PERNAH mendengar kota yang bernama Ngawi? Ada lho! Itu kota
kelahiran saya. Kotanya begitu kecil sehingga bila pagi-pagi
para pensiunan yang pada jalan-jalan di sekitar alun-alun itu
pada batuk atau bersin bersama, seluruh kota akan mendengarnya.
Dengan demikian mereka, para pensiunan itu, berfungsi juga
sebagai wekker bagi penduduk sekitar alun-alun. Begitu batuk,
bersin serta cekoh yang berbunyi koeek-cuh itu terdengar
penduduk pun tahu fajar sudah hampir merekah . . .
Sepanjang ingatan saya kebanggan kota itu ada beberapa biji.
Alun-alunnya yang konon paling luas di seluruh Karesidenan
Madiun, tempenya dengan ke-lelai yang meyakinkan padatnya, tepo
atau tahu-goreng-kecap yang khas bumbunya dan pasar-pasarnya.
Dulu favorit saya adalah pasar ternak di belakang sawah kakek
saya.- Bukan ternaknya yang menarik, tapi tukang-obat yang
dengan kompetisi yang dahsyat pada adu kepinteran membujuk para
peternak dan petani yang pada berbelanja di situ.
Dalam perjalanan-sentimental ke kota-kelahiran belum lama
berselang saya mendapatkan pasar-ternak itu sudah pindah ke
pinggiran kota yang lebih jauh lagi. Maka saya mengalihkan acara
kunjungan ke pasar-besar di tengah kota. Syukur alhamdulillah
pasar itu belum disulap menjadi satu shopping center gaya baru
--satu simbol status yang agaknya dianggap begitu penting bagi
banyak kota di negeri kita sekarang, seakan-akan deretan
toko-toko yang sarat dengan barang-barang mewah yang diimpor itu
akan sanggup menutup bau sampah di dalam pasar apalagi menutup
kemelaratan rakyat kecil yang biasa berbelanja ke pasar.
Pasar Ngawi itu masih tetap merupakan pasar-desa yang besar.
Masih dijual di situ dengan lengkap alat-alat pertanian yang
dibuat oleh pande-besi kampung, tikar-tikar, cemeti, alat dapur
seperti cobek dan lumpang batu dan tentu saja juga segala ramuan
dedaunan obat tradisional, jajanan yang berwarna
merah-kuning-norak dan buah-buahan "purba" seperti kepel,
jambu-mete, mundu, srikaya-biji, blimbing-wuluh Kemudian, ah ya
. ., los yang panjang yang khusus menderetkan dan menggantungkan
baju-baju keluarga petani itu!
Sarung-sarung, kain batik kasar, kebaya-kebaya berwarnawarni
bagaikan sirop, ikat-pinggang kulit berdompet yang kolosal
ukurannya dan celana-celana hitam komprang celanadinas para
petani kalau mereka mesti turun ke sawah. Demi untuk kerinduan
saya membeli dua celana-komprang hitam yang besar.
Celana itu panjangnya hingga di bawah lutut berukuran longgar
(karena itu disebut komprang) dan berkoior panjang. Pada musim
panas yang menyengat seperti sekarang ini celana-petani ini
sangatlah terasa enak dan comfortable. Dibanding dengan
celana-dalam biasa terang dia lebih sopan, sedang dibanding
dengan sarung pastilah dia lebih isis. Pendeknya celana-komprang
made in Ngawi ini sangatlah kontemporer dan relevan buat
menghadapi the long hot summer tahun ini.
Akan tetapi di rumah satu perkembangan yang unik dari celana ini
terjadi. Mbak, anakku yang sulung yang mahasiswi itu, tahu-tahu
ikut jatuh cinta celana ini dan begitu saja disabetnya satu dari
celana-komprangku itu. Dan masya Allah celana-komprang itu
dipakainya juga keluar rumah main ke rumah temannya. Dengan
berseri-seri dia berceritera kemudian bahwa celana-komprang itu
merupakan satu sukses besar. Teman-temannya pada mau ikut pesan
ke Ngawi.
Ini 'kan kulot yang paling stiil, pak. Pribumi lagi . . .
Mode, fashion sudah adakah bahasa lndonesia-nya yang pas? di
Malaysia begitu saja disebut feshen. Di sini dahulu kaIau tidak
salah penulis wanita Nursyamsu pernah mencoba dengan kata
laziman dalam salah satu cerpennya di majalah Siasat. Agaknya
kata ini tidak sempat populer. Maka kita begitu saja memakai
mode sebagai istilah kita sendiri.
Ini tidak mengherankan. Mode atau fashion itu memang sesuatu
yang khas di Barat sono. Musim mereka yang semi, panas, gugur
dan dingin itu menuntut pakaian yang berlainan pada setiap
pergantian musim. Kemudian pada waktu roda serba-komersialisasi
mereka berputar dengan dahsyatnya di segala bidang jadilah
ganti-pakaian pada setiap musim itu suatu komoditi dagang. Dan
kita yang sudah telanjur suka berkiblat pada gaya-hidup negeri
Barat, tidak ketinggalan ikutikut ganti baju pada setiap musim!
Setiap musim? Musim kita yang cuma basah dan kering tapi yang
terus sumuk, hareudang, sepanjang tahun itu? Ah, kalau kita
setia mengikuti musim kita yang cuma dua macam itu alangkah
terlalu sederhana mode pakaian modern kita! Dan sederhana
agaknya bukan dianggap pasangan yang serasi, yang pas buat
proses modernisasi kita.
Maka juga di sini segera saja berlahiran maison deouture yang
mewah dengan segala perancangnya yang mau terus menciptakan
pakaian-pakaian yang tetap a la mode. Dan mode show demi mode
show pun diadakan. Di hotel, restoran dan aula-aula gedung
pemerintahan. Kursus-kursus modeling yang akan menghasilkan para
peragawan dan peragawati yang akan menginjak-injak catwalk
bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Majalah-majalah
tidak ketinggalan ikut mendukung gqala mode itu dengan
menyediakan halaman desain pakaian yang mutakhir.
Pendeknya mode, fashion yang a la mode dengan gaya terakhir di
dunia "modern" sono sudah in di negeri kita. Kalau toh bukan
dari Sabang hingga Merauke, setidaknya dari Medan hingga
Ujungpandang.
Dan bagi mereka yang tidak begitu-berduit bebaskah mereka dari
sentuhan mode ini? Tidak! Setidaknya buat tontonan mereka
senang diberi undangan nonton mode show. Dan buat dipakai
sendiri mereka suka pula menirunya. Maka berlahiranlah
versi-versi lokal, pribumi, home-made dari berbagai fashion itu.
Murah, pokoknya tidak ketinggalan zaman.
Kalau kita renungkan alangkah jauh lebih banyak konsumen fashion
yang duitnya pas-pasan daripada mereka yang langsung membeli
originals dari Non Kawilarang, Peter Sie, Prayudi dan Iwan
Tirta. Anak-anak muda, bapak dan ibu muda, pegawai-pegawai
negeri, yang mau keluar dari hem-dan celana serta
rok-dan-jurk-dan-blus yang itu-itu saja itu tapi yang tidak
nyampe dompetnya!
Tapi siapa lantas yang menampung keinginan yang aneh ini? Sudah
adakah perusahaan konfeksi yang menciptakan fashion originals
for the "jembels" ini? Apresiasi ada, pasaran ada, dompet tidak
seberapa, marge keuntungan juga tidak seberapa. Tapi ada toh
....
Si Mbak yang masih gandrung dengan celana-hitam-komprang made
in Ngawi ingin mengfashionkan celana itu dengan label butik. La
Culotte Kolor Noire de Pasar Ngawi. Agak kepanjangan tapi stiil
dan gengsi, katanya! Nah, tuh . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini