Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Dua Tantangan Berat Rupiah: Tipisnya Surplus Perdagangan dan Sentimen Utang

Rupiah menghadapi dua tantangan berat. Tipisnya surplus perdagangan dan sentimen negatif utang akan menggencet rupiah.

30 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Nilai rupiah kian terpuruk meski kondisi ekonomi Indonesia baik-baik saja.

  • Surplus perdagangan makin berkurang akibat kondisi ekonomi dunia yang lesu.

  • Rencana Prabowo Subianto menambah utang akan memperburuk Indonesia di mata investor.

EKONOMI Indonesia saat ini sebetulnya relatif baik-baik saja. Inflasi termasuk rendah. Pertumbuhannya juga masih sekitar 5 persen per tahun. Namun nilai tukar atau kurs rupiah kini terpuruk di angka sekitar 16.500 per dolar Amerika Serikat. Pasar finansial seolah-olah tak peduli pada sisi positif ekonomi kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itu terjadi karena investor di pasar keuangan tak semata-mata merujuk pada situasi saat ini ketika membuat keputusan berinvestasi. Rekam jejak bisa menjadi rujukan. Namun investor pasar keuangan akan selalu lebih berat menimbang bobot masa depan, bagaimana ekonomi bergerak dalam setahun atau lima tahun mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di masa depan inilah ada tantangan yang berisiko menggerus kurs rupiah. Salah satunya aliran devisa dari surplus perdagangan akan menurun seiring dengan melemahnya harga-harga komoditas ekspor Indonesia.

Surplus perdagangan memang sempat membuat pemerintahan Joko Widodo terbuai. Sejak 2020, Indonesia menikmati rezeki nomplok lonjakan angka penerimaan ekspor, terutama dari olahan nikel. Secara tahunan, pada 2022, surplus perdagangan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah republik ini, yaitu US$ 54,6 miliar.

Sayangnya, rezeki itu tak berumur panjang. Sejak 2023, terjadi pembalikan tren. Indonesia memang masih menikmati surplus perdagangan, tapi jumlahnya terus menurun. Surplus 2023, misalnya, merosot sepertiga dibanding pada 2022 atau 33,5 persen menjadi US$ 37 miliar.

Para analis memperkirakan tren penurunan ini masih terus berlangsung di tahun-tahun mendatang karena berbagai sebab, dari konflik geopolitik hingga pelemahan ekonomi secara global. Surplus menurun, aliran devisa yang masuk melorot, lalu kurs rupiah ikut terseret merosot. Begitu sekuensnya.

Ada pula tantangan lain yang kini menjadi sentimen negatif pada rupiah: pergantian pemerintahan pada Oktober mendatang. Pasar menilai presiden terpilih Prabowo Subianto mempunyai karakter agresif soal menambah utang. Ia kerap secara terbuka menyampaikan pandangannya itu. Padahal kondisi keuangan pemerintah pada lima tahun ke depan tidaklah sekuat yang dibayangkan Prabowo. 

Satu indikator penting di sini adalah stok utang pemerintah kepada pasar berupa Surat Berharga Negara (SBN), berbagai macam obligasi, dan sukuk yang dijual pemerintah. Nilai total SBN yang masih belum jatuh tempo dan diperdagangkan di pasar domestik sudah mencapai Rp 5.780 triliun per 24 Juni 2024.

Jika Prabowo kelak makin agresif berutang, stok utang yang sudah amat besar itu bakal makin menggunung. Bukan tak mungkin pula jumlahnya akan melampaui batas kemampuan pemerintah untuk menanggungnya jika pemerintah terlalu agresif menambah utang. 

Tambahan pasokan SBN di pasar secara drastis akan membuat harganya merosot. Investor, terutama pihak asing yang punya banyak pilihan lain, bakal makin tak berminat membeli surat utang pemerintah Indonesia. Mereka yang sudah memegang SBN cenderung melepasnya. Di sinilah muncul koneksi dengan nilai rupiah. Hengkangnya dana asing dari pasar SBN domestik juga berarti kaburnya devisa ke luar negeri. Kurs rupiah kian tertekan merosot.

Menyadari risiko membesarnya utang secara tidak proporsional, pada Senin, 24 Juni 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengajak Thomas Djiwandono, keponakan Prabowo, memberi penjelasan kepada publik. Intinya, mereka ingin meyakinkan pasar bahwa program ambisius Prabowo, seperti pemberian makan gratis buat murid sekolah, tidak akan membuat utang menggelembung. Defisit anggaran akan tetap terkendali. Sayangnya, pasar seolah-olah tak terpengaruh. Nilai rupiah bergeming, enggan menanjak.

Persoalannya, saat ini bukan cuma tantangan masa depan yang membawa sentimen buruk pada rupiah. Pasar finansial global belum berhenti bergejolak. Sumber perkaranya masih sama: bunga The Federal Reserve, bank sentral Amerika, akan tetap tinggi dalam tempo lebih lama. Kurs dolar Amerika pun naik di mana-mana, termasuk terhadap renminbi Cina dan yen Jepang, dua raksasa ekonomi Asia yang kini terlihat tak berdaya.

Kekuatan pasar yang begitu besar itu seharusnya bisa menyadarkan Prabowo. Berkeras menambah utang hanya akan membuat nilai rupiah makin terpuruk di masa pemerintahannya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ancaman Berganda Menggencet Rupiah"

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus