalam keputusannya 12 Maret lalu, P4D mengizinkan PT GFI melakukan PHK terhadap Sugema, dengan ketentuan perusahaan itu harus memberi uang PHK sebesar Rp 1,5 juta kepada bekas buruhnya itu. Tapi Sugema menolak. "Karena saya tetap merasa tidak bersalah," katanya pekan lalu kepada TEMPO. Karena itu ia melangsungkan perkaranya ke P4P di Jakarta. Ia masih harus menunggu penyelesaian hingga hari ini. Adapun dela,oan orang aktivis SBMM lainnya yang dipecat setelah Sugema, masih dalam penyelesaian FBSI. Peristiwa Sugema dkk adalah keributan untuk kedua kalinya di pabrik yang sama. Sebelumnya, pertengahan 1978, sebanyak tiga puluh empat karyawannya dikabarkan disekap pimpinan perusahaan itu dalam ruang berukuran 2 x 3 meter. Para buruh itu menuntut perbaikan nasib. (TMPO, 29 Juli 1978). Tapi semua itu hanya contoh: FBSI belum begitu saja masuk ke tiap perusahaan dengan kata putus. Satu perkara harus berbuntut panjang dan menelantarkan sang buruh. Tapi jangankan organisasi buruh, aparat pemerintah dalam bidang pertikaian perburuhan ini, yaitu P4D maupun P4P, masih sering terbentur pada kebandelan pengusaha, maupun buruh sendiri. Memang belum pernah terjadi, izin usaha satu perusahaan dicabut karena dianggap telah menyia-nyiakan buruhnya. Meskipun demikian, Dirjen Aneka Industri Departemen Perindustrian, K. Hadinoto, belum lama ini telah memanggil dan memperingatkan seorang pemilik pabrik. Pengusaha ini ternyata patuh. Ia bersedia menlbayar uang lembur karyawannya, yang selama ini dituntut Perkaranya sempat diputus P4P dengan kekalahan di pihak pengusaha. Hadinoto memang tak ingin membuat kesan, seolah-olah instansinya adalah tingkat terakhir dalam menyelesaikan setiap sengketa perburuhan. Sebab yang berhak mengurus soal itu adalah Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Juga ada P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat), P4 Daerah, FBSI dan akhirnya yang paling bawah, SB Basis. Bahwa pemanggilan terhadap pengusaha di atas (yang tak disebutkan namanya) dilakukannya juga itu karena keputusan berbagai pihak yang berwenang mengurus perselisihan perburuhan tak dihiraukan si pengusaha. Dirjen Aneka Industri mengakui "Dalam menghadapi pengusaha, saya lebih punya gigi dari Dirjen Binalindung (Depnakertrans," katanya setengah bergurau Hanya kalau Ditjen Binalindung kewalahan menghadapi kebandelan pengusaha, biasanya instansi ini menyurati Ditjen Aneka Industri agar si pengusaha diperingatkan. "Dan biasanya seteiah pengusaha itu kami panggil, ia menurut," ungkap Hadinoto lagi. Keruwetan menyelesaikan pertikaian perburuhan selama ini memang lebih banyak muncul karena para pengusaha banyak mengabaikan FBSI maupun instansi-instansi yang bertanggungjawab untuk itu. Mungkin beralasan, mungkin tidak, baik SB maupun instansi-instansi itu biasanya dipandang dengan curiga oleh sebagian pengusaha. Kejadian di pabrik coklat Van Houten tadi atau perselisihan di PT Djabesmen (Jakarta) adalah contoh-contoh yang cukup jelas tentang hal itu. Di Djabesmen perselisihan timbul karena soal hari kerja. Sebanyak duabelas orang buruh aktivis SB di sana menolak perubahan hari libur yang disodorkan perusahaan secara sepihak. Tapi sebelum FBSI turut menangani, pihak pengusaha mencoba menekan para pekerja itu melalui POM-ABRI. Mereka dituduh akan membuat kekacauan dan lalu dipecat. Keadaan telah demikian buruk, sehingga P4P menetujui duabelas orang buruh tadi dikenakan PHK dengan mewajibkan pengusaha membayar pesangon dan ganti rugi kepada buruh-buruh tadi. Tapi dalam vonisnya, P4P tak lupa menyesalkan tindakan pengusaha pabrik ini -- yang telah mengikutsertakan POM-ABRI. Berarti, telah masuk satu instansi yang tak ada hubungannya dengan penyelesaian perselisihan perburuhan. Tapi mengikutsertakan pihak ketiga, yang dianggap tak ada hubungan langsung dengan perburuhan, tidak hanya dilakukan oleh pihak pengusaha. Mengadu ke DPR, sebagaimana yang sering dilakukan kaum buruh akhir-akhir ini, dianggap Menteri Nakertrans, Harun Zain, sebagai "mengadukan nasib kepada pihak ketiga." Dan karenanya, kata Harun Zain, mengabaikan "Undang-undang dan Peraturan yang berlaku. " Ketika melantik P4P 6 Juni lalu, Menteri Nakertrans menyelsaikan hal itu. Pada tingkat pertama, Harun Zain meminta agar FBSI tetap diberi kepercayaan untuk memperjuangkan perbaikan nasib kaum pekerja. Mengandalkan FBSI untuk itu memang menjadi harapan organisasi itu sendiri. "Dan kami sudah berbuat semaksimal mungkin untuk itu," kata Wakil Ketua DPP-FBSI, Taherransyah Karim, "tapi karena berbagai faktor banyak usaha FBSI tidak begitu tangguh."Ia tak menjelaskan faktor-faktor itu, kecuali "Semuanya -- yang menyebabkan persoalan buruh menjadi lingkaran setan. " Tapi kemudian Taherransyah menggambarkan posisi FBSI yang serba terjepit. "Terlalu dekat pada buruh, FBSI dicurigai," tambah Taherransyah, "tapi jika terlihat agak berbaik-baik dengan pengusaha, buruh curiga." Tapi menggantungkan nasib kaum buruh, bagi Oka Mahendra, S.H. sebaiknya tak hanya pada FBSI. "Ada tiga hal penting," tutur Oka, "yaitu melaksanakan secara tegas peraturan hukum yang ada tentang perburuhan, mencipta kan iklim politik yang sesuai dengan GBHN dan barulah serikat buruh yang kuat dan dengan pengurus yang tahan bujukan pengusaha." la menunjuk, misalnya, keputusan P4P 12 Mei 1980 tentang pemecatan 12 buruh Djabesmen sebagai menyalahi Peraturan Menteri Nakertrans No. 02/1978. Karena dalam keputusan itu P4P menerima pemecatan yang dilakukan PT Djabesmen terhadap 12 karyawannya. Padahal dalam peraturan perburuhan, dalam kasus serupa itu, tak diperkenankan melakukan PHK. FBSI memang banyak dipandang sebagai SB yang belum seluruhnya bulat. Di samping di dalam tubuhnya masih sering terdapat berbagai benturan (antara berbagai SB lama), juga menurut sumber TEMPO beberapa pengurus daerah FBSI ternyata mempunyai "kapling" di berbagai perusahaan. "Ongkang-ongkang di rumah, setiap bulan dapat upeti dari perusahaan itu," kata sumher TEMPO. KETUJUHBELAS kasus perburuhan yang ditangani Departemen Pembelaan DPP-FBSI hingga pertengahan 1980 ini, umumnya berpangkal pada pemutusan hubungan kerja (PHK), masalah upah dan status buruh. Dan kasus-kasus itu terjadi baik di perusahaan yang sudah memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB/CLA) maupun yang belum. PKB, yang diharuskan ada di tiap perusahaan berdasar UU No. 21/1954, disusun bersama buruh dan perusahaan. Ia memuat hak serta kewajiban kedua pihak, dan juga mencantumkan cara-cara menyelesaikan perselisihan. Namun bukan saja soal hak atau kewajiban di dalam PKB yang sering dilanggar. Ketentuan cara menyelesaikan perselisihan juga tak jarang dilangkahi kedua pihak. "Sebab tak ada sanksi hukumnya bila tak menaati atau pun tak membuat PKB," kata Kepala Elumas Depnakertrans, Soebagyo. Rahlan tambah Soebagyo, dalam Peraturan Menteri Nakertrans No. 02/1978 yang mewajibkan perusahaan yang belum memiliki PKB agar membuatnya, juga tak ada sanksi hukum bila tidak dilakukan. Karena itu mudah dipahami bila suatu perselisihan dapat berakibat panjang. Akhirnya nasib seorang buruh terkatung selama bertahun-tahun. Karena PKB tak punya sanksi hukum, menurut Soebagyo setiap perselisihan diharapkan selesai antara SB Basis dengan pihak majikan. Jika ini tak beres, salah satu pihak dapat mengadu ke kantor Dep. Tenaga Kerja setempat. Bila di instansi ini tak juga rampung, pihak yang dirugikan bisa mengadu ke P4D dan bila perlu terus ke P4P. Jika di instansi ini kedua pihak masih ada yang belum puas, Menteri Nakertrans dapat menggunakan hak vetonya untuk menjatuhkan vonis paling akhir. Tapi, "selama ini belum pernah Menteri nlenggunakan hak veto itu," ungkap Soebagyo. HAMPlR separuh dari hampir lima ratus kasus perselisihan dan perburuhan yang ditangani P4P selama 1979/1980 terjadi di perusahaan asing (PMA). Dan hingga tahun lalu tercatat hampir 400.000 buruh hekerja di sekitar sembilan ratus empat puluh perusahaan asing di Indonesia. Terbesar di antaranya adalah perusahaan obat-obatan. Menyusul pengolahan logam, kayu dan tekstil. Perusahaan asing tentu saja mendapat inceran utama dari para pencari kerja. Sebab umumnya perusahaan dengan modal luar itu dikenal biasa memberi gaji lebih tinggi dibanding perusahaan nasional atau sejenisnya. Tapi dalam UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, tak disinggung secara khusus hubungan perburuhan perusahaanperusahaan jenis ini. Sebab sepanjang yang menyangkut perburuhan, semua UU dan Peraturan Perburuhan yang ada diberlakukan -- juga di perusahaan-perusahaan asing itu. Namun menurut beberapa tokoh SB Basis, justru di perusahaan asing ini perselisihan paling sulit diselesaikan. Barangkali karena mereka benar-benar menerapkan prinsip mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. "Atau karena umumnya mereka tak memahami situasi pekerja-pekerja Indonesia," seperti pendapat Ahmad Akbar (bukan nama sebenarnya), seorang buruh di pabrik obat-obatan Bayer di jalan raya Bogor-Jakarta. Sepengetahuan Akbar, di pabrik ini sudah berdiri SB Farmasi Basis Bayer sejak beberapa tahun lalu, dengan anggota lebih dari 400 orang -- kebanyakan wanita. Ia bahkan rela kena pungutan Rp 100 tiap bulan sebagai iuran pada SB yang dipotong lewat pembayaran gaji. "Tapi sampai sekarang di sini belum ada Perjanjian Kerja Buruh," tambah Akbar. Ia dan beberapa kawannya mengeluh karena di pabrik obat itu pengobatan karyawan hanya diganti perusahaan 50 hingga 75% dari kuitansi yang diajukan. "Kami ingin 100% diganti," kata Akbar. Meskipun begitu, Akbar tampaknya cukup puas dengan penghasilan tiap bulan yang diterimanya. Bahkan, katanya, selain gaji tetap, setiap tahun karyawan menerima bonus sebesar 1« bulan gaji, uang lembur, uang transpor, makan siang dan cuti selama 18 hari setiap 3 tahun. Selain itu tiap karyawan juga mendapat Jaminan asuransi tenaga kera (Astek dengan membayar 1% dari gaji tiap bulan. "Dan perusahaan menambah 2%," katanya pula. Kondisi yang dianggap memuaskan - tapi masih diminta disempurnakan itu - tak selamanya berlaku di perusahaan asing lain. Januari 1980 lebih dari dua ratus limapuluh buruh tenaga harian lepas (THL) pabrik tekstil PT SCTI (Southern Cross Textile Industry) mengadukan nasib ke DPR-RI. Mereka merasa diperlakukan tak wajar oleh pihak perusahaan. Antara lain karena sudah bekerja tiga hingga delapan tahun masih tetap berstatus THL. Untunglah perjuangan mereka berhasil, sebagian besar tak lama kemudian diangkat menjadi pegawai tetap. Tapi Sarju, 28 tahun (nama samaran) seorang di antara pengadu ke DPR dan yang statusnya hingga sekarang tetap THL. Ia sendiri sudah lebih lima tahun bekerja di pabrik milik Jepang itu. Sebagai THL setiap hari upahnya tak sampai Rp 850 -- dan ini segala-galanya. Artinya uang transpor dan pengobatan sudah termasuk di dalamnya. Jika lembur ia mendapat Rp 125 per jam. Dengan ijazah SD-nya, tampaknya ia sudah menyerah pada nasib. Tapi bila melihat anak-anaknya yang semakin besar, pikirannya kacau balau. "Bagaimana mereka nanti," keluhnya seperti pada diri sendiri. Sebab itu, tambahnya "saya lebih banyak tidur di masjid untuk menenangkan pikiran." Di SCTI itu sampai sekarang belum ada PKB. Menurut Idris (juga nama samaran), teman Sarju, pengurus SB di sini pernah menyusun PKB. "Tapi konsepnya hilang begitu saja, sampai kepengurusan SB berganti tangan," tutur Idris, "dan pengurus sekarang tak melanjutkannya." Karena itu ia mengusulkan agar kepengurusan SB lebih dari satu atau dua tahun, "agar sempat berbuat, sebelum masa jabatannya habis." Di pabrik ini bekerja sekitar 1.600 buruh, 40% di antaranya wanita. Sebagian buruh tekstil PT Evershineex di Kedunghaur, Bogor, saat ini sedang gelisah. Tak lama setelah Mulani ketua SBTS/FBSI (Serikat Buruh Tekstil dan Sandang) di sana diberhentikan dengan tuduhan merusak mesin pabrik -- dan kini persoalannya sedang ditangani P4P -- beberapa buruh perusahaan milik Taiwan itu menyatakan diri makin ditekan. Terutama yang berkulit sawo matang. Kata-kata kasar sering dilontarkan oleh seorang teknikus berkebangsaan Taiwan di pabrik itu. Misalnya ketika kelingking tangan seorang pekerja putus digilas mesin. Yang diterima buruh itu ternyata hanya caci maki dan bukan pengobatan yang semestinya. SEMUA itu dikeluhkan Karmani (nama samaran) yang sudah bekerja di pabrik itu sejak lebih 4 tahun lalu. Cerita karmani mungkin tak seluruhnya benar. Pimpinan pabrik sendiri tak bisa dihubungi untuk memberikan keterangan. Banyak pimpinan perusahaan memang tak bersedia bicara. Karmani sendiri masih berstatus buruh mingguan, dengan upah tak sampai Rp 550 sehari, tanpa premi mingguan. "Ini pun sudah dinaikkan setelah sebuah tim dari DPR-RI meninjau pabrik itu Januari lalu, dan meminta agar penghasilan buruh diperbaiki " kata Karmani. Meskipun demikian, ia masih belum puas dengan penghasilannya. Untuk itu sudah berkali-kali ia mengajukan usul perbaikan lewat SBTS, namun belum ada hasilnya. "Saya sendiri melihat SBTS di sini belum berfungsi," tuturnya, "sebab masalah-masalah perburuhan selalu diurus sendiri oleh bagian personalia perusahaan." Buruh-buruh kasar yang rumahnya jauh dari pabrik tekstil ini ditampung dalam bedeng yang dipetak-petak berukuran 2 x 3 meter, tak jauh dari pabrik itu. Semua ada 131 petak dan dihuni oleh 676 jiwa, termasuk keluarga para pekerja. Mereka bekerja seminggu penuh, masing-masing 8 jam. Bila tak masuk kerja pada hari Minggu, dipotong upah untuk 2 hari kerja. Meskipun dengan memberitahu, bila 3 hari berturutturut tak masuk kerja, sang buruh tak perlu kaget kalau menerima PHK, tanpa pesangon apa-apa. Gaji buruh terendah di sini Rp 517 sehari, plus makan siang dan sepotong kue seharga Rp 25 jika giliran bekerja malam. Tapi nasib buruh Sariman, di pabrik sepeda motor Honda, PT Federal Motor, Jakarta, ternyata lebih baik. Memang sampai sekarang ia pulang pergi bekerja dengan sepeda tuanya seraya harus puas memandangi puluhan truk setiap hari mengangkut sepeda motor keluar pabrik. Namun ia cukup puas dengan penghasilan yang diterimanya setiap bulan. Bekerja di pabrik ini sejak 1973, Sariman kini setiap bulan digaji hampir mencapai Rp 40 000, ditambah uang transpor Rp 7.500. Tapi sebagaimana karyawan-karyawan lainnya di pabrik ini, ia juga menerima 15 bulan gaji dan dana pengobatan penuh. Sebelum harga BBM naik, ia masih dapat menyisakan penghasilannya untuk ditabung. "Tapi setelah BBM naik, pas-pasan," katanya sambil tersenyum. Selain mampu membayar kontrak rumah Rp 75.000 setahun, Sariman bersama istri dan kedua anaknya, kini memiliki sebidang tanah kapling. "Saya akan menyekolahkan anak saya setinggi-tingginya," ungkapnya, "karena dengan begitu kedudukan mereka tak akan serendah saya." la hanya menelan pendidikan SD. Walaupun belum memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB), buruh-buruh di pabrik susu Indomilk di jalan raya Bogor-Jakarta, selalu bekerja dengan tenang. Setidak-tidaknya karena mereka boleh minum susu sesuka hati dan dapat membelinya dengan harga lebih murah. Malahan Salim (bukan nama sebenarnya) dengan menabung uang lemburnya, kini memiliki rumah yang cukup bagus dan sebidang kebun cengkih di daerah Bogor. Bekerja sebagai pegawai tetap sejak 10 tahun lalu, Salim kini bergaji lebih dari Rp 80.000 tiap bulan, dibayar setiap 2 minggu. Penghasilannya dari jamjam lemburnya terkadang hampir separuh dari pendapatannya setiap bulan. Di pabrik susu milik perusahaan patungan Australia-lndonesia itu bekerja 385 orang buruh. Mereka terbagi dalam 11 bagian dan masing-masing bagian mengirim wakilnya untuk duduk dalam kepengurusan SB Indomilk/FBSI. Beherapa masalah perburuhan pernah timbul tapi menurut Bambang Utoro, ketua SB Indomilk, berhasil diselesaikan secara musyawarah. Bahkan satu persoalan yang sempat masuk ke P4D, berhasil ditarik kembali "dan selesai secara intern". Bambang mengakui PKB belum ada di pabrik ini. Tapi baik pihak buruh maupun pengusaha, kim sedang menggodok konsep masing-masing. "Dalam waktu dekat ini kami akan mempertemukan konsep kami," tambah Bambang. Terjadi keresahan buruh atau tidak di suatu perusahaan, umumnya para pimpinan SB Basis setempat mengharapkan hubungan yang lebih dekat dengan induk mereka yaitu FBSI. Sebab seorang pimpinan SB Basis di Jakarta, mengungkapkan, sampai sekarang belum seorang pun pengurus FBSI wila! ah maupun pusat yang mengunjungi Basisnya. "Padahal kunjungan itu perlu, agar kami merasa diperhatikan dan sekaligus disegani pengusaha," kata pimpinan SB Basis itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus