Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

La culotte noire de pasar ngawi ...

Negeri ini kini selalu gandrung dengan segala mode. berbagai jenis mode show dan kursus modeling di adakan: perlu diciptakan pakaian yang sedang mode tapi terjangkau oleh masyarakat bawah.

21 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNAH mendengar kota yang bernama Ngawi? Ada lho! Itu kota kelahiran saya. Kotanya begitu kecil sehingga bila pagi-pagi para pensiunan yang pada jalan-jalan di sekitar alun-alun itu pada batuk atau bersin bersama, seluruh kota akan mendengarnya. Dengan demikian mereka, para pensiunan itu, berfungsi juga sebagai wekker bagi penduduk sekitar alun-alun. Begitu batuk, bersin serta cekoh yang berbunyi koeek-cuh itu terdengar penduduk pun tahu fajar sudah hampir merekah . . . Sepanjang ingatan saya kebanggan kota itu ada beberapa biji. Alun-alunnya yang konon paling luas di seluruh Karesidenan Madiun, tempenya dengan ke-lelai yang meyakinkan padatnya, tepo atau tahu-goreng-kecap yang khas bumbunya dan pasar-pasarnya. Dulu favorit saya adalah pasar ternak di belakang sawah kakek saya.- Bukan ternaknya yang menarik, tapi tukang-obat yang dengan kompetisi yang dahsyat pada adu kepinteran membujuk para peternak dan petani yang pada berbelanja di situ. Dalam perjalanan-sentimental ke kota-kelahiran belum lama berselang saya mendapatkan pasar-ternak itu sudah pindah ke pinggiran kota yang lebih jauh lagi. Maka saya mengalihkan acara kunjungan ke pasar-besar di tengah kota. Syukur alhamdulillah pasar itu belum disulap menjadi satu shopping center gaya baru --satu simbol status yang agaknya dianggap begitu penting bagi banyak kota di negeri kita sekarang, seakan-akan deretan toko-toko yang sarat dengan barang-barang mewah yang diimpor itu akan sanggup menutup bau sampah di dalam pasar apalagi menutup kemelaratan rakyat kecil yang biasa berbelanja ke pasar. Pasar Ngawi itu masih tetap merupakan pasar-desa yang besar. Masih dijual di situ dengan lengkap alat-alat pertanian yang dibuat oleh pande-besi kampung, tikar-tikar, cemeti, alat dapur seperti cobek dan lumpang batu dan tentu saja juga segala ramuan dedaunan obat tradisional, jajanan yang berwarna merah-kuning-norak dan buah-buahan "purba" seperti kepel, jambu-mete, mundu, srikaya-biji, blimbing-wuluh Kemudian, ah ya . ., los yang panjang yang khusus menderetkan dan menggantungkan baju-baju keluarga petani itu! Sarung-sarung, kain batik kasar, kebaya-kebaya berwarnawarni bagaikan sirop, ikat-pinggang kulit berdompet yang kolosal ukurannya dan celana-celana hitam komprang celanadinas para petani kalau mereka mesti turun ke sawah. Demi untuk kerinduan saya membeli dua celana-komprang hitam yang besar. Celana itu panjangnya hingga di bawah lutut berukuran longgar (karena itu disebut komprang) dan berkoior panjang. Pada musim panas yang menyengat seperti sekarang ini celana-petani ini sangatlah terasa enak dan comfortable. Dibanding dengan celana-dalam biasa terang dia lebih sopan, sedang dibanding dengan sarung pastilah dia lebih isis. Pendeknya celana-komprang made in Ngawi ini sangatlah kontemporer dan relevan buat menghadapi the long hot summer tahun ini. Akan tetapi di rumah satu perkembangan yang unik dari celana ini terjadi. Mbak, anakku yang sulung yang mahasiswi itu, tahu-tahu ikut jatuh cinta celana ini dan begitu saja disabetnya satu dari celana-komprangku itu. Dan masya Allah celana-komprang itu dipakainya juga keluar rumah main ke rumah temannya. Dengan berseri-seri dia berceritera kemudian bahwa celana-komprang itu merupakan satu sukses besar. Teman-temannya pada mau ikut pesan ke Ngawi. Ini 'kan kulot yang paling stiil, pak. Pribumi lagi . . . Mode, fashion sudah adakah bahasa lndonesia-nya yang pas? di Malaysia begitu saja disebut feshen. Di sini dahulu kaIau tidak salah penulis wanita Nursyamsu pernah mencoba dengan kata laziman dalam salah satu cerpennya di majalah Siasat. Agaknya kata ini tidak sempat populer. Maka kita begitu saja memakai mode sebagai istilah kita sendiri. Ini tidak mengherankan. Mode atau fashion itu memang sesuatu yang khas di Barat sono. Musim mereka yang semi, panas, gugur dan dingin itu menuntut pakaian yang berlainan pada setiap pergantian musim. Kemudian pada waktu roda serba-komersialisasi mereka berputar dengan dahsyatnya di segala bidang jadilah ganti-pakaian pada setiap musim itu suatu komoditi dagang. Dan kita yang sudah telanjur suka berkiblat pada gaya-hidup negeri Barat, tidak ketinggalan ikutikut ganti baju pada setiap musim! Setiap musim? Musim kita yang cuma basah dan kering tapi yang terus sumuk, hareudang, sepanjang tahun itu? Ah, kalau kita setia mengikuti musim kita yang cuma dua macam itu alangkah terlalu sederhana mode pakaian modern kita! Dan sederhana agaknya bukan dianggap pasangan yang serasi, yang pas buat proses modernisasi kita. Maka juga di sini segera saja berlahiran maison deouture yang mewah dengan segala perancangnya yang mau terus menciptakan pakaian-pakaian yang tetap a la mode. Dan mode show demi mode show pun diadakan. Di hotel, restoran dan aula-aula gedung pemerintahan. Kursus-kursus modeling yang akan menghasilkan para peragawan dan peragawati yang akan menginjak-injak catwalk bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Majalah-majalah tidak ketinggalan ikut mendukung gqala mode itu dengan menyediakan halaman desain pakaian yang mutakhir. Pendeknya mode, fashion yang a la mode dengan gaya terakhir di dunia "modern" sono sudah in di negeri kita. Kalau toh bukan dari Sabang hingga Merauke, setidaknya dari Medan hingga Ujungpandang. Dan bagi mereka yang tidak begitu-berduit bebaskah mereka dari sentuhan mode ini? Tidak! Setidaknya buat tontonan mereka senang diberi undangan nonton mode show. Dan buat dipakai sendiri mereka suka pula menirunya. Maka berlahiranlah versi-versi lokal, pribumi, home-made dari berbagai fashion itu. Murah, pokoknya tidak ketinggalan zaman. Kalau kita renungkan alangkah jauh lebih banyak konsumen fashion yang duitnya pas-pasan daripada mereka yang langsung membeli originals dari Non Kawilarang, Peter Sie, Prayudi dan Iwan Tirta. Anak-anak muda, bapak dan ibu muda, pegawai-pegawai negeri, yang mau keluar dari hem-dan celana serta rok-dan-jurk-dan-blus yang itu-itu saja itu tapi yang tidak nyampe dompetnya! Tapi siapa lantas yang menampung keinginan yang aneh ini? Sudah adakah perusahaan konfeksi yang menciptakan fashion originals for the "jembels" ini? Apresiasi ada, pasaran ada, dompet tidak seberapa, marge keuntungan juga tidak seberapa. Tapi ada toh .... Si Mbak yang masih gandrung dengan celana-hitam-komprang made in Ngawi ingin mengfashionkan celana itu dengan label butik. La Culotte Kolor Noire de Pasar Ngawi. Agak kepanjangan tapi stiil dan gengsi, katanya! Nah, tuh . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus